Ah gue cium lu.

61 5 3
                                    

"Hey, wake up. The bell ringing," Suara serak Calum membangunkanku. Dari sofa di pojok aku bisa melihat Calum yang masih tiduran sambil menutup wajahnya dengan bantal. Scene keluarga Cullen melawan newborn masih terpampang di televisi.

"Why didn't you turn off the TV?" Tanyaku pada Calum sambil berjalan ke arah pintu.

"Shut up."

Aku berjalan ke arah pintu, memutar kunci dan membukanya. Dipta, berdiri di depan pintu dengan muka lesu. Tas ranselnya di biarkan di lantai. "Lama banget sih kamu bukain pintu."

Aku langsung memeluknya erat, aku sangat merindukan laki-laki ini. "Aku kan tadi lagi tidur abang, aku kangen banget tau!"

"Yeh bilang aja minta oleh-oleh kamu." Dia membalas pelukanku sama eratnya. "Bunda dimana dek?"

"Bunda di rumah sakit, kan tante Bela udah lahiran." Aku melepas pelukannya dan mengangkat tas ranselnya. Dipta berjalan masuk ke rumah dan langsung menuju ruang keluarga. Tiba-tiba abang tukang cilok lewat di depan rumahku. Mendadak perutku berbunyi minta di isi.

"Bang cilok! Beli bang," teriakku sambil susah payah membuka pagar.

"Eh neng geulis! Lama ga keliatan neng, kemana aja?"

"Baru pulang bang abis ngelayap ke Bali hehe, biasa ya bang ceban!" Si abang langsung membuatkan pesanan dengan gesit. "Eh bang saya lupa bawa duit bentar ya."

Aku segera masuk ke dalam rumah, berniat mengambil uang di dalam. Namun yang kudapat adalah pemandangan tidak mengenakan.

Calum yang duduk dengan wajah mengantuk, dan Dipta yang berdiri dengan wajah siap memulai perang.

"E-eh bang," panggilku hati-hati. Dipta menoleh ke arahku meminta penjelasan. "Dia Cal-"

"Abang gak norak, abang tau dia Calum. Tapi ngapain dia disini, tidur-tiduran disini berdua doang sama kamu?" Beginilah Dipta, sifat protective-nya melebihi bunda. Aku menghela napas panjang, kulihat Calum yang belum sepenuhnya sadar dari tidurnya sambil menguap. "Hey, wake up!"

"What the fu- who are you?" Tanya Calum pada Dipta saat matanya terbuka sepenuhnya.

"Shh he is my brother, udah yuk bang ke atas. Bakal aku jelasin." Abangku masih dengan raut wajah kesalnya mengambil tas ransel di tanganku dan langsung berjalan ke lantai atas. "Turn off the TV and sit here nicely. Don't disturb us. And if there's man ask for money just give him money next to the TV. Give him the purple one."

"Yes, your highness." Tentunya dengan nada mengejek. Aku memutar mata tak peduli dan menyusul Dipta kekamarnya.

"Jadi?" Tanya Dipta begitu melihatku di ambang pintu.

"Jadi gini," aku berjalan ke arahnya dan duduk di kursi sebelah kasurnya. Lalu aku menceritakan bagaimana aku dan Calum bisa bertemu sampai Calum yang memintaku untuk membawanya kerumah. Bisa ku lihat dari wajahnya yang tidak suka dengan ceritaku ini. "Jadi ya gitu, Bunda gak keberatan dan yah karena dia Calum girls gitu."

"Abang gasukanya sifat artis itu yang songong. Masa karena kamu ngotorin hoodienya dia sampe minta nginep disini. Pasti ada hal terselubung." Mungkin Dipta ada benarnya, jika semua ini benar-benar hanya tentang hoodie miliknya seharusnya tidak sampai seperti ini. Hanya saja siapa yang tahu isi otak si artis itu. Otaknya kan penuh hal-hal gila. "Dan kamu di rumah sama dia dari kemarin berduaan doang. Kamu sama dia ga ngapa-ngapain kan?"

Jika curhat, movie marathon dan berpegangan tangan bisa di kategorikan sebagai hal "ngapa-ngapain" ya berarti aku dan dia telah melakukan "ngapa-ngapain" yang di maksudkan Dipta itu.

Started on the Airplane // cth [on Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang