6

14 2 2
                                    

Tak terasa, kota yang ku tinggali, London, sudah mulai memasuki musim dingin. Rasanya baru kemarin aku masuk kuliah dimusim semi. Aku juga sudah semakin dekat dengan Liam. Harry yang mengenalkan kami berdua. Walau sebenarnya kami sudah pernah berkenalan, namun belum begitu dekat seperti sekarang.

Liam ternyata orang yang cukup protektif. Hampir setiap hari Liam mengirimiku pesan teks atau terkadang berkunjung ke apartemenku hanya untuk mengetahui bagaimana kabarku. Aku belum tau apa Liam punya rasa yang sama seperti yang aku rasakan untuknya. Aku tidak ingin terlalu terburu - buru. Dia punya hak untuk menentukan perasaanya.

***

Aku mendengar suara yang berasal dari ponselku, tanda ada panggilan masuk. Tertera nama Harry disana.

"Halo?" ucapku memulai percakapan.

"Halo, Isla. Aku ingin bertemu denganmu. Apa kamu bisa?"

"Tentu Harry. Kita bertemu dimana?"

"Ditempat biasa"

"Okay, aku segera kesana. Sampai ketemu nanti"

Aku menutup sambungan telfon dari Harry dan bersiap - siap. Padahal udara diluar sedang dingin - dinginnya. Kenapa Harry mengajakku untuk bertemu diluar, dan anehnya, dia kan juga tidak suka keluar saat udaranya dingin. Tanpa pikir panjang, aku keluar dari apartemen dan berjalan menuju cafe.

Syukurlah tempatnya dekat. Aku tidak perlu berlama - lama ada diluar, karena udaranya dingin. Aku segera masuk dan mencari keberadaan Harry.

Namun, aku tidak menemukannya. Aku berpikir jika aku salah memasuki cafe. Tapi kurasa aku tidak salah. Uh, daripada berdiri berdiam diri didepan pintu, lebih baik aku memesan kopi dan duduk, sambil menunggu Harry.

Sekitar 10 menit Harry belum juga datang. 'Apa aku dibohonginya?' Aku bertanya pada diriku sendiri. Hatiku berkata, mungkin Harry sedang dijalan atau ada sedikit urusan dirumahnya.

Aku mengiriminya pesan teks yang berisi, 'Harry kamu dimana? sudah sekitar 10 menit aku menunggumu. Kalau kamu tidak jadi datang, aku pulang ya'

Aku menunggu jawaban dari pesan teks yang ku kirim pada Harry. Namun, belum juga ada balasan. Bahkan pesanku belum dibaca. Aku jadi mengkhawatirkannya.

Aku mengira Harry tidak jadi datang. Aku memutuskan untuk mengiriminya pesan teks lagi dan pulang. Saat aku berdiri dan ingin mengenakan jaket, aku melihat Harry yang sedang berlari ke arah cafe. Aku pun hanya memperhatikannya sampai dia masuk ke dalam.

"Isla, maaf aku telat datang," Ucap Harry dengan nafas yang terengah-engah akibat lari tadi.

"Oh, ya. Gapapa Har. Aku yang pesenin teh ya. Kamu duduk aja disitu," kataku kepada Harry.

Dari jauh aku memperhatikan Harry. Dia tidaklah terlihat sedih atau pun marah. Tapi aku tidak bisa menebak emosi apa yang Harry alami sekarang. Yang bisa ku lihat hanya, seorang Harry Styles yang mengigil akibat terkena udara dingin terlalu lama. Dia tidak membawa mobilnya sebab salju menutupi seluruh jalan. Karena itu dia harus berjalan kaki agar bisa kesini.

Aku menaruh teh milik Harry dimeja, dan aku mulai bertanya. "Harry, kamu gapapa?"

"Iya, La. Aku gapapa," kata Harry yang sudah agak tenang.

Aku hanya mengangguk mendengar jawabannya dan kembali duduk sambil memperhatikannya yang sedang meneguk tehnya.

"Harry, apa kamu butuh jaket yang lebih tebal?" tanyaku saat melihat wajahnya pucat.

"Oh, tentu. Tentu aku butuh. Tapi kalau tidak ada, ya tidak usah," jawabnya dengan bibir yang gemetar.

"Aku akan mencarikan jaket didekat sini. Kamu tunggu sini ya. Kalau tehnya habis, pesan sendiri ya," ucapku sambil beranjak dari kursi dan berjalan keluar cafe.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 18, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Window // Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang