Dilla - akiffada (4,24/5)
***
Aku tak pernah tahu sebenarnya yang sedang terjadi di dalam tubuhku saat ini. Padahal, sudah lima tahun berlalu tetapi reaksinya masih tetap sama. Aku benci jantung ini selalu berdebar kencang ketika melihat maupun mengenangnya, rasanya ngilu sekali di setiap kedutan. Yang lebih parah dari semua kebencianku, saat ini duniaku masih berpusat padanya. Hidupku selalu dikaitkan dengannya. Hari-hariku masih dihantui oleh bayangan semu dirinya. Dari semua rasa yang kupunya, hampir seluruh adalah miliknya. Setidaknya untuk saat ini, selama lima tahun terakhir.
Saat ini, ketika aku memutuskan untuk membentengi diri dari makhluk laki-laki karena alasan terbesarnya adalah aku belum siap untuk jatuh seperti ini kembali. Belum sudah aku menata hati, justru akan ada luka baru yang ditorehkan, boleh jadi lebih sakit dan jauh lebih dalam dari luka sebelumnya.
Seandainya saja pemilik takdir merestui jalanku untuk berada di negeri lain, boleh jadi perkara melupakannya adalah hal yang mudah untuk kulakukan. Namun di satu sisi, jika aku memang benar ditakdirkan untuk berada di negeri yang lain untuk kupijak hanya karena perkara melupakan, justru aku akan kembali ke titik yang sama. Sejauh apa pun aku berlari jika hatiku saja belum ikhlas untuk melepaskan, maka upaya melupakan tidak akan pernah berhasil. Karena berlari bukan pilihan yang tepat untuk kasus lupa-melupakan.
Seorang pujangga pernah berkata, hakikat cinta adalah melepaskan. Semakin sejati ia, semakin tulus kau melepaskannya. Jika memang itu cinta sejati kau, tidak peduli aral melintang, ia akan kembali sendiri padamu. Aku masih mengingat persis kalimat bijaksana itu.
Sebenarnya, usaha untuk melepaskan sudah kulakukan tetapi belum sepenuhnya tulus. Karena aku ... terlalu takut. Takut kalau-kalau di depan nanti aku tidak menemukan sebaik ia yang kukenal. Karena di mataku, hanya seorang seperti dia yang aku butuhkan untuk melengkapi hidupku.
Bodoh sekali, 'kan? Hanya sebuah ketakutan yang tidak berarti, aku membiarkan hatiku tersakiti dengan sendirinya.
Di tempat yang sama, aku duduk bersama kenangan yang pernah dilalui. Potret-potret kenangan itu selalu tersusun rapi. Sudah menjadi kebiasanku untuk selalu membukanya sebagai obat penawar rindu. Seperti foto yang kugengam saat ini, hasil candid dari temanku yang gemas melihat tingkah kami saat di bangku sekolah dulu. Aku menggunakan seragam olahraga sementara dia pramuka. Dalam foto ini sebenarnya dia sadar, terlihat dari senyum tipis yang tercetak dengan jelas di kedua sudut bibirnya. Sementara aku? Jangan tanyakan, aku hanya menunduk karena aku benar-benar malu di foto ini. Tetap saja semua itu terlihat begitu natural, menurutku.
Semasa sekolah dulu, meski hanya satu tahun saja kita berada di dalam ruangan yang sama, aku tidak pernah menyangka bahwa kenangan selama satu tahun penuh itu meninggalkan jejak kenangan yang begitu membekas. Aku pun tidak menyangka bahwa aku akan merasakan yang namanya jatuh cinta sedalam dan sejatuh ini.
Selama satu tahun itu, aku tidak pernah tahu hubungan seperti apa yang aku dan dia jalani. Yang aku tahu, kita pernah dekat. Dekat karena terbiasa. Terbiasa karena sering bersama.
Masih terekam dengan jelas bahwa sebagian dari mereka begitu menghakimi kami karena ketidakjelasan dalam lingkaran hubungan itu. Namun aku memilih untuk tidak pernah peduli yang mereka katakan. Mereka pun tidak berhak untuk menghakimi. Sebab aku terlalu nyaman dalam lingkaran hubungan yang tercipta pada saat itu.
Pada foto yang lain terlihat jelas bahwa itu berada di dalam lab Biologi. Lucu sekaligus malu secara bersamaan di foto ini. Entahlah hari itu semua orang mendadak layaknya wartawan gosip yang memburu berita terhangat yang telah siap dengan kameranya masing-masing.
YOU ARE READING
Photograph
Teen FictionSatu lembar fotografi saja cukup untuk mengembalikan memoriku tentangmu. Persembahan Voksta untuk event kedua: Memori Fotografi