Farah masih terisak pelan dikamarnya, sedari tadi gadis itu terus menggenggam botol obat kaca tanpa ada sedikitpun niatan untuk meminumnya. Farah tidak mau lagi bergantung dengan obat-obatan ini, tapi dada Farah rasanya sesak, pikirannya kacau.
Farah menggeleng pelan, dia tidak boeh meminum obat ini, sesakit apapun Farah akan mencoba untuk menahannya. Farah memasukkan obatnya dalam laci, berusaha menjauhkan obat penenang itu dari jangkauannya.
Kali ini Farah menang, gadis itu berhasil tak meminum obatnya meski resikonya dia harus pingsan karena kelelahan. Lelah batin.
"Farah... Farah... bangun sayang, sudah jam setengah enam, nanti kamu terlambat ke sekolah", Mirna mengusap pelan lengan Farah. Hatinya miris melihat mata putrinya sembab.
Farah melenguh pelan, lalu segera bangkit menuju kamar mandi tanpa sedikitpun menghiraukan keberadaan Mirna. Hati Farah terlalu sakit untuk sekedar menyapa orang yang biasa dipanggilnya Mama itu.
Mirna menghela nafas, dia tau kalau Farah tengah mengibarkan bendera perang dingin kepadanya. Sepertinya kali ini Mirna harus mengalah.
"Farah...", Mirna sedikit mengeraskan volume suaranya, berharap Farah yang sedang didalam kamar mandi bisa mendengarnya.
"Mama akan ganti semua dekor kamar kamu, kamu pingin diganti jadi warna apa sayang ??", Mirna pikir dia tidak akan mendapatkan jawaban, tapi sepertinya Farah punya jalan pemikiran lain.
Gadis itu membuka pintu kamar mandi dan menyembulkan kepalanya dari pintu.
"Hitam sama putih, Ma", jawaban singkat Farah itu membuat Mirna tersenyum.
"Okey, sepulang sekolah nanti mama jamin kamar kamu sudah ganti warna", Mirna melangkah keluar dari kamar Farah sambil memasang senyum lebarnya. Ini adalah permulaan yang bagus, pikirnya.
Saat Farah turun ke ruang makan, disana sudah ada Mama, Papa tirinya, dan Tania, gadis yang kemarin membuatnya jengkel setengah mati.
"Farah sayang, kenalkan ini Om Fauzan, tapi kamu bisa memanggilnya Papa, iya kan Mas", seolah mencari penegasan, Mirna menoleh kearah suami barunya itu sambil mengulas senyum lebarnya.
"Iya tentu saja, sekarang Farah sudah jadi bagian dari keluarga kita, tentu dia anakku juga", Fauzan tersenyum ramah dan Farah bersumpah dia bisa melihat ketulusan dimata papa tirinya itu.
Farah menggaruk tengkuknya pelan lalu berjalan mendekat ke meja makan.
"Pagi Ma... Om...", Farah tersenyum tipis lalu segera membalik piring dihadapannya dan menyendokkan nasi goreng ke atasnya.
"Sayang jangan panggil Om dong", Mirna tampak membujuk putrinya itu sambil menampakkan wajah memelasnya.
"Okey nanti Farah usahain", Farah menyuap nasinya tanpa memperdulikan susana yang tiba-tiba jadi canggung gara-gara ulahnya.
"Ma... Tania berangkat, udah nggak mood makan", Tania menghempaskan sedoknya ke atas piring sampai timbul suara dentingan yang cukup keras. Mata Tania melirik Farah yang masih sibuk dengan nasi gorengnya.
"Hati-hati ya sayang", pesan dari Mirna itu hanya dibalasi anggukan oleh Tania.
"Farah, Papa sudah menyiapkan mobil untuk kamu ke sekolah, kamu bisa nyetir kan ??", Fauzan menatap Farah yang masih sibuk menyuap.
Farah menghentikan aktivitasnya, lalu mendongak, "Bisa kok Pa, tapi Farah nggak tau jalan ke sekolah", jawaban Farah itu membuat Fauzan dan Mirna tersenyum.
Mirna tersenyum karena putrinya ini bisa menurut pada perintahnya untuk memanggil Fauzan dengan sebutan papa dan Fauzan tersenyum karena ternyata putri tirinya ini bisa memberikan tanggapan seramah ini padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Soul
Teen FictionKata orang waktu akan menyembuhkan luka, sebagian orang lainnya mengatakan bahwa waktu akan membuat kita terbiasa dengan luka, tapi dari pengalamannya Farah tidak merasa disembuhkan ataupun terbiasa. Sakit itu mengusiknya. Menghantuinya. Sampai akhi...