Nano - retnogaluh (4,2/5)
***
"Miss that moment! Yuklah kita kumpul lagi kayak dulu. Tertanda: mantan anggota geng Kapak."
Aku menatap kaku pada layar ponselku. Andara baru saja memposting sebuah foto yang diambil dua tahun silam. Saat kami bersembilan masih sama-sama berjuang menjadi mahasiswa di universitas yang sama sebagai mahasiswa semester enam.
Caption yang dia buat mampu membuatku seolah dipukul kencang oleh palu tepat di ulu hati lalu merambat ke otakku hingga membekaskan bayangan samar--kalau kami sempat menjadi bagian dari pertemanan tanpa batas.
Andara, dia salah satu orang yang mampu mengayomi kami sebagai mahasiswa baru yang belum mempunyai jati diri. Hingga dia membawa kami pada dunia yang 'sebenarnya'. Dia yang mengajarkanku kalau hidup harus terus berjuang, dengan membumi atau bahkan melangit sekalipun.
Dia yang pernah memberitahu isi hatinya padaku dan menutupnya rapat hanya demi sebuah pertemanan.
Dia juga yang mengajarkan kami akan satu hal; uang selalu di atas tapi kasih sayang selalu digenggaman.
Dan foto itu, foto yang dia posting melalui akun Instagramnya mengingatkanku pada pertemanan kami dulu yang begitu melekat.
Dia Andara, seolah mampu menarikku pada momen itu.
Aku semakin bisa merasakan detak jantungku yang menghentak kencang, semakin terasa sesak setiap otak ini seakan memaksa untuk mengingat momen itu.
Saat dia menolong seorang bapak tua penjual rujak yang dagangannya tidak pernah laris setiap kami berkumpul di tongkrongan depan kampus.
Tukang rujak itu tidak pernah memaksakan jualannya, setiap kali kuperhatikan ... dia juga tidak pernah membawa banyak buah dagangannya. Apabila ada yang membeli, dia selalu mengucap syukur dengan mencium uangnya lalu ditempelkan pada keningnya sebelum masuk ke dalam saku.
Awalnya aku selalu tertawa setiap kali melihat perilaku penjual rujak itu. Hingga Andara yang selalu mengingatkanku kalau hal itu tidak pantas ditertawakan.
***
"Gue pengen rujak deh, kalian ada yang mau, nggak?" tanya Andara, di sela kesibukan kami duduk-duduk santai tanpa alas di samping pintu gerbang kampus.
Tak ada yang menggubrisnya. Aku hanya memerhatikannya sambil menatap satu persatu temanku yang masih asik dengan canda tawa mereka hingga mengabaikan pertanyaan Andara.
"Woi, anjing. Kacang banget gue."
Aku mendengus geli. Sarkas Andara selalu keluar dengan bahasa kasarnya--dia selalu memanggil temannya dengan seenak lidahnya.
"Guys, ditanyain Andara, kalian diem aja!" seruku, memperingatkan mereka yang langsung mengalihkan pandangannya padaku yang sejak tadi bersandar pada tiang telepon umum.
"Apaan?" tanya Irfan. Benar dugaanku, dia tidak menyadari ajakan Andara sejak tadi.
"Mau rujak gak? Enak nih, panas-panas ngerujak, pedes nyos!" ajakku sambil mendongakkan kepala membayangkan makan rujak akibat dari tawaran Andara tadi.
Andara menatapku skeptis, lantas tersenyum miring. "Tuh, Jessi aja mau gue ajak ngerujak. Kalian mau, nggak?"
Irfan tampak menimbang, lantas matanya teralihkan pada anak-anak lain yang duduk di sampingnya, seolah matanya ikut bertanya pada yang lainnya.
"Itu rujak kan gak enak, gak pernah laku," celetuk Amara, membuatku membulatkan mata karena terkejut akan ucapan polosnya. Amara selalu polos, bahkan nyerempet bodoh.

YOU ARE READING
Photograph
Fiksi RemajaSatu lembar fotografi saja cukup untuk mengembalikan memoriku tentangmu. Persembahan Voksta untuk event kedua: Memori Fotografi