Satu

70.1K 5.5K 108
                                    

"Kau sudah menemui Rika?"

Robert duduk di sofa ruang keluarganya. Pria itu memangku sebuah stoples berisi kacang sambil menatap anak sulungnya yang terbaring di sofa sebelahnya.

Ditanya, Pramana mengangguk datar.

"Bagaimana Erika menurut kau?" Robert menyelidik. Dia ingin tahu pendapat anaknya soal wanita yang dia rekomendasikan dan gencar dia promosikan beberapa bulan ini.

"Sesuai ekspektasi," sahut Prama.

Robert mengangguk senang. Sepertinya, dia tak perlu khawatir pada anaknya yang hampir menjadi bujang lapuk karena di usia yang menginjak 32 tahun ini, Pramana hampir tidak pernah terlihat menggandeng perempuan lagi.

"Apa yang kalian obrolkan? Apa Rika cukup nyambung?"

Pramana tertawa kecil. Laki-laki itu melirik Robert yang terlihat sangat antusias. Entahlah, apa kelebihan Erika Prisa sehingga ayahnya terus-terus mem-bomb dirinya dengan informasi-informasi tentang wanita itu. Tentang Erika yang seorang lulusan terbaik dengan salempang cumlaude. Atau Rika yang cekatan saat bekerja. Juga, Erika yang menjadi tulang punggung keluarga di usianya yang terbilang cukup muda--25 tahun.

"Dia judes, Pap," jawab Prama. "Tapi gak masalah sih. Aku butuh cewek judes supaya rumah tanggaku kelak gak terlalu ngebosenin," jelasnya seraya tertawa di ujung kalimat. "Oh, yah, dia juga seksi, Pap. Dadanya aaaaagh jadi gak sabar."

Menggeleng, Robert melempari anaknya dengan kulit kacang. "Syukurlah kau masih menyukai dada besar. Aku pikir kau lebih tertarik dengan dada si Sammy itu."

Prama terbahak-bahak. Sejak kuliah, ayahnya selalu protes soal kedekatannya dengan Sammy--temannya sedari SMA. Menurut Robert, cinta bisa tumbuh karena kebersamaan yang intens. Tentu saja kedekatan Prama dan Sammy berpoteni besar memunculkan jentik-jentik cinta.

Prama berujar, "Kalau dada Sammy besarnya kayak dada si Prisa sih aku oke, Pap."

"Pantatmu!" maki Robert, "aku tak sudi punya anak homo," omel pria itu dalam logat Batak kental. Pramana hanya tertawa. Ia bangkit dari sofa menuju kamarnya di lantai dua. Belum sempat menaiki tangga, ayahnya berteriak lagi, "Kapan kau kawinin Erika? Sudah tak sabar aku main-main sama cucu."

"Bulan depan mungkin."

***

Prisa tengah sibuk di meja kubikel. Ia menyusun lagi agenda boss-nya yang berantakan karena pria itu tiba-tiba mengirim email dan seenaknya meminta merombak ulang jadwal pertemuan juga konsultasi dengan klien. Belum lagi jadwal sidang dari kasus yang ditanganinya bertabrakan dengan pertemuan penting dengan staff menteri.

Sial! Dua tahun ini, pekerjaan Prisa semakin menyebalkan. Boss-nya itu lebih sering uring-uringan tidak jelas. Saat mood-nya tidak stabil, ia akan membatalkan janji seenak jidat. Ujung-ujungnya, Prisa-lah yang sibuk seperti orang kebakaran jenggot. Menelpon sana-sini untuk men-cancel pertemuan juga mengatur ulang jadwal.

Prisa menyandarkan punggung. Gadis itu memijat pangkal hidung. Otot syarafnya menegang, belum lagi punggungnya yang terasa hampir patah seharian ini tidak berpaling dari laptop di depannya.

"Hi dear."

Kelopak mata Prisa kembali terbuka. Dia mendapati Prama berdiri di balik mejanya. Pria itu tersenyum sambil menyangga kedua tangan lalu mencondongkan badan mendekati Prisa.

"Ngapain ke sini?" tanya Prisa, sewot.

Prama menjawab santai, "Mau ajak lunch calon istri dong."

"Kurang kerjaan," cibir Prisa. "Hotel kamu jauh, dan kamu ke sini cuma mau ngajak aku makan siang?"

"Nggak juga. Aku ke sini untuk dapatin ini," Prama mendekatkan telunjuknya di bibir. Tak menunggu lama, pria itu memutar posisi, berdiri di hadapan Prisa dan membungkuk untuk memberi kecupan beruntun di bibir Prisa.

Prisa tidak bisa bergerak. Badannya terkunci dalam posisi tergeragap di antara tubuh Prama dan sandaran kursi. Mata gadis itu terputar waspada. Astaga, untung saja ini sedang jam istirahat dan ruangan sedang kosong karena ditnggalkan para staff untuk makan siang.

Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, Pramana menegakkan badannya kembali. Lelaki itu tersenyum menang. "Ayo," ajaknya. Dia berjalan lebih dulu meninggalkan Prisa yang sudah menggerung murka.

Prisa berteriak keras, "Heiii, kita baru ketemu tiga kali. Siapa yang nyuruh kamu cium aku? Kamu pikir aku pacarmu?"

"Bukan pacar!" koreksi Prama. Laki-laki itu kemudian berbalik hanya untuk memamerkan senyumnya pada Prisa. Dia merevisi kalimatnya, "calon istri."

Bola mata Prisa terputar malas. Perempuan itu bergumam lirih, "Sinting!"

SPACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang