Hurt

54 2 0
                                    

Thalia POV

"Hai." Gue membuka mata dan menatap Justin yang tengah menatap gue seraya tersenyum. Gue mencoba untuk bangun dari posisi tidur gue namun Justin menahan nya.

"Tiduran aja," ujar nya. Gue sadar kalau sekarang gue lagi di ruang kesehatan kampus, gue pasti pingsan gara-gara nangis tadi.

Dari kecil gue selalu pingsan kalau nangis karna shock. Jujur gue shock dengan apa yang gue lakukan. Gue mutusin orang yang gue sayang, walaupun dia ngga sayang sama gue.

Gue dan dia emang pacaran dengan waktu yang ngga lama, tapi gue sayang dia, gue sayang dia, dan gue sayang dia. Gue merasakan air mata mengalir di pipi gue. Gue mencoba menghapus nya namun tangan Justin menahan nya, gue pun mencoba untuk bangkit duduk dan menatap nya.

"Air mata itu kesedihan lo, biarin kesedihan lo keluar dari diri lo, biarin air mata itu jatuh." Ujar nya menatap gue lembut. Dan gue pun menangis kencang, gue yakin orang diluar ruangan ini dengar tangisan gue.

Justin memeluk gue erat, gue membalas pelukan nya. Pelukan Justin dapat menenangkan gue, walau sedikit. Sebenarnya, gue udah ngga ingin menangis lagi tapi gue gatau kenapa air mata terus mengalir.

"Kasih tahu gue agar ngga nangis saat dia pergi, Justin." Ujar gue pelan. Gue gatau Justin dengar atau engga tapi dia semakin mengeratkan pelukan nya.

"Thalia, aku sayang kamu." Ujar Justin. Gue terdiam, gue ngga tahu harus apa. Untuk saat ini gue emang ngga punya perasaan apa-apa sama Justin, gue sayang Cam.

"Just, gu-gue-"

"It's ok, ini bukan waktu yang tepat. Tenang aja."

"Justin, kenapa gue nangis terus kayak gini sih?" Ujar gue melepas pelukan gue. Gue terus menghapus air mata gue yang mengalir karna tidak berhenti-henti. Justin hanya menatap gue.

"Gue ngerasa kayak ada sesuatu yang harus gue keluarin dari diri gue, tapi gue gatau apa." Ujar gue. Justin menggenggam tangan gue.

"Keluarin semua apa yang kamu rasain selama ini, jangan dengan tangisa. Ungkapin dengan kata-kata." Ujar nya mengelus tangan gue. Gue menghembuskan nafas gue pelan.

"Gue gatau harus ngomong apa, tapi gue sedih. Gue sedih karna gue kehilangan orang yang gue sayang, gue gaperduli dia sayang atau ngga sama gue tapi gue sayang sama dia, Just. Jujur, selama ini gue tahu dia ngga sayang sama gue, gue cewek, gue bisa merasakan itu. Tapi, gue tetep sayang sama dia, gue ngga perduli tentang itu.

Sampai banyak orang yang sering ngomong sama gue soal dia, dan gue ngga pernah perduli. Gue selalu berpikir kalau dia pacar gue, gue lebih tahu dia daripada mereka, tapi gue salah, gue bahkan gatau apa-apa. Gatau kalau semua perilaku dia ke gue palsu, dan bodoh nya perilaku palsu dia selalu ngebuat gue makin sayang sama dia." Ujar gue.

"Gue gatau harus apa sekarang, gue cuma mau dia bisa jaga dirinya, dia ngga sering main-main, dia ngga sering pergi ke klub lagi, dia ngga jarang makan lagi, dia rajin belajar, dia banyak istirahat, jangan sampai sakit karna dia bakal marah-marah sendiri kalau sakit. Gue bakal jagain dia, Just, walaupun dari jauh." Ujar gue tersenyum getir. Gue melihat Justin ... menangis.

"Gue minta maaf kalau gue ngga bisa bikin dia bahagia, gue ngga pernah bisa bikin dia nyaman sama gue, gue gacantik, gue ngga pantes jadi pacar nya, tapi gue sayang dia, apa itu kurang? Dia segalanya buat gue walaupun gue bukan siapa-siapa di mata nya.

Gue ngga pernah minta dia buat 24 jam disamping gue, gue ngga pernah ngelarang dia main sama temennya, gue ngga pernah minta dia buat ada disamping gue saat gue butuh, tapi kenapa dia nganggep gue seakan-akan gue beban nya. Gue gapernah mau jadi beban di hidup nya, maaf kalau dia nganggep gue seperti itu."

"Thalia, keluarin semua nya." Ujar Justin menghapus air mata gue.

"Gue ngga pernah maksa dia untuk ketemu sama gue walaupun gue lagi kangen sama dia, gue ngga pernah minta beliin apa-apa sama dia, gue cuma minta dia buat ajak gue jalan, tapi karna itu gue dan dia jadi berpisah. Apa gue begitu membebani dia, Justin?

Bahkan gue ngga pernah bilang kangen sama dia kalau dia lagi pergi jauh, karna apa? Karna gue ngga mau membebani dia dengan rasa rindu gue ini. Disaat gaada kata yang bisa menjelaskan perasaan rindu gue sama dia gue tetep ngga pernah membicarakan itu sama dia. Kenapa gue selalu rindu sama dia? Karna gue hanya selalu sama tubuh nya, bukan dengan hati dan bukan dengan perasaan dia." Ujar gue dengan bercucuran air mata.

"Gue minta maaf atas semua hal yang gue lakuin, tapi dia harus tahu kalau gue ngga pernah benci sama dia sedikitpun, sedikitpun. Gue gaakan menyesal karna pernah sakit hati karena dia." Ujar gue berusaha tersenyum. Justin menghapus air mata gue dan memeluk gue.

"Jangan nangis lagi," ujar Justin. Gue melepaskan pelukan nya dan menatap nya, gue mencium pipi sebelah kanan nya, dia terlihat kaget dan menatap gue tidak percaya.

"Ajarin gue untuk jatuh cinta sama lo seperti gue jatuh cinta sama Cam, bahkan lebih dari itu."

Justin tersenyum dan mengangguk, dia mengelus kepala gue pelan.

"Aku akan buat kamu cinta sama aku, dan seandainya ada kata lebih dari cinta itu yang akan ngewakilin perasaan kamu buat aku nanti, Thalia."

Love You Like A Love SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang