Eight

137 6 1
                                    

"Sejujurnya, gue nggak ngerti sama ini semua. Lo terlalu abu-abu dimata gue. Kita ini sulit untuk dibaca, sekarang lo bisa bertingkah layaknya lo sayang gue, punya perasaan lebih. Tapi beberapa saat lo seakan ngebuang itu begitu aja." Aku terisak pelan, biar saja dia melihatku menangis. Aku sedang tidak ingin berpura-pura kuat. Apalagi dihadapannya.

"Jangan nangis," tangannya seakan terulur untuk mengusap pipiku yang basah karena air mata, tapi dengan cepat aku menepisnya.

"Jangan begini lagi, jangan perlakukan gue layaknya lo sayang dan perduli sama gue. Jangan kasih gue harapan lagi!" Aku tahu dia tersentak karena ucapanku, tapi aku tidak perduli. Aku ingin bersikap egois untuk kali ini saja. Bolehkan?

"Gue nggak ngerti sama omongan lo. Ada apa sih, put?" Aku mengusap kasar pipiku yang basah. Lalu tersenyum masam kearahnya. Dia Bertanya? Seriously?

"Lo tau jelas apa maksud gue, jangan pura-pura begitu." Aku mengulas senyum, "Kalo lo nggak bisa bales perasaan gue, cukup bilang. Jangan bertingkah labil, seakan lo mau tapi setelahnya lo nyesel. Gue sayang lo banget." Mata bundarnya menatapku kaget, tapi aku tidak perduli.

"Gue tau, dibandingkan cewek lain, gue nggak ada apa-apanya. Gue bukan bagian dari mereka yang cantik, populer, pintar atau sebagainya. Gue cuma cewek biasa yang ternyata punya rasa nyaman dan sayang sama lo. Kalo lo mau tanya sejak kapan, gue pun nggak tahu.

Tiga tahun kita nempatin kelas yang sama, tapi anehnya, baru sekarang gue jatuh cinta sama lo. Gue emang cewek yang cenderung ganjen, suka godain orang, tapi gue nggak pernah minat untuk nyakitin apalagi main-main sama orang. Gue bisa lebih serius kalo udah jatuh cinta. Tapi, kayaknya kali ini nggak akan berhasil."

Air mataku menetes lagi. Sementara dia masih terdiam, kaget dengan pengakuanku barusan. Cinta harus diungkapkan, bukan? Dan konsekuensinya, menerima jika tiba-tiba dia pergi karena menghindari perasaanku.

"Gue.."

"Nggak perlu dijawab, gue aja yang bego, sejak awal Gue udah niat comblangin lo sama sahabat gue, tapi sekarang malah gue yang jatuh cinta. Miris banget ya?" Kataku pahit. Dia masih diam.

"Nggak usah dipikirin, anggep aja gue nggak ngomong apa-apa barusan kalo lo emang keberatan sama fakta tadi. Gue cuma mau bilang apa yang ada di hati gue. Dan ini alasan kenapa gue bertingkah konyol dan bego didepan lo. Sekali lagi, maaf kalo gue lancang. Dan, yeah, gue emang sayang sama lo, meski lo cowok paling nyebelin, kaku, cuek, dan dingin. Nggak apa-apa, maaf kalo sikap gue jadi nyebelin. Gue jadi cengeng ya? Yaudah, gue balik duluan deh. Kalo makin lama disini, gue makin nggak bisa nahan air mata. Bye."

Dia tetap diam, bergeming ditempatnya sementara aku melangkah memunggunginya. Perlahan mengusap air mata yang lagi-lagi tanpa sengaja jatuh. Dan yang aku tahu, mulai detik ini, tidak akan ada lagi harapan yang aku gantungkan padanya. Mungkin terdengar kekanakkan, tapi sungguh, aku akan menghindar darinya.

Entah sampai kapan, mungkin sampai hatiku kembali utuh seperti semula. Seperti saat aku belum jatuh cinta padanya. Lagi-lagi perjalanan cintaku tidak seindah kisah cerita cinta picisan. Masih banyak pengorbanan, setidaknya, kali ini aku ingin belajar mencintai diriku sendiri. Biar saja mereka pergi. Cinta tidak bisa dipaksakan, kan?

One-sided LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang