The Day I First Met You

972 20 2
                                    

Brukkkk...... Aku menabrak seseorang di lobby gedung apartemenku. Aku dengan tas jinjing dan tas koper ditangan kiriku, dan iPhone ditangan kananku, tidak terlalu memperhatikan jalan didepanku. Ini kesalahanku. Pak Anto kusuruh balik tanpa mengantarkan barang-barangku terlebih dahulu ke apartemen ku. Oh iya, apartemen ku ini, kubeli dengan uang tabunganku sendiri. Sesuai impianku sejak kecil. Saat sudah membangun karir, aku akan tinggal sendirian diapartemen.

"Sorry ini aku yang salah," ucapku sambil memunguti tas kerja milik seorang pria yang kutabrak barusan. Dan juga iPhone-ku yang kujatuhkan.

"It's okay. Nobody's hurt. So you can go on," jawab pria itu. Aku terpaku. Pria itu sangat................tampan. TIPEKU SEKALI! Oh Tuhan mimpi apa aku tadi malam! Pria dengan tinggi yang berjarak kira-kira 10 cm dariku itu, dengan wajah bak bidadara dari surga, dengan kulitnya yang putih namun agak kecoklatan hasil berjemur, hidung mancung, bibir tipis, dan gaya berpakaian metrosexual. Dan aku yakin usianya tak jauh dariku.

Aku tersenyum lalu menuju lift untuk naik ke lantai 11, apartemenku. Setelah sampai kamar, aku menyusun isi koperku ke lemari, dan kemudian mengambil segelas air putih dingin dari kulkas didapur apartemenku. Setelah meneguknya, aku menghempaskan diri ke sofa dan menghidupkan TV.

Jam menunjukkan pukul 14.54. Ah, rasanya bosaaaaaan sekali. Ada baiknya jika aku mengajak Sofia, sahabatku yang juga salah satu resepsionis dihotel tempatku bekerja. Meski aku adalah GM, tapi jangan salah. Jangankan dengan resepsionis, dengan supir kendaraan hotel, security, dan dengan cleaning service-pun aku berkawan. Tidak ada pandang bulu.

Sof, gue udah sampai apartemen. Lo dimana? Ngopi yok di cafe biasa? Cepet bales. Gue tunggu.

Sent.

Aku menekan-nekan remote tv kabel dan mencari-cari acara yang cocok. Pilihanku jatuh pada Starworld. Handphone-ku bunyi.

Gue lagi sama Farhat nih nyari-nyari cincin buat pernikahan kami. Lo ada rekomendasi tempat nggak sih? Gue pusing nih. Sorry gue gak bisa nemanin lo sore ini, Cantik.

Pft. Gue kerasa banget jomblonya. Sofie yang usianya hanya lebih muda dariku 4 bulan itu sudah mendapatkan calon suaminya. Mereka akan melangsungkan pernikahan 1,5 bulan yang akan datang. Mereka sudah putus-nyambung semenjak 3 tahun yang lalu. Dan aku? Haha.

Toko perhiasan Tante Melly aja, Sof. Dijalan Riau. Lo cari ajadeh. Iya nggak apa-apa. Nasib jomblo kok gue udah terbiasa. Apa gue ajak bu Laila aja ya? Hihihi. Good luck ya pencarian cincinnya.

Sent. Read.

Dan akupun semakin bingung mau ngapain disiang yang baru saja menjelang sore ini. Seharusnya kemarin ikutan saran Papi aja. Berangkatnya agak siangan. Jadi nyampainya pas malam deh. Tinggal istirahat, terus besok kerja deh. Tapi nasib berkata lain.

Tiba-tiba handphone-ku bunyi kali ini BU LAILA! Aduh, apa beliau tersedak saat aku menyebut namanya tadi? Aku menge-slide layar iPhone-ku.

"Halo?"

"Halo, Hanna. Maaf saya mengganggu hari libur terakhir kamu. Kamu malam ini ada acara?"

"Oh, nggak kok bu. Saya kebetulan sudah sampai apartemen sejak sekitar satu jam yang lalu. Oke itu gak penting bu,"

"Hahahaha... Kamu ini memang humoris sekali. Yasudah, nanti malam kamu bisa ke Restaurant Le Paris didaerah Dago?"

"Baiklah bu saya akan datang,"

"Dandan yang cantik ya! Meski saya tau tanpa dandan-pun kamu sudah cantik, Han. Sama seperti saya waktu muda dulu. Sampai sekarang-pun masih begitu,"

"Aduh bu Laila ini memang paling bisa. Baiklah bu,"

"Sampai jumpa nanti malam!"

Titt... Titt... Titt... telefon kami terputus.

Ada apa gerangan? Kenapa Bu Laila tiba-tiba mengundangku pada acara makan malam? Di restoran mewah ala Prancis itu pula.

***

Aku memarkirkan Mini Cooper warna Chili Red kesayanganku yang baru saja menggantikan mobilku yang lama. Mobilku yang lama, VW Beetle sudah kuberikan pada adik sepupuku yang baru saja mahir mengendarai mobil, Tasya. Tasya yang sebentar lagi akan mendapat SIM dan KTP diusianya yang ke-17 itu, bermohon padaku untuk diberi kado sebuah mobil. Karena aku memang sudah mengincar mobil baruku itu, makanya aku memenuhi permintaan adik sepupuku itu. Papanya Tasya adalah adik satu-satunya Papi. Papi dan Pa'le Suryo hanya dua bersaudara saja. Karena kakak sulungnya, Bu'de Farah meninggal dunia saat berusia 15 tahun di Semarang.

Suasana restoran ala Prancis ini memang kelas atas sekali. Aku yang mengenakan dress sifon selutut tanpa lengan berwarna merah maroon dengan hiasan disekitar dadaku, juga flat shoes berwarna senada, kupadukan dengan make-up natural dan rambut yang kuikat asal, namun tetap cantik dan classy, menyapu pandanganku keseluruh penjuru restoran mencari-cari dimanakah bu Laila berada. Tak lupa clutch bag warna maroon pun kugenggam ditangan kiriku.

"Excusez-moi. Puis-jevous aider,Belle Dame?" tanya seorang waiters.

"Jesuis à la recherchedeMmeLailaFahreza," jawabku dengan bahasa Prancis yang sedikit-sedikit kukuasai. Maklum, kuliah di benua Eropa mengharuskanku mengetahui sedikit-demi sedikit beberapa bahasa disana.

Lalu waiters itu yang tampaknya langsung paham, berjalan menuju sebuah anak tangga yang berujung pada balkon restoran ini. Lalu dibalkon itu, ada sebuah meja berukuran tidak terlalu besar dan sudah ada bu Laila dengan... ketiga anggota keluarganya. Mungkin. Juga dengan hidangan makanan ala Prancis yang mengundang seleraku. Seperti yang kalian tahu, aku gila makan!

"Bonjour bonsoir, Belle. Ayo duduk disini, Han," sapa bu Laila sangat ramah dengan senyumnya. Disambut senyum ramah pula oleh kedua keluarganya yang lain. Kecuali seorang pria. PRIA ITU. Ya, PRIA ITU! Dia yang tak sengaja kutabrak di lobby tadi siang! Tapi dia sedang asyik berkutat dengan iPad-nya tanpa memperdulikan kedatanganku. Kenapa aku jadi berharap?

"Maaf ya bu jika aku malah terlambat. Soalnya macet bu. Saya lupa kalau ini daerah dago," ucapku tersipu.

"Ssstt! Evand! Revand, please no gadget dimeja makan. Kau tahu itu," ucap bu Laila pada pria yang kumaksudkan tadi. Dan pria itupun meng-lock iPad-nya dan baru menyadari keberadaanku.

"Hey, you! I ever saw you. Like....... okay! This afternoon di lobby!" tebak pria super-tampan-super-kece-super-super-duper itu kearahku. Ingatannya bagus sekali. Dan dia tersenyum cerah dan super ramah.

"Ini Revand Galih Fahreza, anak bungsu saya. Dan ini Naretha Fahreza, anak tengah saya, dan suaminya, Ardi Naufal Asmawardi. Etha, Ardi, Evand, ini GM hotel pusat kita yang disini, Hanna Violetta Widjardi. Dia ini orangnya sempurna sekali buat kamu, Van," terang bu Laila disusul tatapan aneh dari Evand dan...aku.

"Nice to meet you, Hanna," ucap Etha dan Ardi, suaminya bebarengan.

"Mam, jadi Mami maksa Evand ikut jamuan makan malam kali ini karena ini? Mami, please. I'm not your little prince anymore. I can decide who will be my girl. But please don't embarrass me, especially this beautiful girl who sitting in front of us," ucapnya sambil menatap ibunya dalam-dalam. Oke, aku tidak mengetahui apapun mengenai ini. Apapun ini. Apapun rencana bu Laila. Apapun rencana keluarga Fahreza ini. Apa-apaan ini.

Aku hanya terdiam terpaku mendengar dan mengerti percakapan bilingual antara ibu-anak ini. Yang dua-duanya sama-sama keras kepala. Sedangkan Etha dan Ardi sibuk menonton tontonan gratis ini. Minimal aku, Papi, dan Mami belum pernah berargumen separah ini ditempat umum berkelas atas seperti ini. Minimal.

"So... Can we eat our dinner tonight? I'm truly hungry," sela Etha yang membuatku tersenyum penuh makna. Penuh makna akan.......... SAYA SETUJU DENGAN ANDA, ETHA.

"Oke. Maafkan kami ya Hanna. Kamu harus mendengar semua ini. Besok kita bicarakan lagi berdua di ruangan saya. Ayo mari kita makan!" ajak bu Laila.

Aku melahap dengan santun pot-au-feu (sup) yang berada didepan mataku. Lalu kemudian aku melahap hidangan utamanya. Dan ada escargot! What a heaven! Menyeruput strawberry juice, minuman kesukaanku yang sudah dihafal betul oleh bu Laila. Dan kemudian dessert nya.

Kami tidak banyak bicara setelah kejadian adu-argumen ibu-anak itu. Tapi yang jelas, aku sempat bercanda gurau dengan Etha, Ardi, dan bu Laila. Tidak dengan Evand yang menatapku dingin dan kaku. Tak seperti tatapan pertamanya setelah dia memalingkan mukanya dari iPad tadi.

Sungguh disayangkan...

Aku tak keberatan jika dia memang berniat menjadi kekasihku. Haha. TIDAK HANNA! Professional! Ingat! Evand itu anak atasan kamu.

Tapi... pesona Evand sudah meluluh-lantakkan pikiranku.

***

It's All About HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang