[06]

358 18 1
                                    

Malam itu, tepat setelah ia bertemu dengan Rafa, ia memutuskan untuk datang ke coffeshop di dekat rumahnya. Sekedar menghabiskan waktu untuk menghibur diri setelah patah hati. Jujur saja, Feeya galau. Selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya kalau hubungannya bersama Rafa akan putus seperti ini. Ia sedih, hatinya masih mempertanyakan kenapa sikap Rafa berubah secepat itu? Sebenarnya Rafa kenapa? Kenapa ia menjadi sosok yang ketus, dingin dan tak tersentuh. Dulu, Rafa tidak seperti ini. Rafa yang dulu adalah Rafa yang sangat perhatian dan lembut. Berbanding terbalik dengan Rafa yang sekarang.

Ia menghela napasnya pelan, sebelum akhirnya menyesap cappuccino pesanannya yang mulai dingin.

Suara derit kursi yang tertarik membuatnya menoleh, tersenyum simpul saat melihat sosok yang ia kenal selama beberapa hari belakangan ini.

"Sendirian aja, mau ditemenin nggak?"

"Duduk aja Dev, kosong kok." balas Feeya sambil tersenyum simpul.

Cowok bernama Devon itu perlahan duduk setelah meletakkan secangkir gelas yang berisi kopi pesanannya.

"Sendirian aja, Dev? Ngapain kesini?" tanya Feeya tepat setelah Devon duduk di hadapannya.

"Tadinya sih berdua, rencananya mau nge-date. Eh, dianya keburu kabur pas ngeliat tampang lo yang mirip kayak zombie itu."

"Ah, bisa aja lo. Kayak ada aja yang mau sama situ," jawab Feeya sambil tertawa kecil.

"Lupain tentang gue deh, sekarang gue mau nanya, ngapain lo malem-malem masih keliaran di cafe gini?"

"Gue lagi galau tau, Dev." Gadis itu menarik piring yang berisi croissant pesanannya, lalu melahapnya dalam potongan kecil.

"Biar gue tebak, lo putus sama Rafa?" tebak Devon yang mendapat anggukan kepala dari Feeya.

"Lama-kelamaan gue capek juga berjuang sendiri terus, dia nya enak aja main cewek sana-sini, lah gue cuma dapet ampasnya doang. Bisanya cuma nangisin dia mulu tiap malem, belom lagi harus ngeliat dia haha-hihi sama cewek lain di sekolah. Rasanya kayak ada sepet-sepet gitu tau nggak sih,"

Devon mengangguk paham. "Ya bagus deh kalo lo putus,"

Feeya melirik sinis kearah Devon. "Kok malah bagus sih, temen lagi galau bukannya turut berduka, nah lo malah suka cita gitu ngeliat gue putus"

"Lah elu sih bego. Cowok kayak gitu aja masih dipertahanin, apa coba namanya kalo bukan bego"

"Ya gue kan sayang, kalo gue nggak sayang mana mau gue diginiin sama dia" balas Feeya sebal.

"Sayang sama bego itu beda tipis, Feey. Lo boleh sayang, tapi jangan mau dibego-begoin."

Feeya terkekeh pelan. "Kok lo bisa jadi bijak gini? Abis baca postingan official account di Line ya lo"

Devon menendang pelan kaki Feeya yang membuat tawa gadis itu semakin pecah. "Sembarangan aja lo kalo ngomong"

"Ya abisnya lo sih, tumben-tumbenan banget masa" Ucap gadis itu di sela-sela tawanya.

Devon tak membalas ucapan Feeya. Ia hanya diam sambil terus menatap gadis itu yang berhasil membuat tawa Feeya mereda, tergantikan oleh tingkahnya yang menjadi kikuk ditatap seperti itu oleh Devon.

"Gue seneng ngeliat lo ketawa," Cowok itu tersenyum manis. "Seenggaknya, gue udah jadi salah satu alasan kenapa lo bisa ketawa selepas itu. Dan gue suka,"

Feeya tersenyum salah tingkah melihat Devon yang tersenyum lebar kepadanya. Pipinya memanas ditatap seperti itu oleh Devon. Helaan napas kecil keluar dari bibirnya, tersenyum kecut disaat seperti ini ia masih saja terpikirkan sosok Rafa yang seharusnya berada di depannya saat ini.

Rafa yang mengeluarkan segala guyonannya yang mampu membuat gadis itu terbahak, mengeluarkan gombalan andalannya yang mampu membuat pipinya merona, atau bahkan Rafa yang mengecup pipinya gemas melihat pipi tembamnya yang memerah seperti badut.

Kenangan itu..
Bayangan sosok itu..
Entah kenapa sangat susah sekali untuk dienyahkan dari pikirannya.

Seharusnya saat ini ia sadar, bukan lagi Rafa yang menemaninya, melainkan Devon. Bukan lagi Rafa yang memberikannya gombalan seperti dulu.

Pipinya boleh saja memerah karena ucapan Devon, tapi entah kenapa ia merasakan hampa. Perutnya tak terasa tergelitik seperti saat Rafa yang memberikannya rayuan. Tak ada kupu-kupu yang terasa berterbangan di perutnya.

Hampa. Tak ada rasa spesial yang menyergapinya.

"Fee, kenapa bengong?"

Feeya kembali tersadar saat sosok Devon yang kini tengah melambaikan tangannya tepat di depan wajahnya. Mengerjap sesaat, ia tersenyum kecut, senyuman yang terlihat sangat dipaksakan untuk Devon.

"Emm maaf, sampe mana kita tadi?"

"Lo gapapa, Fee?" tanya Devon memastikan keadaan Feeya.

"Oh? Gue? Gue gapapa, cuma rada nggak enak badan aja gitu"

"Kalo gak enak badan, mendingan lo pulang aja deh Fee"

Feeya menatap tak enak kearah Devon. Cowok itu hanya menyunggingkan senyumnya saja seakan berkata bahwa cowok itu tidak masalah untuk ditinggal.

Kemudian Feeya bangkit dari duduknya, menyelempangkan tas kecil milkinya. "Gue cabut duluan ya, Dev"

Feeya membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauhi Devon. Sebelum menuruni undakan tangga, gadis itu memutar tubuhnya dan ia merasakan perasaan bersalah saat melihat Devon yang kini tengah tertunduk.

Feeya menyalahkan dirinya yang masih saja memikirkan Rafa, bahkan disaat gadis itu tak lagi bersama cowok itu, melainkan tengah bersama orang lain.

"Devon" Feeya memanggil, membuat cowok itu menatap kembali kearah gadis itu sambil tersenyum kecil. "Makasih udah nemenin gue malam ini,"

Dan setelah itu, Feeya benar-benar melangkah pergi tanpa melihat Devon yang tersenyum kecil melihat kepergiannya.

****

Selamat berbuka puasa bagi yang menjalankan. Habis buka boleh dong baca cerita aku😂😂

See yaa,

TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang