Muthia bukan ide yang bagus kalau kau menyuruh fauzi kekamarmu. Itu sama saja membuat kamarmu akan pecah belah.Sebaiknya demi kesejahteraan bersama aku menyusul fauzi, aku takut bila terjadi apa apa dengannya dan kamarku. Tak lupa aku segera mengunci kamarnya, lalu dengan gusar aku melangkah namun pasti mengikuti fauzi ke kamarku.
Aku sudah memencet bel kamarku beberapa kali tapi tidak ada yang keluar ataupun menjawabnya dari dalam. Resah! Bagaimana tidak resah, ini kamarku aku takut terjadi apapun itu dikamarku. Aku juga tidak mau jadi saksi mereka. Bila terjadi apa apa pada kamarku dan fauzi akan ku pastikan kennan pulang tinggal nama aku tidak peduli kalaupun ia cucu kakek sekalipun.
Ceklek
Pintu kamar terbuka memperlihatkan sosok seorang pria blasteran arab-baratnya berdiri santai dihadapanku. Aku mendorong tubuhnya agar menyingkir dari jalanku masuk ke kamar, "Fauzi!!!" Teriakku cemas menggelegar kan kamarku.
"Tenang, fauzi tidak ku apa apa kan" ucapnya dibelakangku.
Aku melihat fauzi dengan wajahnya yang merah padam, serta majunya bibir beberapa senti kedepan membuatnya manis. Sahabatku ini ku rasa sedang marah besar dengan orang yang berada dibelakangku. Dan ku rasa juga mereka hanya mengadu bacot saja sedari tadi tidak ada kekerasan.
Aku menghampirinya memperhatikan raut wajahnya yang marah, "zi, lo ga di apa apain kan sama dia?"
Ia menggeleng, "kok dia bisa masuk kamar lo?"
"Kalian berdua, yakin sahabatan?" Aku menoleh ke arahnya dengan bersamaan ia mendekat ke arahku. Oh tuhan, aku mundur beberapa langkah setelah dekat dengan badan tegap fauzi. Aku mengumpat dibaliknya.
"Zi, aku takut" tanganku dingin, bergetar. Lalu digenggam oleh fauzi dengan hangat. Aku takut dengannya. Ia sangat seram dan keras kepala. Pria sinting macam kennan itu berhasil membuatku ketakutan seperti ini.
"Ada gue, mut" ucapnya tidak cukup menenangkanku, justru ada kamu yang membuatku tambah takut. Aku takut kamu kenapa kenapa fauzi!. Aku benci dengannya, ia membuatku begitu ketakutan. "Ini bukan muthia yang gue kenal, lo diapain sama dia sampe begini?" Tanya fauzi membuatku diam, yang tadinya menggenggam tangannya aku melepas. Tidak tau apa yang harus aku jawab.
Aku tidak mungkin kan menjawab bahwa kennan menciumku, itu sangat memalukan. Bahkan kennan pun sepertinya tidak ingat apa yang sudah ia lakukan kepadaku saat mabuk dulu. Tapi itu sangat membekas dihatiku.
"Saya ingin berbicara dengannya apa salah?" Entah sejak kapan kennan berada didepanku, lalu berhasil menarikku menjauh dari fauzi. Aku memberontak namun lagi lagi tenaganya besar aku kalah. Aku lemas upayaku untuk menjauh darinya sia sia. Ku lemparkan wajah termelasku kepada fauzi.
"Aku takut" gumamku tanpa suara.
Bugh!
Bugh!
Pukulan itu berhasil melayang ke rahangnya, kennan terhempas keras dilantai. "Jangan berani beraninya lo nyentuh dia, brengsek!" Ucapnya telak langsung menarikku dengan penuh emosi keluar dari kamar. Aku melihatnya duduk sambil memegangi bibirnya yang sedikit robek, suara pintu terbuka. Aku keluar kehilangan sebuah sosok dibalik pintu itu. Mengapa aku tidak tega meninggalkannya dalam keadaan yang tidak baik. Ini kali kedua aku pergi meninggalkannya dalam keadaan babak belur dan itu semua ulahku. Fauzi kalut.
"Fauzi.." ucapku menahannya agar berhenti. Ia menoleh ke arahku, "gue harus balik ke kamar."
"Ngapain?" Tanyanya kaget.
"Bagaimana pun dia atasan kita dan cucu kakek"
"Gue anterin." Fauzi menarikku lagi menuju kamarku namun aku mencegahnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/75149956-288-k144042.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Wife [ON GOING]
RomanceApa yang akan terjadi jika janji suci dimainkan oleh sebuah drama. Semua sudah diatur dengan matang. Tapi siapa sangka jika hati sudah memilih dimana ia akan tinggal? Logika akan kalah. Tidak semua pernikahan akan berjalan dengan bahagia, banyak hal...