Suara ayam jantan menggema di seluruh langit Nibbana. Sebuah desa yang dilindungi oleh hutan berpohon lebat, serta dinding bebatuan yang tinggi. Cahaya matahari mulai mengintip dari salah satu sisi dindingnya. Memberikan kehangatan kepada kehidupan baru di hari itu. Menyambut para Nibbanian yang bersiap untuk melakukan rutinitasnya masing-masing.
Tidak ada satu hal pun yang dapat mengganggu tidurmu di tempat ini. Suara para serangga akan terdengar beriringan di tiap malam. Memberikan keyakinan bahwa mereka kan selalu membiarkanmu tak terjaga di tengah malam. Terlelap dengan nikmatnya hingga pagi menjelang. Semua anugerah tersebut dapat dirasakan oleh siapapun yang tinggal di Nibbana.
Meski begitu, tetap ada yang selalu terbangun di tengah tidurnya. Bukan karena tidak menyukai suara serangga yang ada. Hanya saja dia memilih untuk tetap terjaga, memandangi bintang dari atas atap rumah. Angin malam yang dingin terkadang tak dihiraukannya.
Saat pagi mulai menjelang, dia melangkahkan kaki menjauh dari desa. Berhenti di ujung sebuah bukit tuk memandangi sinar matahari yang menggelitik hamparan bunga aster di bawahnya. Gadis bernama sama dengan bunga-bunga itu menuruni bukit dengan hati-hati. Menuju sebuah kayu yang menancap di dalam tanah. 'Di sini terbaring seorang pahlawan Nibbana. Edy' begitulah tulisan yang tertera di sana. Aster merapatkan kedua telapak tangannya di depan wajah. Memejamkan mata seraya memanjatkan sebuah doa.
"Bagaimana kabarmu hari ini, Edy?" ucap Aster sembari mengelus bunga-bunga yang tumbuh menyelimuti kuburan di hadapannya.
Lusa, umur kedatangan Aster di Nibbana akan genap dua bulan. Desa itu tak pernah bisa membuatnya merasa bosan, seperti apa yang dilakukan Oakland kepadanya. Hanya saja malam yang tenang pun masih belum bisa membuat matanya beristirahat dengan baik. Selalu ada kegundahan bersarang di dalam dada. Sebuah kehampaan yang ingin segera dia isi secepat mungkin.
Kekosongan tersebut bukanlah milik Edy. Aster sudah mulai bisa melepasnya meski masih harus menangis dalam tidur. Akan tetapi orang tuanya lah yang selalu didambakan untuk mengisi ruang tersebut.
Umur Aster memang sudah tidak muda lagi. Tapi dia masih memerlukan keberadaan ibu atau ayahnya. Sebenarnya dia tidak menuntut untuk bisa tinggal bersama mereka. Hanya saja Aster tidak pernah bisa tenang apabila seumur hidupnya tidak kunjung mengetahui kabar dari mereka berdua. Ditemukan dalam keadaan hidup atau mati pun sudah tidak jadi masalah. Yang dia inginkan hanyalah sebuah kepastian.
"Tidak bisa tidur lagi malam ini?" Alby datang dengan sebuah jaket yang menggulung dalam dekapan. Aster menyambutnya dengan pelukan. Memejamkan matanya untuk merasakan kehangatan dari tubuh Alby. Entah berapa lama dia tak bergeming seperti itu. "Wow, tubuhmu dingin sekali," ucap Alby sepontan saat tubuh Aster menyentuh kulitnya.
Alby menyelimutkan jaket pada punggung Aster. Berbalik memeluk dan mengecup kepala Aster dengan penuh rasa sayang. Membiarkan gadis itu terdiam dalam pelukannya.
"Berapa lama kamu di luar sini?" tanyanya lagi.
"Sejak pukul tiga." Aster bersuara masih dalam pose yang tak berubah sama sekali. Seakan terlalu lelah meski hanya untuk membuka kelopak matanya saja.
"Sudah kubilang kan untuk memberitahuku jika kamu terbangun di tengah malam lagi."
"Kamu pasti tahu kalau aku tidak akan mau mengganggu tidurmu."
Alby menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak akan bisa melawan kekeraskepalaan pacarnya itu. "Paling tidak bawalah jaketmu."
"Huum," seru Aster dengan malas. Dia melepas pelukannya untuk memandang wajah Alby. Sinar matahari menyinari rambut pirangnya yang tampak bersinar. "Aku sampai lupa. Hari apa sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aster [The Secret of The Sea]
Science FictionBook 2 of Aster Trilogy (Higest rank #12 in science fiction - 26/4/17) Aster kembali menyusun rencana untuk kembali berpetualang demi menemukan misteri yang masih tersembunyi di bumi ini. Namun, selalu ada hambatan baginya untuk memulai semua itu. T...