Tiga belas

33.2K 3.5K 1K
                                    

"Ratu dan Prama ketemu sepuluh tahun lalu, Pris. Itu pun karna Mba Ratu sering nginap di rumah jadi pas Prama main, mereka selalu k etemu. Yah mulai ngobrol, akrab, dan akhirnya berteman walaupun awalnya si Prama ini masih di anggap adik sama Mba Ratu. Pas kita skripsian, si Prama nembak Mba Ratu, tapi ditolak karna waktu itu Mba Ratu disuruh nikah sama anak kepala kampung gitu yang depresi karna ditinggal mati istri dan anaknya saat kecelakaan. Waktu itu nikahnya di Jakarta, kita sempat datang sih, pas pulang, Pramana stres berhari-hari."

"Empat bulan nikah, Mba Ratu ditinggal gitu ajah sama suaminya. Pramana yang dengar kabar itu dari Mba Kiki, langsung nyariin Mba Ratu. Dia datang ngasih perlindungan, dalam keadaan putus asa gitu Mba Ratu menerima Pramana. Mereka kembali bersama, membesarkan Sultan, sampai Mba Ratu resmi bercerai dan akhirnya mereka benar-benar berhubungan serius selama 8 tahun dan pisah dua tahun lalu."

Prisa memainkan batu es di dalam gelas berisi sisa bir dengan telunjuknya hingga menimbulkan bunyi. Pandangan nanar wanita itu jatuh ke dalam gelas kaca tersebut, mengamati perubahan bentuk es yang tadinya berukuran besar namun perlahan-lahan mengecil sampai akhirnya habis meleleh. Itu semua... mengingatkan Prisa atas perasaanya kepada Prama saat ini. Pada rasa yakin, juga optimisnya terhadap pernikahan mereka yang semakin lama semakin menyurut.

Gambaran keluarga bahagia yang awalnya menjadi sebuah wacana indah di benak wanita itu juga sudah dihapusnya tanpa sisa. Prisa sudah mengosongkan semuanya, ia tidak lagi mau menaruh harapan apapun disana terlebih-lebih saat mengetahui semua dedikasinya sebagai istri hanya dihargai dengan... sebuah kalung.

Bukan, Prisa bukannya pamrih atas semua yang dia berikan untuk Prama selama ini. Ataupun sengaja memasang harga dari pengabdiannya. Tidak! Demi Tuhan dia ikhlas melakukan kewajibannya. Hanya saja, ia merasa perlu menuntut apa yang seharusnya mejadi miliknya yaitu... hati Prama. Namun semua yang dilihatnya beberapa waktu lalu sudah cukup membuktikan bahwa kecondongan hati Prama tidak terarah padanya. Sama sekali. Tidak ada yang dia dapat dari suaminya kecuali pelukan setiap malam dan suntikan sperma rutin. Tapi... lelaki itu bukan miliknya.

Lalu... apa defenisi dari posisinya saat ini bagi pria itu? Kacung di atas ranjang saja kah? Objek penyaluran fantasi liar tentang sex? Atau... tampungan sperma?

"Bangsat." Gumam Prisa seraya tertawa kecut. Bir tertumpah lagi memenuhi gelas, wanita itu lantas menenggaknya beberapa kali hingga tandas.

The last three latters-nya Alesana masih menggempur pendengaran Prisa melalui sound system milik Eldava dari arah kamar pria itu. El sendiri terkurung disana bersama seorang perempuan yang ia kenalkan sebagai teman kerjanya. Entahlah mereka sedang melakukan apa, Prisa tak terlalu mengambil pusing, yang penting dia diijinkan berada disini, menenangkan hatinya.

Tadi... untuk kesekian kalinya dalam minggu ini Prisa menunggui Pramana di tempat yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Ia duduk tenang di balik kemudi, dan pandangan terbuang ke seberang jalan, tepatnya ke arah swalayan. Memperhatikan Pramana dan Ratu yang berinteraksi dibalik meja kasir. Menyapa beberapa pengunjung dengan ramah, tertawa, mengobrol serius, dan bercanda bersama.

Hanya tawa kecut yang terbit dari bibir Prisa ketika menyantap semua pemandangan itu. Ia bertanya apakah ada malaikat yang bersemayam dalam tubuhnya saat ini? Kenapa semua sikap brutalnya mendadak tumpul. Prisa hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Setahun yang lalu dia masih sempat menghadiahi tinju di wajah juga tendangan membabi buta pada mantannya ketika tau bahwa ia di selingkuhi. Sekarang semua keganasannya itu tidak berlaku sama sekali pada Prama. Alih-alih melabrak ataupun menyerang Pramana dengan tinju, menatap wajahnya saja beberapa hari ini tidak mampu Prisa lakukan. Wanita itu mengutuk dirinya saat ini, ia benci mendapati dirinya melemah dan pasrah pada keadaan.

SPACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang