Mataku masih terpejam meski sejatinya otakku sudah kembali bekerja entah berapa menit yang lalu. Keinginan memejamkan mata hingga pria di sampingku terbangun dan pergi begitu besar. Aku hanya ingin menghindari situasi canggung yang akan ada di antara kami. Jika pria yang masih terlelap dengan dengkuran pelan ini punya pendengaran super, aku yakin dia sudah mendengar jantungku yang berdegup kencang.
Memiringkan tubuh untuk memunggungi pria berambut pirang itu, aku perlahan membuka mata. Kamar apartemenku masih belum berubah bentuk sejak tadi malam. Catnya masih berwarna putih telur seperti ketika pertama kali menempatnya, perabotnya belum berubah menjadi produk-produk terbaru IKEA, dan seprai yang mengalasi tubuh kami berdua masih berwarna ungu―yang baru aku ganti dua hari lalu. Apakah kejadian semalam benar-benar terjadi? Atau aku terlalu mabuk sampai tidak sadar apa yang aku lakukan? Kalaupun terlalu banyak alkohol yang aku konsumsi di bar tadi malam, aku tidak mungkin terbangun pukul ... 07.15. Aku mengerjapkan mata untuk meyakinkan bahwa jam di dinding kamarku memang menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit.
Aku mendengus pelan.
Tidak mungkin aku bangun sepagi ini di akhir pekan. Hari biasa pun hampir selalu diisi dengan panggilan dari Rieke yang membangunkanku jika jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Melewatkan sarapan dan mandi seperti bebek sebelum tergesa-gesa pergi ke kantor bukanlah hal baru bagiku. Lalu kenapa aku malah terbangun pada hari Sabtu di waktu tidak biasa ini?
Aku mulai percaya ada roh lain yang mengambil alih diriku hingga sekarang ada pria lain yang masih nyenyak tertidur. Sangat tidak mungkin semalam aku begitu berani menyeret pria ini sampai ke kamar. Ataukah dia yang berhasil membujukku untuk mengajaknya ke sini?
Argggh! Aku menjerit kesal dalam hati.
Pelan, aku memutar tubuh tanpa membuka mata untuk menghadapnya. Mustahil jika aku sampai lupa apa yang terjadi semalam. Semuanya masih dengan jelas seperti sebuah film biru dengan resolusi high definition dengan suara sejelas Dolby Digital. Tidak mengejutkan jika masih ada bekas-bekas kecupan penuh nafsunya di tubuhku. Dan bagaimana juga dia tahu 'my holy spot' hanya dengan satu sentuhan? Pria ini pasti sudah memakan banyak korban di tempat tidur. Dia begitu ... lihai memanjakan setiap inci tubuhku.
Dear God, why am I thinking about last night? It can't happen. Again.
Setelah berdeham sepelan mungkin, aku memutuskan membuka mata sedikit demi sedikit. Embusan napasnya membuatku ragu sejenak, tetapi kemudian mataku terbuka seluruhnya. Yang menyambutku adalah hidung mancung dengan sedikit bengkokan di ujung, kedua matanya yang masih terpejam, rambutnya yang berantakan—yang membuatnya terlihat begitu menggoda—rambut-rambut halus yang mulai tumbuh di sekitar mulutnya, serta bibir tipisnya yang membuatku gelagapan karena dia begitu lihai menggunakannya.
Keinginan untuk merasakan kembali ciumannya pun mengemuka.
Dammit! What is happening to me now?
Ketika telingaku menangkap sebuah erangan pelan, aku dengan cepat menutup kembali mataku. Dia mulai memainkan jemarinya di lenganku. Menelusuri rambut-rambutku di sana seolah tahu aku hanya pura-pura tertidur. Napasnya semakin kuat menusuk hidungku sementara wajahnya terasa semakin dekat. Entah apa yang membuatku bertahan dengan kepura-puraan ini.
"Good morning. You don't have to pretend you're sleeping, because you failed miserably."
Tidak lagi tahan, aku memberikan senyum tipis sebelum akhirnya membuka mata. Sudah ketahuan, tidak ada gunanya masih berpura-pura.
"Hi."
"Kenapa kamu harus pura-pura tidur? Ada yang kamu takutkan?"
"Aku ngg—"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SHADES OF RAINBOW
Short StoryTHE SHADES OF RAINBOW adalah sebuah kumpulan cerita pendek atau antologi bertema gay. Work ini adalah untuk semua cerita yang memang harus sekali selesai dan kemungkinan untuk diubah menjadi cerita panjang sangatlah kecil (tapi bukan tidak mungkin)...