D u a

134 22 4
                                    

"Ge, gue ikutan dong privat di rumah lo," bujuk Cena sahabatnya sejak kelas X. Mereka duduk di meja paling ujung ruang kelas ini.

Gea sudah menceritakan pada Cena, bahwa Pak Nathan akan mengajarnya les pribadi. Gea menggeleng dengan wajah menolak.

"Nggak bisa Cel," katanya semangat, "Kalau lo mau deketin Pak Nathan juga, pake cara lain. Jangan nebeng gue."

Cena menepuk bahu Gea marah, "Curang lo! Lo enak Pak Darmawan kakek lo, nah gue? Gimana cara deketin Pak Nathan?"

"Apa gitu kek, jadi murid paling pintar di sekolah ini mungkin membantu," usul Gea dengan cengiran lebar.

"Ya kali gue bisa ngalahin nilai-nilainya Wenda," dengus Cena, ia merebahkan kepalanya di atas meja.

"Jadi murid paling nakal kalau gak bisa jadi murid paling pintar," lanjut Gea lagi, ia tertawa nyaring.

Kelasnya sedang tidak ada guru. Ibu Tuti guru Fisika tidak bisa masuk hari ini, sakit.

"Tapi serius ya Ge, itu Pak Nathan kok bisa ya mau jadi guru padahal dia bisa dapat yang lebih oke pekerjaannya," kata Cena, wajahnya agak berpikir keras mengenai guru itu.

Gea mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, "Cita-citanya, Cen. Mau gimana lagi. Orang kalau sudah punya cita-cita, nggak peduli sekece apa dia atau apa yang bisa ia raih lebih dari yang ia cita-citakan, tetap yang paling utama cita-cita yang jadi tujuannya. Makanya lo kudu harus punya cita-cita!"

Cena mencibir pelan, sampai saat ini ia belum tahu mau jadi apa, "Gelap. Masa depan gue suram."

Gea menggeleng ikut-ikutan sedih, ia turut merebahkan kepalanya. Tapi langkah kaki yang buru-buru masuk ke kelasnya membuat Gea dan Cena menegakkan kepala badan mereka. Teman mereka berlarian masuk ke dalam kelas dan mengambil kursi masing-masing.

"Kenapa?" tanya Cena pada Mifta yang masuk dengan mengas-mengas.

"Gila, kami dari luar diteriaki Pak Nathan," ucapnya panik.

Senyuman Gea mengembang, "Serius lo?"

Mifta mengangguk. Bahan pembicaraan mereka tiba-tiba masuk ke dalam kelas, membawa sebuah buku. Membuat semua siswa siswi terdiam. Nathan berdiri di depan mereka, meletakkan buku yang ia bawa ke atas meja sambil memandang muridnya satu-persatu. Gea dan Cena tidak bisa menahan senyumannya.

"Ketua kelas?" tanya Nathan sambil mencari sosok ketua kelas.

Bima mengangkat tangannya gugup, "Saya, Pak"

"Berikutnya kalau kelas kalian kosong, langsung lapor ke guru piket." Tegas Nathan, auranya begitu mendominasi.

Bima mengangguk, "Sudah saya lapor, Pak. Kami mendapat tugas mengerjakan soal."

"Sudah kalian kerjakan?" tanya Pak Nathan.

Satupun tak ada yang menyahut. Bahkan Emely si juara kelas diam saja. Mana ada murid yang terlalu rajin mengerjakan soal ketika guru mereka tak ada, membuang waktu namanya.

"Saya yakin tak ada yang mengerjakannya," ucap Pak Nathan, ia tersenyum tipis, "Berikan daftar absen kalian."

Dani si sekretaris langsung sibuk mencari absen di bawah kolong mejanya, ia menarik buku daftar hadir murid dan berjalan gugup menuju Pak Nathan.

"Ini, Pak," ucapnya seraya memberikan buku itu.

Nathan mengambilnya. Ia menaikkan alisnya ketika tangan Dani menahan buku itu, "Kamu tidak mau kasih buku itu ke saya?"

Wajah perempuan itu memerah seketika dan ia langsung melepaskan genggamannya pada buku. Terdengar cekikikan dan bisik-bisik dari teman sekelasnya. Dani berjalan malu menuju bangkunya. Nathan melihat daftar hadir siswa, lalu ia melihat lagi murid-muridnya.

Mengeja LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang