Matahari semakin tinggi, rasa panasnya pun semakin menjadi-jadi. Aster lebih memilih untuk berada di dalam ruangan, mengerjakan apapun yang bisa dikerjakannya. Suara anak-anak yang tengah bermain di luar tak pernah menghilang sejak tadi pagi.
'Tok-tok' suara ketukan terdengar dari luar. Seorang anak laki-laki berumur enam tahun tertawa dengan gigi jarangnya. Menanggahkan kepala ke arah lubang jendela yang lebih tinggi daripada tubuhnya sendiri.
Aster tak mengarahkan pandangannya ke bawah. Dia tampak mencari-cari sesuatu yang menimbulkan bunyi pada bingkai jendelanya tadi. Suara tawa kecil terdengar mengiringinya, namun Aster tetap tak melihat ke sumber suara yang sebenarnya sudah dia sadari sedari awal.
Aster melipat tangannya pada lubang jendela. "Siapa yang mengetuk jendelaku tadi?" tanyanya kepada diri sendiri.
"Ba!" Anak lelaki itu berteriak, melompat sembari berusaha mengejutkan Aster yang bertengger di atasnya.
"Astaga, aku tidak menyadari kehadiranmu. Sejak kapan ada di situ?"
Anak lelaki itu hanya tertawa karena menganggap bahwa perempuan di hadapannya itu benar-benar tak menyadari kehadirannya. "Kami akan memasak kue di pinggir danau."
"Oya? Sepertinya seru sekali."
"Tentu saja!" ujar Anak itu dengan semangat. "Kamu mau ikut?" ajaknya.
"Hmm, sayang sekali ada yang harus aku kerjakan untuk saat ini." Aster hanya beralasan agar tak perlu dipaksa memakan kue buatan anak-anak itu, yang dibuat dari tanah pinggir danau. Seperti yang beberapa hari lalu dia rasakan. Alhasil baju putih kesayangan Aster harus direlakan karena warnanya tak pernah kembali seperti semula.
"Ayolah, kami sangat ingin kamu datang."
"Mungkin lain kali aku baru bisa."
"Tapi teman-teman ingin ada yang menemai kami bermain hari ini. Aku mohon!" anak itu memohon-mohon dengan wajah memelas.
Keinginan untuk menolak dalam benaknya sudah benar-benar bulat. Sayangnya, Aster tidak pernah tega melihat ekspresi sedih ataupun kecewa dari anak kecil. Anak lelaki itu tampak sangat mengharapkan kehadirannya dalam acara masak siang kali ini.
"Hey!" Anak itu menanggahkan wajahnya yang sempat tertunduk. "Kupikir hari ini Johan sedang tidak sibuk. Kalau tidak salah tadi dia meminta agar diajak saat kalian memasak kue," bisik Aster.
"Benarkah? Kalau begitu aku akan mengajaknya." Entah kenapa anak kecil dapat dengan mudah melupakan perasaan yang dia rasa dalam seketika. Kini ekspresi kekecewaan yang semula tampak sudah terhapus sama sekali. "Apa Jo ada di rumahnya sekarang?"
"Iya, jam segini dia pasti masih ada di rumah."
"Oke, aku akan mengajaknya!" sahut di anak dengan bahagia. "Dah, Aster!"
Aster melambaikan tangannya keluar jendela. Menatap sosok kecil yang tengah berlari menjauh dengan penuh semangat. Ingin sekali rasanya dia kembali ke seumuran mereka agar tak perlu peduli dengan panasnya mentari. Seperti apapun hawanya membakar kulit, dalam mata anak-anak hanya terlihat seperti bola lampu yang berseri-seri dengan riang. Mengiri langkah kaki kecil mereka yang berlarian ke sana-ke mari.
Aster ingat sekali dirinya saat berumur tujuh tahun. Berkuncir dua dan selalu pulang dengan sebuah luka baru pada tubuhnya. Miss Bella harus membeli persediaan plester dan obat merah tiap minggu. Karena persediaannya akan selalu dihabiskan oleh Aster seorang.
Luka-luka kecil sepertinya sudah menjadi hal yang biasa bagi Aster. Dia tidak lagi menangis meski mendapat luka gores yang bahkan mengeluarkan darah. Padahal teman-temannya yang lain berteriak karena khawatir, tapi si gadis yang terluka hanya tertawa, memamerkan giginya yang jarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aster [The Secret of The Sea]
Science FictionBook 2 of Aster Trilogy (Higest rank #12 in science fiction - 26/4/17) Aster kembali menyusun rencana untuk kembali berpetualang demi menemukan misteri yang masih tersembunyi di bumi ini. Namun, selalu ada hambatan baginya untuk memulai semua itu. T...