Dia menatapku.
Seharusnya aku langsung pergi begitu melihatnya masuk. Enam tahun sudah berlalu, tapi aku tidak mungkin lupa. Bagaimana menghapus kenangan akan bocah berusia 23 tahun yang selalu tersenyum setiap kali melihatku? Pun kenapa senyum itu selalu terpasang di wajahnya meski tanpa alasan yang jelas. Tidak peduli berapa banyak pria yang sudah aku temui atau menjalin hubungan denganku, Farhan tidak pernah bisa tersisih.
Aku menundukkan wajah, berharap tatapannya tadi hanya sebuah kilasan hingga aku bisa menyelinap sebelum dia benar-benar menyadari kehadiranku. Enam tahun seharusnya cukup untuk membuatnya lupa tentangku. Dengan semua pencapaian hebatnya, untuk apa dia masih menyimpan kenangan akan pria yang membuatnya patah hati selain rasa marah?
"Pasti mau kabur, ya?"
Senyum tipisku mengembang ketika suara itu akhirnya terdengar jelas di telinga. Ketika akhirnya aku mengangkat wajah, Farhan sudah berdiri di depanku dengan senyum yang masih sama. Tidak ada yang berubah darinya kecuali kedewasaan yang justru membuatnya terlihat semakin memesona.
"Kalau kamu ada di posisiku, wajar kan kalau aku punya niat kayak gitu?"
Dia tertawa kecil. Tawa yang dulu sering membuatku gemas, hingga tidak jarang aku menghujani pipinya dengan kecupan-kecupan kecil sampai dia protes bahwa aku tidak ada bedanya dengan Pierre, puddle milikku yang selalu menyambutnya dengan jilatan setiap kali dia datang ke rumah.
"Apa kabar, Mas Genta?"
Sebuah pertanyaan wajar setelah kami berpisah sekian lama. Namun mendengar dia menyebut namaku, sedikit banyak mengundang kembali sesak yang membuatku sesaat kesulitan bernapas. Menutupinya dengan senyum, aku menjabat tangannya.
"Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana kabarnya?"
"Sibuk."
Aku mengangguk pelan. "Tapi nggak lupa buat sarapan, kan?"
Kali ini tawanya berderai. "Nggak. Aku nggak pernah lupa sarapan."
Satu hal yang membuatnya mengeluh setiap kali aku membangunkannya pukul enam pagi dan memaksanya bangkit dari tempat tidur untuk sarapan. Jika kami sedang berjauhan, aku tidak akan menutup video call sampai melihatnya duduk di meja makan dan menghabiskan makan paginya. Meski untuk itu, aku sering melihat cemberut serta gerutuannya bahwa aku lebih kejam dan tidak berperikepagian daripada Pak Bandi, dosen paling killer di kampusnya. Jika dia menginap di tempatku, aku tidak segan untuk melakukan apa pun sampai dia benar-benar bangun agar mau sarapan, termasuk menuruti keinginannya yang kadang-kadang justru membuatku telat ke kantor atau dia terlambat masuk kelas pagi. Tidak jarang Farhan membuatku tertawa terpingkal-pingkal setiap kali menyebutku 'alarm tanpa fitur snooze.' Muka masamnya itu justru membuatnya semakin menggemaskan. Aku mengulum senyum teringat semua rutinitas pagi yang sekarang hanya menjadi kenangan.
"Lagi ada tugas di Bali?"
Farhan mengangguk. "Biasa sih, Mas. Paling nggak sebulan dua kali aku pasti ke Bali buat meeting. Paling cuma dua-tiga hari, setelah itu balik ke Jakarta atau kalau ada jadwal lain, ke Singapura atau KL. Mas Genta sendiri, ada tugas juga di Bali?"
Aku menggeleng. "Aku tinggal di Bali sekarang."
"Hmmm, gitu ya? Tinggal di Bali tapi nggak pernah ngabarin."
"Aku nggak liat apa pentingnya ngasih tahu kamu setel—"
"I know," potongnya.
Aku hanya mampu menelan ludah. Tidak seharusnya aku mengangkat topik masa lalu dengannya, terlebih lagi aku tidak tahu statusnya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SHADES OF RAINBOW
Short StoryTHE SHADES OF RAINBOW adalah sebuah kumpulan cerita pendek atau antologi bertema gay. Work ini adalah untuk semua cerita yang memang harus sekali selesai dan kemungkinan untuk diubah menjadi cerita panjang sangatlah kecil (tapi bukan tidak mungkin)...