Diterbangkan sebentar, lalu dihempas begitu saja setelahnya.
||..||..||..||
Jam istirahat sudah tiba. Aku berkali-kali menarik napas dalam. Aku gugup, entah kengapa aku merasa ada kupu-kupu yang menggeletik dalam perutku.
Aku sedang berdiri didepan pintu ruangan Adrian. Dengan gentar aku membuka pintu ruangan tersebut.
Ceklek
Aku menenggak salivaku dan terdiam bak batu, menatap lurus kearah depanku.
"Ahh... maaf," ujar wanita berbibir merah itu sambil bangkit dari atas tubuh Adrian.
"Kita lanjutin nanti yah, Sayang," lanjut wanita itu dengan senyuman centilnya dan kedipan mata menggodanya. Setelahnya, wanita itu berjalan anggun melewatiku dan keluar dari ruangan.
Aku masih diam tak bersuara bahkan aku masih tetap setia berdiri diambang pintu. Sejenak, aku berusaha menangkap semua hal yang baru saja kulihat.
"Kau sangat mengganggu," rutuk Adrian sambil bangkit dari baringnya diatas sofa. Dengan cekatan ia merapikan kemeja juga jas hitamnya yang berantakan karena pergaulannya dengan wanita tadi.
"Ada apa?" tanyanya padaku sambil mengangkat kedua alisnya tinggi.
Aku menautkan alisku. Kenapa malah dia yang bertanya? Kan dia yang menyuruhku kemari.
"Tadi kau yang menyuruhku," sahutku dengan nada pelan dan merendah. Entahlah, semangatku terasa patah, hancur, lebur, dan berantakan. Apakah hati ini sudah benar-benar berada pada genggaman Adrian? Aku harap tidak.
"Oh yah," gumamnya. "Aku mau memberitahumu bahwa malam ini aku ingin mengajakmu makan malam. Jadi, bersiap-siaplah. Dan juga, jika kau pulang nanti naiklah taksi karena aku tidak bisa mengantarmu pulang," ujarnya padaku tanpa memandang kearahku. Ia berjalan kembali kebangkunya dan menyibukkan diri dengan dokumen-dokumennya.
"Hanya itu?" tanyaku padanya dan dia mengangguk singkat.
Aku mendengus. Jika memang hanya itu saja yang ingin dia ungkapkan, lebih baik ia memberitahunya lewat pesan singkat saja!
Dengan sedikit menghentakan kakiku kelantai, aku berbalik dan berjalan kearah pintu sambil menunduk kepalaku dalam.
Aku benci keadaan seperti ini. Aku merasa marah melihat Adrian bermesraan dengan wanita sialan itu lagi. Dan emosiku semakin memuncak karena dia tidak mengantarku pulang tanpa alasan yang jelas. Memangnya aku siapa? Bisa-bisanya aku merasa tidak senang dengan apa yang ingin dia lakukan. Aku hanya istri pura-puranya.
"Aw," pekikku saat tak sengaja kepalaku menabrak sesuatu atau mungkin seseorang. Entahlah, aku tak mau tahu.
Aku kembali melangkahkan kakiku tanpa tertarik mengangkat kepalaku dan melihat apa yang baru saja kutabrak. Buat apa aku peduli toh hatiku sekarang sedang sakit dan aku sedang malas berhadapan dengan siapapun.
"Ada apa?" tanya sebuah suara dan sedetik kemudian sebuah tangan mengenggam pergelangan tanganku lembut. Aku mengadahkan kepalaku.
"Jono," gumamku pelan.
"Ck." Jono berdecak sebal, matanya menatapku tajam.
"Apa yang terjadi?" tanyanya lagi sambil melirik kearah ruangan Adrian. Aku menggeleng tak ingin menjelaskan. Jono tak perlu tahu. Perasaanku sekarang bukanlah urusan Jono. Aku tidak mau dia khawatir ataupun merasa tidak enak bila tahu kakaknya melakukan hal yang tidak pantas didepan mataku.
"Tidak ada," kilahku berbohong.
Jono tersenyum miring kearahku, namun pandangannya berubah menjadi sendu.
"Aku melihatnya...." ucap jono. Ia memajukan satu langkahnya kedepan membuat jarak kami benar-benar sangat dekat. Kemudian, Jono sedikit menundukkan kepalanya membuat mata kami saling bertubrukkan. Mata hitamnya mengunciku dalam ketenangan.
"Aku melihat bahwa setelah kau masuk tadi ada seorang wanita yang keluar dari sana dengan pakaian dan rambut acak-acakkan," lanjut jono dengan suara sepelan angin yang menyapa kami disiang hari yang melelahkan ini. Aku terkekeh kecil, berusaha menyembunyikan rasa kecewaku darinya.
"Itu bukan hal penting," sahutku padanya dan menunjukkan senyum paksaku. Aku berharap untuk kali ini saja senyum paksaku ini bisa terlihat meyakinkan dimata Jono.
"Kenapa kau mau bersamanya? Dia bukanlah orang baik, val," ujar jono dengan suara dalamnya. Ia menghela napasnya pelan dan mengelus pipiku singkat.
"Aku juga tidak mengerti," jawabku dengan suara tercekat yang tertahan. Hatiku terasa kembali diremas seperti ada sebuah tangan yang menggenggamnya begitu erat.
Tangan kekar jono menarik pinggangku. Ia membawaku menempel pada dada bidangnya dan menenggelamkanku kedalam amannya membuatku sedikit tenang dan rileks.
Tangan kanannya terangkat dan mengelus kepalaku begitu lembut. "Tenanglah aku akan selalu bersamamu," ujarnya dengan tegas disisi kepalaku.
"Karena aku mencintaimu," gumamnya pelan. Entahlah, aku merasa tidak yakin bahwa pendengaranku benar. Memangnya mungkin Jono mencintaiku?
Belum sempat aku menuntaskan kebingunganku, sebuah tangan menarikku begitu kuat. Menghempasku kearah belakang. Melepaskanku dari ketenangan yang sudah benar-bebar membuatku nyaman. Memisahkanku dari sumber oksigenku, Jono.
Aku melihat Jono membelalakkan matanya dan rahangannya mengeras. Ia terlihat begitu marah. Kemudian, aku menoleh pada lenganku yang terasa sakit karena dicengkram begitu erat oleh seseorang. Dan setelah melihat jam yang terlilit pada pergelangan tangan kokoh itu, aku langsung mengetahuinya...
Dia Adrian.
||..||..||..||
Thanks for read this. Jan lupa vote, follow, dan comment.
(Done)
KAMU SEDANG MEMBACA
Billionare's Wife (COMPLETED)
Romance{1 forced love} Aku Valencia Revano. Menikah dengan bosku sendiri karena kepentingan masing-masing. Terjebak dalam pesonanya, membuatku tak bisa menahan diri. Dan setelah aku jatuh pada dekapnya. Semuanya malah dirampas begitu saja. Hidup memang ker...