04 | Cemburu?

34 1 3
                                    

Ryan melangkahkan kakinya dengan cepat. Suara bola basket beradu dengan lantai kayu memenuhi ruangan itu. Ia menambah kecepatan larinya ke salah satu sisi ruangan, tempat sebuah ring basket berdiri. Bola di tangannya memantul dengan ketukan konstan. Dua langkah kaki, satu kali pantulan.

Jaraknya kini semakin sempit dengan ring. Dengan cepat, Ia menaruh bola diantara kedua tangannya. Sol sepatunya berdecit saat mengayunkan kaki kanan dan kiri bergantian. Sebuah lompatan bertumpu pada satu kaki dilakukannya, dan sejurus kemudian bola yang tadinya berada di tangan sudah jatuh melewati ring.

Dengan mudahnya cowok tinggi itu meraih ring basket dan bergelayutan padanya. Ia kemudian turun dan meraih kembali bolanya. Matanya menengok jam yang tergantung di dinding, masih sambil men-dribble bola dengan santai.

Jarum pendek menunjukkan ke angka 6. Latihan timnya memang sudah selesai sejam lalu. Namun beberapa anggota masih tinggal di sekolah untuk sekedar bermain bersama atau latihan individu.

Sementara itu, Ryan memilih melipir dari lapangan utama di tengah sekolah. Ia mengasingkan diri ke lapangan indoor di lantai 3 gedung A.

Ryan menyukai ketenangan saat dirinya berlatih secara individu. Itu membuatnya lebih fokus dan memaksimalkan latihannya.

Cowok berwajah campuran indo-eropa itu mengusap kasar rambut spike mohawk-nya. Peluh seketika menetes menuruni wajahnya. Ryan melipir ke samping lapangan, menyambar botol minum dan menenggak isinya habis.

Hhhhh.....

Ryan menghela nafas. Perlahan Ia menggerakkan tubuh atletisnya, melakukan cooling down. Ia kemudian duduk, meluruskan kaki, dan kembali melemaskan otot-ototnya.

Tak dapat dipungkiri, basket memang selalu membuat fisiknya lelah. Latihan fisik dan teknik yang diberikan coach sudah cukup menguras tenaga. Belum lagi latihan tambahan yang diberikan bagi tim inti untuk turnamen mendatang. Seperti biasa, Ryan kembali terpilih menjadi kapten.

Skill cowok blasteran itu memang sudah tidak diragukan lagi. Ryan menyadari bakat itu. Namun alih-alih cepat puas, Ryan justru berlatih lebih giat dari pemain lain. Dibanding fisiknya yang terkadang kelelahan, semangatnya tak pernah surut sedikitpun. Basket sudah seperti nafasnya. Hal inilah yang menjadi nilai plus sekaligus alasan mengapa Ia sangat disukai coach dan dipercayakan memimpin tim di berbagai lomba dan turnamen.

Ryan membaringkan badannya di atas lantai kayu. Ia menyukai kesendirian ini. Saat dimana Ia bisa fokus melakukan sesuatu yang diinginkan sesuka hatinya. Tanpa batasan, tanpa kekangan, tanpa halangan.

Selain itu, Ryan sebenarnya tipe orang yang tak suka keramaian. Ia tak suka tatapan cewek-cewek di sekitar lapangan yang memperhatikan para pemain basket saat latihan. Menyaksikan mata-mata genit itu mengikutinya kemana-mana membuatnya risih.

Ryan populer, tentu saja. Posisi Ryan sebagai kapten basket membuatnya sangat dikenal di sekolah. Belum lagi ditambah wajah blasterannya yang rupawan serta posturnya yang tinggi atletis sukses membuat para gadis menahan napasnya saat bertemu dengannya.

Tak ada kekurangan bagi seorang Ryan Saputra. Kapten basket, anak IPA, ganteng, bule pula. Sebenarnya kalau saja dia mau, dia bisa memacari cewek manapun di sekolah, bahkan cewek tercantik sekalipun.

Hanya satu kekurangan Ryan. Ia terkenal ketus. Dan cuek. Dan sangaaaat pemalas.

Ya, itu mungkin beberapa.

Hal-hal itulah yang membuat banyak cewek menjauh darinya. Mereka hanya nyaman mengagumi Ryan dari kejauhan.

Hhhh....

That Crazy BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang