Enam

1.9K 225 8
                                    

Jarum jam berdetak beraturan. Membuat menit-menit berlalu, dan hari berganti. Semalaman Aster hanya memandangi langit-langit kamar. Menghitung tiap detik yang terdengar nyaring dalam kepala. Padahal bunyi itu hanya berasal dari jam tangannya saja. Namun keheningan malam membuat suara-suara yang ada menjadi terdengar semakin nyaring.

Mata gadis berambut panjang itu tak kunjung ingin terpejam. Tapi kakinya pun terlalu lelah untuk melangkah menuju ladang bunga. Setidaknya jangkrik yang berbunyi di luar rumah tak membiarkannya merasa menjadi satu-satunya yang terjaga sedari malam.

Tatapan mata Aster tampak kosong, namun kepalanya tak pernah begitu. Terlalu banyak hal yang selalu dipikirkan. Kali ini dia tengah memantapkan hati untuk mewujudkan keinginannya untuk berlayar. Meski Alby melarangnya dengan halus, tapi keinginan yang ada jauh lebih kuat untuk bisa melawan hal itu.

Aster memiringkan badan, menghadap ke arah pintu. Dia melihat sepatu boots yang begitu bersih mengilap. Untuk apa aku mempersiapkan benda itu jika pada akhirnya tidak akan kugunakan? Tanyanya kepada diri sendiri. Hal itu memantapkan hati Aster untuk membuat sebuah keputusan. Setelah fajar menyingsing, dia bertekad untuk memulai pelayaran. Seorang diri. Tanpa ditemani siapa-siapa, bahkan Alby sekalipun. Aster tak ingin membuat orang lain terluka hanya karena keegoisannya sendiri. Karena misi kali ini merupakan pemikirannya seorang diri, maka dia pulalah yang harus menanggung semua resiko yang ada.

Aster bangkit dari tidurnya. Dia berjalan menuju meja, meraih ransel miliknya. Satu persatu barang yang dirasa perlu dimasukkan ke dalam ransel tersebut. Peta, kompas, buku, pensil, beberapa stel pakaian, dan yang terpenting makanan. Tampaknya Aster memerlukan lebih dari sekedar sebuah roti dan sebotol air. Tapi, karena dia berencana untuk berlayar menggunakan perahu, jadi hal itu tak perlu dikhawatirkan. Yang cukup membuat kekhawatiran adalah keharusan meminta izin saat hendak keluar dari Nibbana. Sebelum berangkat, dia harus menemui Sarah untuk melaporkan rencananya, meminjam sebuah perahu, serta meminta beberapa makanan untuk persediaan.

Apa yang akan Sarah katakana setelah mendengar niatanku nanti ya? Apa dia akan mengizinkanku pergi?

Aster mulai tidak yakin wanita tua tersebut akan memberikan izin dengan mudah. Tapi, dia berpikir untuk tidak menyerah sebelum benar-benar mencobanya.

Semua barang sudah tertata rapi dalam ransel yang dulu dipakai saat bersekolah di akademi militer. Aster melirik jam tangan yang masih tergeletak pada meja kecil samping kasur. Jarumnya menunjukkan pukul lima tiga puluh. Setidaknya dia harus bersabar sedikit lagi hingga pukul enam. Karena biasanya Nibbanian baru mulai beraktivitas disekitaran waktu tersebut.

Tidak ada hal lain yang perlu Aster lakukan selain menemui Sarah. Dia terduduk di atas kasur empuknya. Terdiam menghitung detik yang tak kunjung mempercepat lajunya. Waktu lima menit terasa menjelma menjadi lima jam. Aster tidak bisa hanya duduk menunggu satu setengah jamnya berlalu.

Rasa ketidaksabaran membuat kaki Aster memutuskan untuk melangkah menuju ladang bunga. Kali ini dia membawa serta ranselnya agar dapat langsung pergi setelah itu. Tak lupa dikenakannya jaket yang bertengger di atas kursi sebelum keluar rumah. Udara dingin begitu menusuk namun menyegarkan. Permukaan sepatu boots-nya sedikit basah terkena embun pada rerumputan.

Langkahnya terhenti di hadapan makam Edy. Dia tak meneruskan perjalanan hingga ke atas rumah pohon. Aster lebih suka merebahkan badan di atas rerumputan untuk saat ini, memandangi awan di atasnya. Cahaya mentari sudah mulai bersinar dengan samar. "Aku akan pergi tak lama lagi. Jangan pernah luput memperhatikanku dari atas sana ya, Edy! Terutama jika aku berhasil menemukan kedua orang tuaku," ujarnya pelan.

Aster [The Secret of The Sea]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang