I'm died a little bit inside
- All i want, kodalineVania's pov
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, percakapan yang terjadi tadi di cafe dekat sekolah terus terngiang di otakku. Seolah terekam dengan baik dan tersimpan rapi.
Emangnya lo yakin si vigo melakukan hal yang sama kayak lo van?
Gue juga dulu nggak peduli sama apa yang orang lain bilang. Gue tetep percaya dan lo liat? Ngenes bro
Kasian sahabat gue lo anggurinLelah. Entah harus percaya yang mana. Entah harus peduli dengan siapa.
Sebenarnya semua yang mereka katakan tadi sudah ada sejak lama di pikiranku. Hanya saja aku mencoba mengelak dan melupakannya. Aku tau ini kehidupan nyata. Bukan cerita fiksi yang bahkan dibuat oleh seorang manusia.
Cerita hidupku ditentukan Tuhan. Apa yang aku inginkan belum tentu yang ditentukan Tuhan untukku. Aku juga sebenarnya selalu merasa ragu.
Apa benar dia akan kembali? masih seperti dulu dan datang dengan perasaan yang sama? Atau dia takkan kembali? Atau yang lebih buruk, dia akan datang bersama seseorang yang baru yang telah mengisi hatinya?
waktu bahkan terus berganti lalu bagaimana dengan perasaan seseorang yang bahkan kala itu masih berseragam putih biru?
Berada di posisiku sangat menyebalkan . Aku tak mengerti apa maksud Tuhan atas semua ini.
Apakah Tuhan memberi cobaan agar aku tetap menunggu? Atau Tuhan mengisyaratkan untuk melupakan?
Tapi, hati tidak mudah diajak berkompromi bukan? Sama seperti aku yang lebih memilih menunggu daripada melupakan.
"Vania pulang" sapaku saat sudah sampai di rumah. Papa datang dengan wajah yang bisa dibilang, ah sudahlah.
" Kok baru dateng?" Tanya papa penuh selidik
" Iya, tadi nongkrong bentar di cafe deket sekolah pa. nggak lebih dari 3 jam kok" kataku malas.
Papa memang seperti itu, overprotektif.
"Ya sudah, sekarang ganti baju terus kita makan bareng"
" Iya pa" jawabku sambil berlalu berjalan ke kamarku.
"Van, lo udah sampe di rumah?" Tanya gista diujung telepon.
Baru saja aku berganti selesai mandi, gista sudah menelponku.
"Udah, kenapa ta?" Tanyaku
" Nggak, cuma mau ngingetin kalo besok pagi kita bakal kerja kelompok di rumah Diandra"
"Bukannya tadi udah diingetin ya? Astaga, gue tau. Kalo udah gini pasti ada yang pengen curhat nih" kataku menebak
" Tau aja lo van. Gue curhat boleh ya?" Nada bicara gista setengah memohon.
"Tapi abis gue makan ya?" Aku tidak boleh terlambat makan hanya karena menerima telepon. papa pasti akan bilang kalau aku terlalu asik dengan gadget dan tak ingat lingkungan atau apalah. Padahal dari semua temanku, hanya aku yang tak terlalu dengan sosmed atau apapun yang menguras waktu.
" Iya deh, cepetan makannya ya van" kata gista sebelum dia menutup teleponnya.
Aku langsung bergegas ke turun kebawah. Mama sudah menghidangkan makanan di meja makan, papa sudah duduk manis di kursi. Kak Gilang juga sudah keliatan tak tahan untuk segera mulai makan.
Hanya kurang satu, si aldo. Kemana anak itu? Jangan bilang dia masih belum pulang.
"Pa, aldo mana? " tanyaku pada papa saat sudah duduk di kursi
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Great In Waiting
Teen FictionJika untuk seseorang yang lebih dari sekedar berarti, menunggu bukanlah hal yang harus kutakuti Cerita ini tentang seorang gadis yang tetap setia menunggu seseorang yang menjanjikannya harapan di masa lalu.