Holding.

46 6 1
                                    

Sudah 2 jam aku mengurung di dalam  dan 2 jam juga Calum tidak bersuara. Entah karena ia sakit hati karena tak ku acuhkan atau karena ia juga tak mengacuhkanku.

Sudah berlembar-lembar tisu ku gunakan, tangisku sudah berhenti. Namun di gantikan dengan pusing di kepalaku.

"Hey, have you done?" Akhirnya suara Calum terdengar dari balik pintu.

"Leave me alone," pintaku dengan suara serak.

"You got high self-esteem, ms Maharani. I didn't ask to accompany you, tho. I asked you have you done crying?"

Aduh kan pede lagi.

"Yes," kataku canggung. Masih malu karena tingkat kepercayaan diriku yang terlalu tinggi.

"So can you get out of your room and help me?"

"DONT YOU KNOW THAT I'M SAD WHY ARE YOU STILL ASKING ME TO HELP YOU. LEAVE ME ALONE, THOMAS!"

"I know you're sad, just let me in or you get out of your room. Tell me what's wrong, please tell me anything. I don't want you die in sadness there, I still need my hoodie to be clean." Lagi-lagi hoodie yang ada di pikirannya. Entah kenapa aku mempunyai perasaan jika aku harus menceritakan semuanya kepada Calum, entah dia ingin mendengarkan atau tidak. Aku hanya ingin mengeluarkan beban di tubuhku. Dan orang yang bisa ku jangkau saat ini hanya Calum.

"Oke, Come in."

"Hey, you still locked your fucking door!" Teriak Calum gusar.

"Stop yelling! Wait!" Aku lalu berjalan ke arah pintu dan memutar kunci. Saat ku buka Calum tengah berdiri membawa gitar Dipta. Dia juga terlihat sudah mandi karena telah menggangi pakaiannya. Kaos abu-abu dan boxer warna hitam.

Tetep ganteng.

"So what's wrong?" Tanya Calum sambil mendudukan pantatnya di tepi kasur.

"It's about my last name," aku memandang ke arah betisku. Takut melihat tepat ke iris mata sang bassist.

"Is it fake?" You're using fake last name, why?" Calum bertanya dengan tidak sabar, rasanya ingin ku lempar badannya keluar jendela jika tidak mengingat badannya yang besar.

"Let me tell you, first. Calum Thomas Hood." Aku mendongakkan kepalaku ke arahnya. Namun masih tidak melihat ke arah iris cokelatnya, melainkan hidung besarnya. Lalu aku menarik napas dan menghembuskannya guna menenangkan diriku sendiri. Aku mulai bercerita kepadanya, bagaimana suami Bundaku pergi meninggalkan keluarga kami saat aku berumur 5 tahun. Bagaimana Bunda harus bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi aku dan Dipta. Sampai akhirnya kerja keras Bunda berhasil dan kehidupan kami membaik. Calum mengelus pundakku pelan dan tetap diam mendengarkan. Dia tahu bagaimana caranya mendengarkan. Dan aku nyaman dengan sikapnya seperti itu.

"So Dipta and I asked Bunda to change our last name. Dipta Nugroho, my granddad's last name and Calista Maharani, I didn't know why I chose this name so don't ask." Akhirnya aku memberanikan menatap iris cokelatnya. Tatapan teduh terpancar disana, tatapan hangat dan kedamaian ada di sana. Aku berhenti menangis dan mencoba tersenyum. " I can't call him as my dad anymore. He hurt me before any guys did."

Aku terdiam lama, Calum juga. Kedua tangannya memegang pundakku dan mengelusnya. "Here hug me," Calum menawari.

"Why don't you just hug me instead of offering hug like a seller." Calum tergelak dan langsung mendekati untuk memelukku. "Feel better?"

Aku mengangguk pelan, Calum mengelus rambutku. Pelukannya terasa hangat. Menenangkan. Aku tidak menyangka akan menceritakan masa laluku pada si artis arogan ini.

Started on the Airplane // cth [on Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang