Suatu hobi yang membuat semua orang mengagumi apa yang telah terpampang dalam sebuah benda yang merupakan refleksi mata manusia. Gambar abadi yang selalu mengabadikan moment-moment yang tidak dapat diulangi lagi. Banyak orang yang tidak melewatkan moment tersebut dengan memotret dirinya ataupun pemandangan yang tersaji di depan mata mereka. Tak terkecuali dengan manusia bernama Kwon Yul (20). Hobi yang digelutinya tidak lama itu membuatnya menemukan seseorang yang sudah membuat dirinya nyaman dan lebih menghargai waktu. Suatu kebetulan atau takdir ? Hanya Tuhan yang tahu.
"Yul, bagaimana kau dengan Jessica ?"
"Ah dia. Baik-baik saja. Layaknya sahabat."
"Hanya sahabat ?"
"Lalu ?" tanya Kwon Yul. Dia menatap penasaran pada sahabat yang lebih pendek darinya itu.
"Kau dekat dengannya dan kalian juga sering keluar."
"Taeng, kau tahu, aku dan dia keluar atau menghabiskan waktu bersama karena kita memiliki hobi yang sama. Tak lebih dari itu," kata Kwon Yul menanggapi jawaban dari Kim Tae (20). Itulah nama sahabat yang bukan sekedar sahabat. Dia kerap memanggilnya dengan Taeng.
"Laki-laki bodoh seperti kau memang tak memahami situasi," cibir Kim Tae.
"Maksudmu ?"
Seorang pelayan berjalan ke arah mereka untuk mengantarkan dua cangkir kopi yang masih panas. Terlihat dari kepulan uap yang melayang-layang di atas cangkir berwarna putih. Pelayan itu meletakkan kopi dihadapan mereka dengan senyuman ramah. Dan di belakang pelayan itu muncullah sosok pria tinggi dengan mata bak mata rusa yang besar.
"Kalian memang tak pernah akur. Suara kalian terdengar hingga ke pintu masuk."
"Bagaimana aku bisa akur dengan kurcaci kerdil ini, jika dia selalu mencibir orang yang lebih tinggi darinya." kata Kwon Yul sambil melihat-lihat hasil jepretan amatirnya.
"Kau kemarin kemana tidak masuk kelas ? Teman sekelasmu menanyakanmu padaku." tanya pria itu.
"Aku membantu dan menemani Jessica memotret untuk tugas akhirnya."
"BINGO ! Kau selalu ada untuknya, menemani dia, membolos mata kuliah demi dia, bagaimana hubungan kalian hanya sekedar sahabat ?" cerca Kim Tae gemas.
"Benar. Apa kau tak ada rasa padanya ?" tanya pria yang belum diketahui namanya sambil menyeruput kopi milik Kim Tae. Si pemilik kopi mendelik dan menatap nanar kopinya yang sudah bukan menjadi miliknya.
"Yoong, tak bisakah kau memihakku ?" tanya Kwon Yul jengah.
"Aku selalu memihakmu, tapi lain halnya dengan masalah ini. Kali ini aku akan memihak kurcaci kerdil ini." kata Im Yoon (19) sambil meletakkan tangan kanannya pada bahu Kim Tae. Kim Tae hanya diam pasrah setelah si mata rusa ini berbuat semaunya.
"Sigh ... aku dan dia hanya-"
"Taeng, Yul, Yoong." teriak pria yang tak kalah tingginya dengan Im Yoon dan Kwon Yul.
"Tuhan, nyawaku tidak akan selamat." gerutu Kim Tae setelah tahu siapa yang menghampiri mereka.
"Apa yang kau katakan, Taeng ?" tanya pria yang baru datang itu penasaran.
"Tak ada, lanjutkan saja pembicaraan kita." kata Kim Tae dengan memamerkan deretan gigi putih dan rapinya.
"Apa yang kalian bahas ?" lanjutnya sambil duduk di samping Kwon Yul.
"Lanjutkan Yul perkataanmu." kata Im Yoon.
"Aku dan dia hanya sekedar sahabat. Aku akui aku suka dengannya, tapi aku tak berniat untuk menjadikannya milikku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Photograph
أدب الهواةDuniaku terpotret dan terfokus sejak kau hadir di dalamnya. Kau penyemangat dan motifator tak langsungku ketika aku terkekang oleh keraguan. Bisakah kau menjadi milikku dan mengukir cerita seperti kamera yang mengabadikan tiap moment yang langka ?