Dua

51.3K 4.9K 77
                                    

Sepasang laki-laki dan perempuan duduk berhadapan dibatasi meja persegi kecil. Mereka sibuk dengan pesanan masing-masing. Prisa dengan jus jeruk dan nasi goreng seafood, sementara Prama dengan menu diet yang dibawanya sendiri dari rumah--dada ayam rebus, dan salad sayur.

"Jadi," Prama berkata, "bulan depan kamu harus kosongkan jadwalmu selama satu minggu untuk nikah dan mungkin juga bulan madu," jelas pria itu santai. Dia menyuapi irisan paprika dan mengunyah dengan amat-sangat-elegan untuk ukuran pria se-maskulin dirinya.

Prisa berhenti mengunyah. Makanannya dibiarkan terselip di antara gigi, membuat pipi kiri gadis itu mengembung penuh. Ditatapnya pria yang siang ini hanya menggunakan jins biru dan kemeja putih polos tersebut dalam sorot mata jengkel. Apa-apaan ini? Ngomong nikah sama seperti ajak ke Dufan naik wahana bianglala. Datar.

Melipat kedua tangan, gadis itu menggulir matanya menyapu seisi penjuru cafe bernuansa hitam-putih tersebut untuk memastikan tidak ada teman-teman kantornya yang makan di Cafe itu.

Obrolan nikah adalah obrolan paling sakral bagi Prisa. Minimal, dibicarakan berdua di tempat romantis dalam keadaan relaks. Bukan di tempat berisik, dalam keadaan ngunyah seperti ini. Benar-benar memalukan kalau sampai ada orang lain yang mencuri dengar pembicaraan mereka. Bisa jatuh harga diri Prisa sebagai perempuan yang terbilang perfeksionis dalam segala hal, terlebih-lebih soal rencana hidup.

"Pram," perut Prisa menubruk meja di depan. Ekspresinya mulai berubah menghakimi objek di hadapannya. "Kita baru ketemu tiga kali loh. Ti-ga ka-li." eja gadis itu lengkap dengan acungan tiga jari tengahnya di depan wajah Prama. "Dan kamu ngajakin nikah sama kayak ajakin aku nonton di bioskop yah? Datar, nggak pake feel," lanjutnya memprotes. Intonasi suaranya kentara tidak suka. "Belajar dari mana, sih, kamu? Referensi kamu kurang oke," Prisa mencemooh. Rambut pendeknya dia benahi dengan gaya jumawa.

Prama mendengus geli. Garpu ia letakan di meja. Pria itu meraih tisu, membersihkan sudut bibir dari mayones. "Trus? Kamu mau dilamar dengan cara spesial?" tanyanya.

Sekarang giliran Prisa yang tersudutkan. Demi Tuhan seringai nakal Prama menandakan bahwa pria itu merasa tertantang atas ucapan Prisa yang barangkali ia tafsir sebagai kode buram.

Mata Prisa tergerak waspada mengikuti ke mana arah pergerakan Prama. Lelaki itu menekuri seisi Cafe yang siang itu dipenuhi karyawan-karyawan kantoran dan beberapa anak kuliahan. Ketika Prama berdiri, Prisa sontak berjingkak, mencondongkan badan untuk menahan lengan Prama. Wajah gadis itu pias.

"Eh, eh. Mau ngapain kamu, Pramana?" Prisa mencegat. Membaca gestur Prama, dia menduga pria itu akan melakukan hal-hal aneh lainnya.

Prisa sudah hafal reaksi kilat Prama. Waktu pertama bertemu, lelaki itu mengumumkan pada teman-teman di kantor bahwa Prisa adalah tunangannya. Beberapa jam lalu, Prama bahkan berani menciumnya di ruangan kerja juga mengajaknya menikah. Lalu sekarang, kejutan apa lagi yang akan dilakukan pria itu?

Terkekeh, Prama mengacak rambut pendek Prisa. "Ke toilet. Kenapa? Kamu mau ikut?"

Pertanyaan Prama dibalas Prisa dengan gelengan kuat.

"Tuh tangannya," dagu Prama tergerak. Menunjuk tangan Prisa yang melingkar posesif di lengannya. Gadis itu melepas cengkraman dan bergumam tidak jelas sebelum kembali duduk di tempatnya. Melanjutkan makan siang yang tertunda. Lagi, Prama mengacak rambut Prisa kemudian beranjak.

Sepuluh menit setelahnya, suara feedback microphone melengking ke penjuru Cafe. Prisa menutup telinga dengan kedua tangan. Tetapi, beberapa detik kemudian pendengarannya menangkap suara yang mulai familiar mengudara di ruangan itu.

"Untuk wanita ber-cardigan merah...."

Oh, my ... bahu Prisa melorot otomatis karena lemas bercampur malu. Ia membatu di tempatnya. Gadis itu membatin, "Sial. Pria ini benar-benar bahaya."

***

"Pramana, kamu malu-maluin!" Prisa berjalan mendahului Prama. Bahunya ia gunakan menyenggol lengan lelaki itu, keras.

Prama tak menggubris. Sebab Prisa sudah melakukan hal yang sama berkali-kali. Saat mereka ke luar dari Cafe, saat Prama membukakan pintu mobil untuknya dan sekarang saat mereka ke luar dari dalam lift kantor.

"Itu alay, Pram!" bentak Prisa lagi. Perempuan itu membanting pouch bag-nya ke meja kubikel. Bokong bulatnya menumbuk kursi, ia mengerucutkan bibir dan melipat tangan di depan dada. Memahat tampang murka.

Memancing emosi Prisa, Prama bertanya, "Alay? Apaan tuh?" jeda dua detik pertanyaan itu dilepas, Prisa langsung melotot hiperbolis ke arahnya--ekspresi yang sangat disukai Prama. Laki-laki itu terkekeh gemas. "Tinggal bilang makasih ajah ribet amat sih," godanya berusaha menyulut emosi Prisa. Prama tahu, Prisa sedang protes dengan apa yang dilakukannya di Cafe tadi.

Dan, pada akhirnya, sebuah bolpoint melayang ke wajah Prama. Beruntung, Pria itu cukup gesit dan berpindah sebelum bolpoint itu mendarat ke jidatnya.

"Ucapan terimakasih yang unik," ujar Prama menyelipkan sinisme dalam kalimat. Prama merapikan kemeja lalu mendekati Prisa yang masih emosi. Tanpa peduli dengan ekspresi Prisa, ia mencium cepat puncak kepala gadis itu. "Aku balik dulu. Nanti sore, aku jemput yah? kita harus ke butik temanku."

Alis Prisa bertautan. "Mau ngapain?"

"Ambil ukuran badan, buat baju pengantin kita."

Mata Prisa membesar. Kenapa hobi sekali pria ini mengejutkannya?

"Ga usah berlebihan deh responsnya!" Prama berseru seraya mendorong alis Prisa dengan telunjuknya. Melihat ekspresi Prisa, pria itu terkekeh dan menggeleng bersamaan. "Bye...."

SPACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang