Dengan cepat aku menutup buku yang dua jam menyita perhatian begitu mendengar suara pintu apartemen dibuka. Melepas kacamata, aku menyandarkan punggung sembari menunggu dia masuk kamar. Mengingat hari panjang di kantor yang membuaatku mustahil keluar untuk sekadar makan siang, aku sudah tidak sabar menatap wajahnya. Kebahagiaan terbesarku sesederhana menanti dia pulang dengan semua cerita yang dia simpan untukku.
Senyumnya lebar seperti biasa saat memasuki kamar. Rambutnya tidak hanya berantakan karena terkena angin pukul sebelas malam, tetapi juga sedikit basah akibat rintik di luar. Dagu dan pipinya dihiasi rambut-rambut tipis yang membuatkku gatal mengambil pisau cukur untuk merapikannya. Namun aku memilih diam. Pernah sekali aku menyinggung tentang cambang yang tampak tidak beraturan di awal hubungan kami, tapi berujung dengan argumen panjang. Maka aku menerima semua yang tidak aku sukai darinya sepenuh hati, termasuk perkara sekecil bercukur. Menemukan dia tidur di sampingku setiap malam adalah gabungan dari keberuntungan dan kerja keras. Aku tidak akan melepas itu demi apa pun.
Menghampiriku, dia memberi ciuman singkat sebelum duduk di tepi tempat tidur untuk membuka sepatu. Dengan lembut, aku membelai tengkuk dan memberikan pijatan kecil, sesuatu yang dengan sukarela aku lakukan hampir setiap malam.
Temperatur di luar sudah mulai turun seminggu terakhir. Musim dingin tidak pernah aku nantikan dengan suka cita kecuali satu alasan: mengantarnya ke kampus jika ada kelas pagi. Dia terbiasa naik sepeda setiap hari kecuali jika suhu mulai turun dan jalan menjadi lebih licin. Aku tidak memberinya pilihan.
"How was your day?"
"Long," jawabku lemas.
Dia memalingkan wajah untuk menatapku. "That bad?"
Aku mengangguk pelan. "You're here now."
Dia tersenyum.
"What about yours?"
"As usual."
It means boring.
Begitu sepatu but itu terlepas, dia segera membuka jumper dan kemeja. Aku kembali membelai punggungnya yang tertutup kaus putih.
"I'm gonna take a shower, then we can have supper if you want."
"Aku tidak lapar, kecuali kalau kamu mau."
Dia menepuk pergelangan tanganku sebelum menuju kamar mandi. Tidak lama kemudian, suara air yang mengalir ditambah suara merdunya yang menyanyikan salah satu lagu klasik milik Fleetwood Mac, menguatkan bahagia dalam diriku.
"Sexy," ucapku melihatnya keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan celana bokser.
Dia membalas ucapanku dengan naik ke tempat tidur dan menjadikan pahaku sebagai bantal.
"Winter is coming."
"I know you've been secretly hoping winter's here already."
Aku tergelak pelan.
"Hanya pelanggan reguler yang datang ke kafe malam ini."
"Kapan mereka tutup?"
"Masih beberapa minggu lagi, tapi aku sudah dapat tawaran untuk main di tempat lain. Mereka memintaku memakai pakaian formal untuk bermain di sana. The money is good, so I had to say yes."
"Jadi kita harus mulai melihat-lihat jas dan celana."
Dia mengangguk pelan. "Kamu lebih tahu daripada aku. You know I hate that formal stuff."
"Kita bisa pergi akhir minggu ini."
"Tidak perlu terburu-buru. Kita masih punya banyak waktu."
Jemariku sudah mulai menelusuri tulang lehernya. "Urusan ujian sudah selesai?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SHADES OF RAINBOW
Historia CortaTHE SHADES OF RAINBOW adalah sebuah kumpulan cerita pendek atau antologi bertema gay. Work ini adalah untuk semua cerita yang memang harus sekali selesai dan kemungkinan untuk diubah menjadi cerita panjang sangatlah kecil (tapi bukan tidak mungkin)...