CLOSURE

769 61 21
                                    


"Aku sempat berpikir kamu berharap kehidupanku serumit milikmu. Do you even remember what happened eight years ago?" Tentu saja hanya diam yang aku dapat. "Dan seperti biasa, kamu terlalu gengsi untuk minta maaf atau peduli dengan konsekuensi dari tawaran kerja yang nggak pernah terjadi. You played my emotions like I was a toy and you took pleasure in it, didn't you?" Degup jantungku masih luar biasa cepat, sementara marah yang tidak terbendung membuat tubuhku gemetar. Dia masih setia mengunci mulut mendapati rentetan kalimatku. Sudah lebih dari sepuluh menit dia menopang dagu, menyaksikan lalu lalang orang yang berjalan tergesa-gesa demi menghindar dari dingin yang menggigit. "And why it has to be now? Kamu selalu menghindar dengan alasan sibuk setiap kali aku bertanya. Aku perlu jawaban atas pertanyaan yang tertahan 14 tahun, Jan."

Seminggu lalu, namanya muncul dalam kotak masuk Facebook-ku, mengatakan ingin bertemu. Menggunakan kata kaget demi menggambarkan reaksiku sungguh jauh dari pas. Aku kebingungan menanggapi pesan singkat dari Jan. Mengesampingkan semua penasaran yang mendesak, aku membalas dengan satu kata: oke. Setelah itu, dia menulis satu tempat yang tidak jauh dari tempat tinggalku dan bertanya waktu terbaik untuk bertemu. Jan menyanggupi waktu yang aku pilih.

Menjalani hari setelah menerima pesan Jan menimbulkan resah yang tak kunjung pergi. Ada malam-malam aku duduk di ruang makan, ditemani cahaya remang dan memandangi layar ponsel, dorongan mengirimi Jan pesan beruntun berisi pertanyaan-pertanyaan yang terpendam cukup lama teramat besar. Namun aku menghalau keinginan impulsif tersebut. Duduk di depan Jan dan mendengar jawaban langsung akan jauh lebih memuaskanku. Jadi aku menunggu.

Jan tidak pernah mengganti foto profil di Facebook dari pertama kali kami berteman. Imajinasiku berusaha menambahkan beberapa tahun pada satu-satunya foto yang aku tahu sebelum pertemuan kami. Berharap dengan melakukan itu, aku akan dengan mudah mengenali sosoknya. Begitu memilih meja di sudut yang masih kosong, indra penglihatanku terus tertuju pada pintu setiap ada pelanggan yang masuk. Hingga akhirnya Jan muncul, dan dengan langkah pelan menghampiri mejaku. Setelah sekian lama, mentalku tetap tidak siap bertemu dengan pria yang pernah menjadi poros mimpi-mimpi masa mudaku.

Sukar bagiku berhenti mengamati Jan. Bukan karena dia berparas rupawan, atau kemeja merah tedas yang tampak kontras dengan wallpaper kuning gading tempat ini. Namun keinginan memahami jalan pikiran Jan melalui bahasa tubuhnya sungguhlah kuat.

Aku mengenal Jan di sebuah chat room pada pertengahan dekade 2000-an. Sejak awal, aku menganggap pria berusia 6 tahun di atasku itu sebagai kakak dari dunia maya. Ketika banyak pengguna chat room berlomba-lomba mendapatkan hati Jan, aku puas menjadi penonton. Saat chat room dan private message tidak lagi cukup, komunikasi kami beralih ke telepon. Jan rajin membangunkanku lepas tengah malam dan selama dua sampai tiga jam, dia berceloteh tentang kehidupan dan karirnya sebagai seorang konsultan. Dengan lapar, aku menyantap semua kisah tentang London, Paris, Rio de Janeiro, Milan, dan kota-kota yang bagiku hanyalah nama di atas peta. Tanpa sungkan, Jan menyebutkan nama-nama pria yang bergantian mengisi kesendiriannya. Jujur, aku tidak terlalu peduli dengan mereka. Yang aku inginkan hanyalah mendapat perhatian penuh dari Jan. Semakin lama, sikapku terlihat berlebihan terhadap Jan. Aku menuntut sesuatu yang kala itu terdengar rasional: sebuah pertemuan.

Selama empat tahun, sosoknya kabur bagiku. Foto-foto yang dia kirim selalu dari masa sebelum kami berkenalan. Jan menggunakan pria-pria yang memujanya untuk menguatkan persona luar biasa di mataku. Dengan sukarela, mereka menunjukkan kepadaku arti Jan bagi dalam hidup mereke. Usiaku terlalu dini untuk memahami perasaan pria-pria tersebut bukanlah sesuatu yang mengherankan.

Komunikasi kami lambat-lambat renggang sampai akhirnya putus. Dugaan yang paling masuk akal adalah dia lelah dengan rongrongan permintaanku untuk bertemu. Tidak ada jejak Jan selama dua tahun. Pertemuanku dengan Henry punya andil besar menyingkirkan segala penasaran tentang Jan.

THE SHADES OF RAINBOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang