Empat Belas

37.5K 4K 1.1K
                                    

Sinar bola jingga raksasa itu terhalang awan besar berbentuk prisma. Membuat kalor yang sedari tadi menjilat kulit Prisa dari balik jendela kaca transparan besar disampingnya perlahan berkurang. Wanita itu duduk dengan tenang. Terlalu tenang untuk sebuah gestur yang tercipta dari seorang istri yang baru menangkap basah suaminya menginap di rumah perempuan lain.

Berbeda dengan gerakan tubuhnya yang pasif, sepasang mata Prisa justru aktif bergulir mengikuti pergerakan Ratu yang sibuk membereskan selimut dan bantal di sofa dan membawa semuanya ke kamar tidak jauh dari ruang tamu itu.

Pandangan Prisa jatuh pada pigura kayu di dinding dekat dengan pintu kamar. Mata wanita itu menetap disana. Cukup lama ia menelisik foto itu dalam kebisuan sampai suara pintu mengalihkan. Pramana muncul selepas memarkirkan mobil Prisa di halaman swalayan. Laki-laki itu duduk tepat di samping Prisa dengan wajah tertunduk.

"Kita pulang, yah?" bujuk Prama tanpa berani beradu pandang dengan Prisa. Perasaan cemas menyisip ke dalam suaranya. "Kita bicara di rumah." Lanjut pria itu berusaha menyamarkan rasa takut yang mengintainya.

Lama tak terdengar jawaban, Pramana membasahi kerongkongan yang tercekik. Beruntung, deheman Ratu menumbuk molekul udara yang membeku antara sepasang suami istri itu.

"Ehm," Ratu mendekat, perempuan itu memperbaiki letak rok semata kakinya dengan gerakan kikuk. Ia bertanya dengan nada pelan, "Pris, kamu mau minum sesuatu?"

Mengangguk, Prisa tersenyum kecil sembari menyisir rambut pendeknya dengan jemari. "Cofee, please?"

Anggukan kecil Ratu membuat Prisa kembali berbicara, "Mba Ratu punya Grinder?

Kepala Ratu tergeleng samar.

"Oh, ya udah white cofee ajah, yang instant juga gapapa." Cetus Prisa. Kuku bercat biru-nya berpindah mengetuk-ngetuk punggung tangan Prama yang berada di atas pahanya.

"Mba Ratu, saya lagi pengen yang manis, tapi nggak mau penyakitan jadi gulanya pakai gula jagung ajah. Bisa?"

Sekali lagi Ratu mengangguk lalu matanya terseret ke Pramana. "Kamu?" tawar wanita itu ragu-ragu.

Ekor mata Prama menangkap Ratu yang tengah menatapnya. Ia menjawab dengan gumaman tak begitu jelas, "Nggak usah Rat." lelaki itu menyelimuti telapak di atas tangan Prisa dan menyetubuhi jemari Prisa dengan jemarinya.

"Kamu kenapa, sakit yah?"

Genggaman Prama terlepas ketika Prisa menarik paksa tangannya. Wanita itu menangkup kedua pipi Prama dengan pahatan wajah khawatir.

Sekejap pandangan Prama menghampa ketika tangan Prisa terulur menyentuhnya. Mata lelaki itu terpejam, merasakan permukaan telapak halus Prisa yang menyapu pipinya. Hangat. Nyaman. Menenangkan. Ini sentuhan yang sudah beberapa bulan ini tidak pernah ia rasakan lagi.

"Nggak, Pris. Aku nggak sakit, sayang." Jawab lelaki itu sembari menarik tangan Prisa dan menciumnya. "Kita pulang ajah, yah?"

Ratu melahap semua pemandangan itu dengan bibir terkatup rapat. Ada gemuruh hebat di hatinya saat ini. Perempuan itu berusaha mendinginkan panas di beberapa sisi tubuh dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan untuk pengalihan.

Lain Ratu lain Prisa. Alih-alih merasa tersanjung dipanggik 'sayang', wanita itu nyaris memuntahkan isi lambung saat melihat pramana berakting seperti ini. Ia menahan hasrat untuk tidak meludah di wajah Pramana---wajah penghianat.

SPACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang