Dinda-oflyng (4,27/5)
***
Album Akar
Satu-satunya alasan Elijah tidak suka pindah adalah memilah barang-barang mana yang hendak ia simpan dan ia buang. Itu artinya dia harus membongkar kardus-kardus dari tiap tahun pelajaran yang bertahun-tahun bersembunyi di klosetnya. Bukan debu atau kemungkinan laba-laba hitam mengerikan yang bermukim di antara kardus-kardus itu yang menjadi ketakutannya, melainkan memori yang tersimpan dari tiap kardus itu. Elijah tidak suka mengungkit masa lalunya, dia tidak suka berpikir tentang apa saja yang telah diraihnya dari daftar permintaannya di tahun sebelumnya, atau berpikir apa dia sudah menjalankan hidupnya sebagaimana yang ia rencanakan sebelumnya.
Elijah sudah mengepak dua kardus berisi beberapa berkas-berkas pendidikannya, buku tahuan, foto kelulusan, dan piala-piala semasa SMAnya dulu. Sekarang hanya tersisa satu kardus ukuran sedang. Ibunya membatasi 3 kardus untuk barang-barang yang dianggapnya cukup berguna untuk kamar barunya nanti.
"Eli, apa kau sudah selesai mengepak barang-barangmu?" seru sang ibu dari lantai bawah. Elijah terdiam sejenak, ia menatap kedua kardus ukuran besarnya lalu beralih ke sudut ruangannya. Ada dua buah kardus tua yang baru saja dikeluarkannya dari kloset. Mengisi kardus ketiga atau tidak, pikirnya dalam hati. Matanya sibuk beralih dari kardus satu ke yang lainnya.
"Eli?" Lagi-lagi sang ibu memanggilnya dari lantai bawah. Elijah menggigit bibir bagian bawahnya sejenak lalu menghela napas. "Iya, Bu, sebentar lagi!"
Ah, baiklah, barangkali aku masih meninggalkan sesuatu yang penting di sana, batin Elijah mulai berjalan ke arah dua kardus terbengkalai tadi. Ia hendak mengangkat kardus pertama supaya tidak tertumpuk di atas kardua kedua, saat tiba-tiba terdengar suara dentuman. Elijah segera menjatuhkan kardus pertama dan mendapati sebuah foto album tua dengan sampul dari karton yang dihiasi oleh daun-daun kering dan akar-akaran. Tunggu dulu, Elijah membulatkan matanya lalu segera mengambil album itu dan mengamatinya sekali lagi dalam diam. Album yang susah payah dibuatnya saat kelas 2 SD bersama sang ayah.
"Tidak mungkin," desis Elijah segera membuka halaman pertama dan menemukan tulisan tangan tipis milik sang ayah. Untuk Elijah kecilku.
Tangannya segera membalikkan halaman depan tadi. Di halaman kedua ia menemukan sebuah foto tua yang diambil sang ayah. Sebuah benteng kecil dari selimut merah di dalam kamar Elijah. Di bawahnya ada beberapa kalimat yang nyaris tidak terbaca. Bentengku dan Ayah. Tidak ada yang bisa menandinginya. Ayah bilang aku bisa jadi rajanya dan dia bisa jadi penjaganya.
Halaman ketiga. Wajah Elijah yang berlumur lumpur di halaman belakang dengan sebuah katak kecil di tangannya. Ronald kabur lagi hari ini. Katak yang nakal. Ya, Elijah ingat momen ini. Ronald adalah katak kecil berwarna kuning keemasan yang ayahnya belikan sebagai hadiah ulang tahun. Elijah tidak kunjung berhenti menangis saat tahu Ronald tidak ada lagi di kandangnya. Ayahnya lantas pulang lebih awal untuk menenangkannya dan membantu Elijah untuk mencarinya di sekitar halaman rumah hingga petang.
Halaman keempat, kelima, dan seterusnya berhasil dilewati Elijah. Sebuah senyuman sendari tadi terukir di bibirnya. Kini Elijah sudah sampai pada halaman kedua belas. Di sana tampak foto kelulusan Elijah saat SMP. Di bawahnya tertulis satu kalimat yang tidak pernah dilupakannya. Kau akan tumbuh sebagai orang sukses, anakku.
Elijah tediam sejenak, mengamati setiap kata yang ditulis ayahnya dengan pena hitam itu. Kalimat itu tidak hanya tertulis di sana, namun juga terucap dari bibir ayahnya saat ia hendak pergi.
"Elijah!" Teriakan tadi membuat Elijah terlonjak kaget. Ia menolehkan kepalanya cepat ke arah pintu. Ibunya. "Apa kau sudah siap?" Suaranya tiba-tiba melunak ketika mendapati anak laki-lakinya terduduk di pojok ruangan dengan album foto tua di tangannya.
Elijah menghela napas panjang, "Bu, mengapa ayah harus pergi? Dia bahkan belum menyelesaikan album foto ini." Ia segera menolehkan kepalanya lagi ke arah pintu kamarnya. Sang ibu tampak terpatung di sana lalu menarik kedua sudut bibirnya.
"Karena, nak, dia tidak ingin hidupmu berhenti saat dia pergi," ujar ibunya segera berjalan menghampiri Elijah. Wanita itu segera meraih album foto itu dan menunjuk beberapa halaman yang masih kosong. "Ia ingin kau melanjutkannya. Dengan atau tanpa dirinya."
Elijah terdiam. Dia menatap dalam kedua manik mata ibunya. Mungkin, ibu benar, batin Elijah sambil mengangkat kedua sudut bibirnya.
"Jadi ... kau sudah siap?" tanya ibunya kembali angkat suara mengisi keheningan di antara keduanya. Elijah mengangguk.
Dan dengan begitu, kehidupan Elijah berlanjut. Dia dan ibunya pindah ke New York. Suasana yang baru dan kesempatan yang baru juga. Tapi, walau begitu, kenangan lama di rumahnya yang lama tetaplah sama, dan berlanjut hari demi hari hingga halaman terakhir.
*****

YOU ARE READING
Photograph
Teen FictionSatu lembar fotografi saja cukup untuk mengembalikan memoriku tentangmu. Persembahan Voksta untuk event kedua: Memori Fotografi