Part 5

64 9 1
                                    

Genna's POV

***

Cahaya matahari masuk melalui celah celah gorden membuatku akhirnya terbangun. Aku dengan perlahan memandang ke sekeliling ruangan yang gelap gulita dan berantakan. Sekedar pemberitahuan, aku sudah dipindahkan, tidak di borgol di dinding lagi, tapi di dekat tempat tidur. Meskipun masih tersiksa, tapi setidaknya aku bisa duduk, tidak berdiri sambil diborgol lagi.

Aku menyandarkan kepalaku pada penyangga kayu tempat tidur, memejamkan mata sejenak. Rasanya aku tidak sanggup melihat kondisiku yang hancur dan berantakan sekarang, sangking mengerikannya. Ya, mungkin aku cocok untuk mendapat tawaran menjadi salah satu zombie yang paling berpengaruh di film Resident Evil. Aku juga sepertinya mulai merindukan air menyentuh kulitku atau cahaya matahari yang menyinariku langsung. Entah bagaimana, hal hal sederhana yang selalu kuabaikan itu pada saat ini sangat kurindukan. Mungkin karena aku sudah terlalu lama mendekam di neraka ini.

"Hahh..."aku menghembuskan napas untuk kesekian kalinya. Aku juga menjilat bibirku yang kering untuk kesekian kalinya, karena aku juga belum meminum apapun. Hebat bukan? Aku tidak makan dan minum apapun selama beberapa hari ini dan aku masih hidup. Entah itu kutukan karena penderitaan ini semakin berat atau berkah karena aku baru tahu kalau daya tahan tubuhku kuat juga. Tapi, untuk kali ini, itu memang sebuah kutukan. Lebih baik aku cepat mati daripada mendekam semakin lama di sini. Pikiran itu membuatku bergidik ngeri. Sebuah pikiran kemudian melintas di kepalaku : Aku harus keluar dari tempat ini sekarang juga! Harus keluar!

Aku melihat borgol yang menahan kaki dan tanganku pada kaki kaki tempat tidur dengan pandangan kesal. Aku menarik narik kuat borgol itu, berharap agar terlepas, tapi pada akhirnya aku sendiri yang kelelahan. Aku berteriak marah, mengumpat kesal, memaki maki, melampiaskan emosiku. Aku harus memikirkan cara untuk bebas, apapun itu. Dan setelah bebas nanti aku akan membalas dendam sepuluh kali lipat dari penderitaan yang dapat mereka bayangkan.

*

Remi's POV

Aku menghela napas panjang, kemudian memejamkan mataku. Rasanya saraf saraf dan persendianku pegal semua, tanpa terkecuali. Aku memutuskan untuk memejamkan mataku sejenak, menenangkan otak dan pikiranku yang sedaritadi terus bekerja. Aku tak menyangka lama kelamaan aku mulai terbuai dan akhirnya tertidur. Dan mimpi menjemputku.

Dalam mimpiku, aku melihat sebuah ruangan, entah dimana. Ruangan seperti sebuah kamar cewek, tapi dalam kondisi amat berantakan. Dengan barang barang tercampak sana sini, pecahan beling atau kaca berserakan di lantai, buku buku berjatuhan dari raknya dan berhamburan, bantal ada di dekat pintu sudah robek, sprei berantakan di atas tempat tidur, pakaian sudah tidak pada tempatnya lagi. Aku mengeryit, melihat kekacauan ini. Melihatnya, aku malah menjadi sedikit ragu, apakah ini memang kamar perempuan atau jenis lain yang ingin menjadi perempuan? Berantakan sekali. Setahuku, seumur umur belum pernah kamarku seberantakan ini meskipun aku cowok.Seperti baru saja di kamar ini terjadi perang dunia ketiga, dan aku tidak diajak ajak. Maksudku, kalau memang ada, aku hanya ingin menembak musuh untuk hanya sekali kesempatan.

Aku terdiam, berdiri kaku dan tegak di tengah kamar berantakan ini. Berulang kali aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar ini, sambil mendecak decakkan lidah tak habis pikir. Lama aku berdiri di sana sebelum aku beranjak menuju pintu yang bercat putih. Aku memutar kenop pintu, tapi pintu tidak terbuka. Berulang kali aku mencoba dengan sekuat tenaga, tapi hasilnya nihil. Pintunya terkunci. Sialan. Aku berusaha mendobrak pintu itu, berkali kali juga, tapi pintunya tidak kelihatan berpengaruh terhadap itu. Ah, bagaimana bisa kau terjebak di kamar berantakan ini?

Aku menggedor pintu itu sambil berteriak, "Siapapun di sana, tolong buka! Hei, ada orang di sini! Hei, sialan, buka pintunya!"

Usaha ketigaku ini juga tak membuahkan hasil sama sekali kecuali suaraku yang berubah serak sehabis berteriak. Aku menggeram kesal ke arah pintu putih itu kemudian menendangnya kencang, melampiaskan kemarahanku. Setelah itu aku jatuh terduduk sambil bersandar pada pintu itu. Aku memejamkan mataku, kembali memikirkan jalan keluar dari tempat ini. Dan setelah berpikir keras itu, aku tidak juga mendapatkan pencerahan sama sekali. Dan itu membuatku meninju lantai kayu di sampingku, yang berdampak buruk karena di sana juga ada beling dan beling bodoh itu melukai tanganku. Aku kembali mengumpat kesal, meneriaki nasibku yang membawaku kemari. Yang aku inginkan hanyalah kembali ke rumah, tidur, dan menenangkan diri. Bukan berada ditempat yang hancur ini.

I'm A WarriorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang