Makan Siang Yang Nyaman

18 2 0
                                    

            Aku tak langsung pulang hari ini, ada hal yang harus kukerjakan secepatnya. Sebenarnya aku bingung harus bagaimana, tak ada hal yang bisa kujadikan petunjuk untuk memecahkan misteri ini. Aku pun tak pernah punya pengalaman menjadi detektif atau apapun yang berhubungan dengan teka-teki. Mungkin benar, ini memang lebih sulit dibandingkan mengembalikan jaket Patra yang ketinggalan minggu lalu.

Aku terlalu jadi pengecut untuk menampakkan wajahku didepan teman-temannya waktu itu, Patra hanya tersenyum tipis melihat sikapku yang malu-malu. Bukannya jaim, tapi aku hanya menjaga sikap di depannya. Agar tidak di cap sebagai gadis agresif yang aneh.

            Selagi kebingungan menyelimuti diriku di pinggir jalan raya yang sepi, menghibur diri dengan mengecek sosial media mungkin bisa menghilangkan bosan. Tapi ternyata aku lebih malas lagi melihat sosmed yang isinya tak pernah menjadi penting untukku, bahkan untuk mengetahui keadaan Patra. Ia pun beranggapan kalau melakukan hal didunia nyata lebih penting dari pada menghabiskan waktu seharian hanya untuk hal yang kurang bermanfaat. Mungkin dia benar, aku terlalu fanatik mengikuti jejak hidupnya, hingga aku lupa dengan kehidupanku sendiri.

            Berjalan kaki sendirian melewati tempat yang sepi tak pernah membuatku takut. Walaupun terkadang banyak yang kukhawatirkan tentang keselamatan diriku sendiri. Anggapan bahwa aku tidaklah menarik, bahkan untuk dijadikan sandera pun tak ada gunanya membuatku optimis tak akan ada yang menyakitiku. Dilihat saja tidak menarik, apalagi diculik. Itu membuatku sedikit termotivasi untuk lebih mandiri dan tidak bersikap manja. Terkadang komentar miring orang-orang disekitar membuatku lebih kuat dan lebih baik menjalani hidup ini. Walaupun jauh dari keluarga yang sebenarnya sangat kurindukan. Aku berusaha tidak merepotkan orang lain karena diriku.

Kurang lebih lima belas menit aku berjalan sendirian di pinggir jalan raya yang siang ini cukup sepi, mungkin orang-orang sedang beristirahat atau menikmati sesuatu yang mereka sukai di suatu tempat. Selang berapa detik terdengar suara laju motor yang bergerak dengan kecepatan stabil, ia berhenti disebelahku. Aku hanya bisa menoleh dan berhenti menunggunya melepas helm dari kepalanya.

Lagi-lagi "Patra!" Aku terbungkam, entah ingin berkata-kata tapi tak bisa. Mulutku seolah terkunci dan diam-diam melontarkan senyum tipis padanya.

            "Na, mau bareng?" Tawarnya. Sambil membalas senyumku. Ia selalu cool seperti biasanya, apapun yang ada padanya seolah tak pernah ada kekurangan.

            "M.. Boleh.." Aku gugup, ragu, entah apa lagi yang ingin kusampaikan padanya. Entah ini kebetulan atau disengaja, ia ingin mengantarkanku pulang? Dengan motor kesayangannya? Dan dengan senyum itu?

Ya ampun Nia! Apa lagi yang ditunggu, jangan mau kalah sama feeling. Bisa jadi dia cuma kebetulan lewat dan ngajak kamu pulang bareng. Bisa jadi karena dia kasian liat kamu jalan makannya nawarin tumpangan. Emosiku tak terkontrol, berusaha tak menjadi aneh di depannya, berusaha tak merusak kesempatan ini. Apa daya... Aku hanya bisa bersikap seadanya di depan Patra.

            "Hahah... Yaudah yuk!" Patra memakai kembali helmnya. Dia tertawa, entah karena melihat pipiku yang memerah lagi atau apa. Ia begitu renyah melukiskan senyum itu padaku. Manusia paling manis yang pernah kukenal.

                                                                   ***

            "Na, kok kamu jalan sendirian sih siang-siang begini?" Patra mulai membuka pembicaraan saat sudah berlalu beberapa mil jauhnya dari tempatku berjalan.

            "Na?" Panggilnya lagi.

            "Eh.. Iya apa?" Aku menyautinya dengan gugup karena masih terbawa khayalanku yang terus berpikir kalau suatu saat Patra akan menjadi pacarku. Duh! Apa yang kuharapkan?

            "Kamu bengong ya?" Patra bertanya lagi, tetapi kali ini aku hanya menjawabnya dengan senyum ringan, walaupun aku tahu dia tak melihat senyumku. Patra tak menyahuti lagi, ia fokus memerhatikan jalan. Entah apa yang sedang ia pikirkan sekarang, aku ingin tahu isi kepalanya.

Tiba-tiba Patra menghentikan motornya di sudut jalan, berbelok ke kiri menuju kios makanan. Tempat kesukaanku. Aku masih kebingungan kenapa ia berhenti disini, aku tidak bilang kalau aku ingin makan siang, bahkan menjawab pertanyaannya yang tadi pun belum. Entah apa yang terjadi pada pria tampan itu hari ini, intinya kupu-kupu dalam perutku mulai berterbangan saat ini. Ada apa ini?

            "Ayo Na!" Ia turun dari motor dan mengajakku untuk menemaninya kedalam kios makanan itu. What!? Tanpa berpikir yang aneh-aneh lagi aku mengikutinya. Walau sebenarnya aku tak tahu apa yang ingin dia beli disana.

            "Hmm.." Ternyata itu bukan kios makanan biasa yang ku kira menjual makan warteg kesukaanku. Disini sejuk, aromanya enak, aku tak tahu kalau ada tempat senyaman ini di pinggir jalan arah rumahku. Aku duduk di salah satu lesehan di pinggir restoran itu, ternyata ada kolam jernih yang berisi beraneka ikan di sekeliling tempat itu. Tak lama aku memandanginya, Patra datang membawakan dua piring cemilan. Aku bahkan tak tahu apa nama makanan itu. Mirip seperti kue, ada rotinya ditambah keju dan susu kesukaanku diatasnya.

            "Tempatnya bagus gak Na?" Ia bertanya padaku sambil memandangi sekeliling kolam, tatapannya lembut dan sejuk. Patra membuka resleting jaket kulit hitamnya, ia masih mengenakan kemeja sekolah. Aku tak percaya siapa yang ada di depan mataku sekarang. Duduk bersamaku menikmati makanan yang tak aku kenali apa itu.

            "Em.. Bagus." Jawabku singkat.

            "Pertama kali aku kesini waktu jalan-jalan sendirian. Eh terus tertarik sama restoran kecil ini, niatnya sih cuma mau beli makanan aja karena laper. Ternyata tempatnya enak juga. Kebetulan jalannya searah sama rumah kamu." Ceritanya singkat. Entah kenapa ia kelihatan begitu menenangkan. Aku merasa nyaman dengannya, tidak ada rasa canggung sedikitpun seperti yang biasa kurasakan.

            "Patra?"

            "Iya?" Matanya beralih ke arahku.

            "Ini namanya apa?" Kataku sambil mengambil sepotong kecil makanan itu.

            "Ohh itu ketan bakar. Kamu belum pernah makan ya?"

            "A.. Aku biasa makan makanan barat." Jawabku malu, sambil memakan makanan itu. Ternyata enak juga, rasanya gurih dan manis. Seperti orang yang ada di depanku ini.

            "Hahah, kamu harus sering-sering cobain makanan tradisional begini. Enak deh." Nada suaranya ramah. Aku harap dia tak melihat warna pipiku saat ini. Ya Tuhan, mimpi apa aku bisa ada disini dengan Patra? Rasanya kupu-kupu itu semakin menggelitik perutku. Rasanya aku ingin waktu berhenti sebentar saja, aku ingin lebih lama dengannya. Perasaan apa ini?

                                                                   ***

Book SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang