Part 10 : Trust

1.6K 133 25
                                    

Oh no, kenapa dia berlutut?!

"Justin, stand up!" Aku memegang kedua bahunya dan memaksa dia berdiri, tetapi dia tetap diam di tempatnya dengan kepala tertunduk kebawah. Apa mau dia?!

"Justin! Kau mau seperti itu sampai kapan?!" Aku berteriak frustasi. Dia tetap diam. Tuhan, tenggelamkan aku sekarang juga dari permukaan bumi ini!

Akhirnya aku menyerah. Aku berlutut juga di depannya. Kakiku menyentuh lantai yang dingin, asing dan tidak diinginkan oleh kulitku. Aku menundukkan kepalaku sama seperti dia.

Apa dia berkata jujur? Apa benar minuman dia diberi obat perangsang? Atau dia berbohong? Aku tahu, di dalam sebuah hubungan harus saling percaya. Tetapi dalam kasus seperti ini, apa aku harus percaya? Oh demi apapun, jika kau jadi aku, kau tidak akan menyukai ini. Aku mencintai Justin, sangat mencintainya. Aku ingin mempercayainya, dan kembali lagi seperti semula. Tapi jika aku memaafkannya dan mempercayainya dengan sangat mudah, hubungan ini akan terus seperti ini, terus kacau seperti ini. Aku ingin hubungan kami berjalan dengan baik, sangat ingin.

Aku mendongakkan kepalaku. Justin sudah terlebih dahulu melihatku, memperhatikanku. Matanya merah dan berair sehabis menangis. Aku mengepalkan tanganku di pangkuanku, menahan godaan ingin memeluknya dan menghapus air matanya. Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.

"Apa kau akan tetap diam?" Aku bertanya pelan, tetapi memohon agar dia ingin bicara. Kumohon berbicaralah!

"Apa kau percaya padaku?" Akhirnya dia bersuara, dengan suara serak dan sangat pelan, hampir tidak terdengar.

Aku menelan ludah. Apa aku percaya? Apa aku harus percaya? Pertanyaan-pertanyaan itu mengisi pikiranku penuh, membuat kepalaku berdenyut. Tetapi pertanyaan yang membuatku termenung adalah, apa yang dapat membuatku percaya padanya?

Aku menggigit bibirku dan menelan ludahku lagi. Kepalan tanganku semakin erat.

"Aku pikir, aku membutuhkan waktu untuk semua ini." Aku akhirnya menjawab.

Dia melemparkan tatapan bingung kepadaku, dia membuka mulutnya lalu menutupnya kembali. Lalu tatapannya kearah lain. Dia mengusap wajahnya dan mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Kenapa? Kau tidak percaya padaku?" Suaranya sedih. Oh no.

"Bukan seperti itu."

"Lalu kenapa?!" Kepalan tangannya memukul lantai dengan keras dan dia menaikkan nada suaranya sehingga membuatku tersentak. Terkejut karena emosinya yang tiba-tiba saja meluap.

"Beri aku waktu, waktu untuk semua hal ini. Aku butuh ruang. Aku perlu memikirkan semua-"

"Apa lagi yang kau pikirkan?!"

"DEMI TUHAN, INI TENTANG SUAMIKU YANG BERCINTA DENGAN WANITA LAIN!" Akhirnya aku berteriak, meluapkan semua emosi yang aku tahan. Dia terkejut atas emosiku.

"Bagaimana aku tidak kepikiran dengan hal itu?" Suaraku memelan dan aku mulai menangis lagi.

"Aku wanita hamil yang suaminya pergi sore hari ke party dan sampai tengah malam aku melihat sendiri suamiku bercinta dengan orang lain!" Aku tidak memperdulikan lagi seberapa buruknya diriku sekarang. Aku hanya ingin tenang!

"Aku hanya butuh ruang." Aku menguburkan wajahku di telapak tanganku.

Aku merasakan Justin memeluk tubuhku. Menangis juga. Aku tidak membalas pelukannya, hanya bisa menangis.

"I'm sorry." Dia berbisik. "I'm sorry, I'm sorry."

"Just give me some space, please." Aku keluar dari pelukannya dan menatapnya memohon. "I'll come back if I'm ready."

Justin menatapku, mencari-cari apakah aku serius mengatakannya. Lalu dia menghembuskan nafasnya dan mengangguk perlahan.

"Okay." Bisiknya, lalu dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Saat bibirnya hampir menyentuh bibirku, dia berhenti dan menatapku.

"May I?" Tanyanya pelan. Aku mengangguk. Lalu dia menempelkan bibirnya ke bibirku. Dia menciumku dengan sangat lembut, seperti saat di hari pernikahan kami waktu itu. Bibirnya yang lembut memagut perlahan bibirku. Dia benar-benar menciumku dengan gentle, seperti ini ciuman terakhir baginya.

Aku melepaskan ciumannya. Lalu memeluknya. Menghirup wangi tubuhnya yang khas. Aku menangis di bajunya, tanganku memeluknya erat. Dia membalas memelukku, mencium rambutku. Setengah dari diriku ingin terus memeluknya seperti ini, tetapi bagian lain dari diriku tidak su di memeluknya karena suamiku sudah disentuh wanita lain.

Aku melepaskan pelukan, dan tersenyum untuknya. Dia tersenyum kembali, tetapi tidak sama seperti yang biasanya aku lihat.

"Aku antar kau sampai pintu." Aku mengakhiri pertemuan ini. Dia menghembuskan nafas dan mengangguk.

Aku berdiri, disusul Justin. Aku berjalan menuju pintu dan membuka nya. Saat aku membuka nya, orang-orang hotel ini berkumpul di depan pintuku. Mereka yang menyadari aku membuka pintu seketika berlari menjauhi pintu ini. Mungkin mereka mengikuti Justin yang datang kesini dan mendengar teriakkan kami. Aku harap tidak ada yang menyebarkan berita tentang aku dan Justin bertengkar.

Justin berjalan mendekatiku. Dia melihatku sekali lagi, berharap aku mengubah pikiranku. Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain.

"I love you." Aku mendengar suaranya. Aku menekan bibirku bersamaan, menahan gumpalan di tenggorokkanku dan air mata yang mengancam keluar dari belakang bola mataku.

"I love you too." Aku berbisik, entah terdengar oleh Justin atau tidak. Lalu aku mendengar langkah kaki. Aku menoleh ke arahnya. Dia sudah berjalan menjauhi kamarku.

Aku menutup pintuku kembali. Berjalan ke tempat tidur, aku merebahkan tubuhku di kasur.

Aku takut. Takut bahwa Justin pergi dari kehidupan ku. Apa keputusan yang ku ambil sudah benar?

****

I know it's so short, but you guys won't me to update so long, so

Don't mad at me, pleaaase. I'm trying my best for spending more time to write.

Any thoughts?

STRONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang