Hari Itu

13 0 0
                                    

Pov Lafi
Entah mengapa aku jadi suka hujan hari ini. Melihat butir yang turun dari langit seperti melihat ribuan berlian yang turun dari langit. Membahagiakan sekali hari ini. Sepertinya aku sudah lupa dulu aku sangat benci hujan karena jika hujan datang aku harus siap siap kehujanan yang artinya tinggal menunggu hitungan menit penyakit menyebalkan itu kambuh tiba-tiba. Asma penyakit sudah dari lama aku derita. Penyakit yang membuat segala aktivitasku selalu dibatasi. Ya sudahlah.

Oh iya tadi kakak ngapain telepon ya??
Kutekan tombol-tombol diponsel ku dan segera kudengar deringnya menunggu jawaban dari kakakku yang paling overprotektif dengan adiknya ini.
"Assalamualaikum kak ada apa ya tadi telepon? Kakak sama ibuk dimana sih? Lafi sendirian dirumah nih. Hujan."
Ucapku sambil memanyunkan bibir dan menyerocos kesal.
"Wa'alaikumsalam. Laf... Laf... nanyanya dari satu dong sayang. Kakak lagi ngantar ibuk belanja nanti malam soalnya ada yang mau datang kerumah katanya sih ada yang mau khitbah kamu dek."
Jdeerrr... suara guntur sama kerasnya dengan degup jantungku... ha.. dikhitbah.. siapa kok gak tanya aku dulu sih.. kok langsung boleh dateng kerumah sih.. apa apaan sih ibuk sama kakak nih.
"Kakak dah baca CV nya sih. Lafi ambil map ijo di kamar kakak gih dibaca. Oh iya Laf.. jendelanya ditutup jangan sampe kamu kedinginan dan kambuh saat gak ada orang okay?"
"Kak..." butir halus ini leleh dari mataku. Perasaan macam apa ini.
"Apaan sih dek. Kok malah nangis. udah sih ya kakak mau jalan balik. Jangan nangis kayak anak TK deh. Assalamualaikum."

Tut.. tut.. tut..

Belum sempat aku protes malah dimatiin kakak nih apa apaan sih. Ku usap air mataku dengan langkah gontai ku buka kamar kakak. Mencari map yang tadi kakak bilang. Siapa sih orangnya kenapa kakak dengan entengnya nge-iyakan. Apa apaan banged kakak nih. Ku temukan map hijau yang tergeletak diatas meja belajar kakak. Aku bawa keluar kamar sambil menimang-nimang seperti orang mau gosok Ale-Ale berhadiah. Bedanya kalo itu gak dapet hadian bisa beli lagi. Lah ini. Sudah gak tau dalamnya apa udah gak bisa nolak lagi gimana kalau zonk. Aduh. Kalut banget pikiranku.
Aku mendekati jendela melihat ribuan air hujan yang turun. Ah... kenapa mereka bisa begitu bebas meluncur ya. Bukankah terhempas itu sakit. Kenapa mereka tidak protes ya. Padahal aku. Terhempas saja belum tapi protesnya beruntun. Astagfirullahaladzim...

Kugosok-gosok depan map itu berharap menemukan keajaiban didalamnya. Atau semoga aku tak menemukan apapun didalamnya dan hanya dikerjain kakak.

Bismillah...

Perlahan kubuka map itu sambil memejamkan mata. Dalam hati sambil berhitung. Satu. Dua. Ti.. Hap kututup lagi.

Akh sudahlah ndak usah dibaca saja. Tapi kalo orangnya gak orang baik-baik gimana ya? Akh tapi masak ada orang gak baik-baik ngasih proposal. Buka ndak ya. Kenapa malah jantung ini makin berdegup ndak karuan. Sudahlah lebih baik aku shalat dulu.

Kubasuh wajahku dengan air suci nan-mensucikan. Rasanya sejuk menenangkan. Memang benar wudhlu bisa menenangkan hati. Kugelar sajadah kukenakan mukena dan ku mulai takbiratul ikhramku. Selesai shalat aku hanya bisa berdoa meminta ketenangan jiwa berharap pria yang datang adalah pria terbaik dari yang terbaik yang dipilih Allah untukku.


"Assalamualaikum..."
Segera kusambut ucapan salam itu dengan ciuman tangan keduanya.
"Wa'alaikumsalam. Belanja apa buk? Kok lama sekali?"
Sembari menjelaskan panjang lebar ibuk mengeluarkan seluruh belanjaanya. Katanya ibuk mau bikin Setup makaroni.
"Bantuin ibuk ya Laf.."
Aku hanya mengangguk pikiranku masih sedikit melayang pada map yang ada diatas meja diruang TV.
"Laf.. jangan ngelamun lah. Bikinin kakak teh panas dong Laf. Dingin nih. Kakak mandi dulu. Nanti taruh depan TV. Okay cantik? Sekali ini lah ya sebelum jadi istri orang."
Hampir saja sendok ini melayang ke kepalanya sebelum ibuk mencegah. Habis menyebalkan sekaai kakakku itu.
"Sudah Laf.. bikinin teh dulu."
"Iya bu.."


Tiba-tiba saja adzan maghrib sudah berkumandang. Semua masakan sudah beres dari 10 menit yang lalu. Dan hujan belum juga berhenti. Segera aku mengambil air wudhu dan melangkah ke mushala melihat ibu dan kakak sudah disana aku lebih mempercepat langkahku.

"Assalamualaikum warahmatullah..."

Selesai shalat aku hanya bisa tertunduk lesu memehon segalanya yang terbaik pada Allah. Kucium tangan keduanya, lalu kulipat mukenaku.

"Laf.. sakit? Kok kamu diam saja sih? Biasanya cerewet sekali."
"Ndak kak.. cuman agak sesak sedikit."
"Ya sudah.. siap-siap ya jam 7.30 insyaAllah Haqi dan keluarganya sampai."

Aku hanya menganggukan kepala.
Haqi.. oh namanya Haqi. Siapa ya kira kira. Kok aku asing sekali dengan nama itu. Teman kakak memang ada ya yang namanya Haqi. Aku bergegas mandi dan berdandan tipis. Bismillah. Ucapku beribu-ribu dalam hati.
Jam sudah menunjukan 07.29. Baru saja aku menghembuskan nafas tiba tiba pintu sudah diketuk dah terdengar suara kakak yang membalas salam sambil mempersilahkan duduk. Aduh kenapa gerogi begini ya aku. Beberapa saat hening lalu terdengarlah knop pintu sibuka.

"Laf ayo mereka sudah datang lho. Bawakan minum ya. Kakak dan ibu keruang tamu dulu. Ayolah jangan lemas begitu."
"Akh kakak apa-apaan sih."
"Kamu sudah baca tadi kan. Masak kamu gak suka sih?"

Sambil mengerdikan bahu aku meringis. Muka kakak gemas sekali melihat mukaku. Sembari mengeleng-gelengkan kepala dia meninggalkan kamarku tanpa menutup pintu. Kebiasaan buruk dan aku hanya bisa membatin. Segera kuambil nampan berisi gelas yang sedari tadi menunggu untuk dihidangkan.

"Eh ini Lafi ya. Sekarang cantik sekali. Pantas saja ada yang ngotot minta diajak kesini"

Aku mendongakan wajah kearah sumber suara yang membuatku tercekat. Lhoh.. Om Nug kok Om Nug memang punya anak yang namanya Haqi.

"Abi.. apaan sih."

Jawabanya disambut tawa renyah dari seluruh orang diruang ini. Dan aku memberanikan diri menatap sumber suara terakhir yang membuat jantungku berhenti berdetak. Rasanya lebih sesak dari pada saat Asmaku kambuh. Wajahnya bersemu-semu dan tanganya yang sedari tadi dia mainkan menandakan dia sedang nervous berat. Baru sampai pada senyum simpul dibibirnya aku sudah bisa menebak dengan pasti dia ini bukan Haqi seperti yang kakak bilang tapi... mata kita saling bertatap sepersekian detik. Deg.. Astagfirullah...Aku segera memalingkan pandanganku yang malah makin membuat seluruh orang dalam ruangan ini tertawa.

"Lho nak Lafi belum baca proposalnya mas Haqi?" Wajah yang tidak asing yang senyumnya selalu membuatku tahu bahwa beliau adalah sosok yang begitu penyayang. Tante Khai.

"Belum tante.." ucapku mengantung gak sanggup lihat wajah mereka satu satu malu sangat malu.

"Kayaknya gak perlu baca proposal dia juga udah kenal sama dek Haqi deh Te."

Kakak apaan sih bercandaanya malah serasa menyudutkan aku gini kan malu ketahuan kalo aku udah lama kagum sama mas Ishaq. Dih sebal....

"Gimana nak Lafi mau menerima khitbah mas Haqi tidak?"

Aduh..pertanyaan apa lagi ini. Aku harus jawab apa?

...

TENTANG RASA DAN HUJAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang