8. Fate

72 3 1
                                    

Laura's

...

Hari ini guru-guru disibukkan dengan persiapan ujian untuk besok, maka dari itu pelajaran hari ini lebih cepat selesai daripada biasanya. Kami diminta membantu untuk menyusun meja dan kursi sedemikian rupa dan menempelkan nomer meja sesuai urutannya.

Aku menempel satu per satu kertas yang bertuliskan angka dan nomor ujian, seketika aku terpikirkan Ka Aden. Besok dia dan teman-temannya, semua anak kelas tiga akan menghadapi ujian akhir sekolah, lalu menghadapi UAN dan terakhir meninggalkan sekolah menengah ini. Kemana yah Ka Aden? Dia akan kemana setelah lulus? Aku tiba-tiba sedih memikirkannya, tidak ingin jauh darinya. Dia semangatku pergi ke sekolah.

"Ra, liat deh sini!" Dhea berseru ke arahku, dia berdiri di ambang pintu. Melihatku yang menyusulnya ogah-ogahan Dhea berinisiatif menarik tanganku, mau tidak mau aku berjalan lebih cepat.

"Coba baca." Serunya lagi, di depanku terpampang daftar nama peserta ujian yang sudah di tempel di pintu kelas.

"Iya, iya." Aku terdiam seketika, tidak butuh waktu yang lama untuk menemukan nama Aden Saputera di atas selembar kertas itu.

"Dia ujian di kelas kita, Ra. Ayo kita lihat nomor ujiannya, dia duduk dimana yah!"

Dhea terlihat antusias sekali, sementara aku hanya tersenyum simpul. Aku masih mengingat dengan jelas rasanya diberi harapan palsu tempo hari atau lebih tepatnya berharap dengan penuh percaya diri yang pada akhirnya membuatku terluka.

"Ara!"

Suara Dhea menggelegar di penjuru ruangan, aku sampai menutup kupingku dengan kedua tangan, Ibu Rose yang ada diruangan saat itu berdeham seketika untuk menegur Dhea. Ia melupakan kehadiran Ibu Rose yang mengarahkan dan membimbing kami dalam melakukan pekerjaan membantu menyusun nomor ujian.

"Lihat ini." bisiknya saat aku menghampirinya.

Tepat di depan mataku, ada potongan kertas berisi foto formal Ka Aden. Senyum tak kuasa kusembunyiakan dari wajahku. Jantungku tiba-tiba berdebar hanya dengan melihat wajahnya tertempel di mejaku, meja tempatku duduk dan belajar di kelas ini.

"Takdir, aku yakin ini sebuah takdir. Pertanda kalau kamu harus tetap berjuang, Ara." Bisik Dhea di telingaku, hari ini Dhea sangat berisik. Namun, lagi-lagi aku tersenyum mendengar ucapannya.

"Iya, Dhe. Aku nggak bakalan nyerah." Ucapku penuh keyakinan. "Keluarin spidol emasmu, aku minta isinya dikit yah?"

"Spidol emas, mau ngapain kamu?"

"Udah, keluarin aja ayo. Mumpung Ibu Rose nggak liatin kita."

Dhea mengeluarkan spidol permanen berwarna emas dari dalam tasnya, masih melihatku dengan wajah bertanya-tanya.

"Aku mau dia berjuang, seperti aku yang nggak gampang nyerah."

Tanpa banyak pikir aku menuliskan sesuatu di atas meja dengan spidol milik Dhea, sesekali mencuri pandang ke arah Ibu Rose yang ada di depan kelas. Aksiku ini sangat buruk, termasuk merusak properti sekolah. Izinkan aku melakukan kenakalan seperti ini sekali saja.

"Semangat kaka, chaiyoo Ka Aden, semoga sukses ujiannya, jangan menyerah yaaa." Gumam Dhea membaca setiap kalimat yang aku tulis satu persatu.

"Ngapain kalian?" Aku terlonjak kaget saat mendapati seseorang menepuk pundakku. "Wah, hebat. Ini Ka Aden?" Ternyata Nehra.

"Selesai." Gumamku pelan, mengembalikan spidol pada empunya.

Nehra dan Dhea menggeleng bersamaan, mereka manatapku sambil berdecak entah kagum atau mengejekku. Aku terus saja memandangi foto Ka Aden, ingin merobeknya dari sana dan kubawa pulang.

ADMIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang