16. Berubah (Valencia)

132K 9K 93
                                    

Kembali melihatmu membuatku kembali merasakan rasa sesak itu.

||..||..||..||

Aku dan Agas duduk bersama diruang tengah. Dia menatapku lurus.

"Jadi, kau akan kembali bekerja disana?" tanyanya memulai permbicaraan.

Aku mengangguk. Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa melawan.

Agas ikut mengangguk. Pandangannya teralih keluar jendela, entah apa yang ada dikepalanya. Aku menggerak-gerakkan kakiku gelisah. Keadaan kami saat ini rasanya begitu canggung, padahal aku dan dia sudah hampir seminggu tinggal bersama.

"Joshua sudah menelponmu?" Agas mengalihkan pembicaraan kami.

Tanpa sadar aku berdecak sebal. Akhir-akhir ini pembicaraan tentang Jono selalu membuatku kesal.

"Dia sudah sampai ke London," jawabku singkat.

Jono sudah sampai di London dari beberapa hari yang lalu. Dia hanya menghubungiku sebentar dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja, setelahnya dia tidak lagi mengabariku apapun. Hal itu cukup merusak moodku. Tetapi, aku tidak bisa memarahinya. Aku sudah menolak perasaanya. Dan mana mungkin aku memintanya mengikuti kehendakku. Mau dibilang apa, namanya hati aku juga tak bisa memaksakannya.

Hanya Satu hal yang akan kupaksakan pada hatiku, yaitu menghilangkan perasaan cintaku pada Adrian.

||..||..||..||

"Pak Adrian memanggilmu untuk keruangannya."

Aku mengadahkan kepalaku dan menatap Emy yang berada dihadapanku dengan wajah masamnya.

Oh lihatlah pakaiannya, kemeja putih transparan dengan 2 kancing teratas yang terbuka. Sebenarnya, dia ingin bekerja atau malah ingin memamerkan tubuh indahnya itu?

Emy terus menatapku membuatku gerah dibawah pandangannya.

"Baiklah saya akan segera kesana," sahutku sekenanya.

Aku menaruh dokumen yang tadi kupegang pada pojok mejaku dan segera bangkit dari kursi kerjaku.

"Permisi," gumamku begitu melewatinya. Aku terbatuk sesaat. Aroma parfumnya yang menyengat hampir membuatku mengalami asma.

Aku melangkah dengan mantap. Ada secercah rasa gelisah, tetapi ini kantor dimana Profesionalisme yang harusnya dijunjung tinggi. Pekerjaan dan hidup pribadi tidak boleh saling disangkut pautkan.

Aku menarik napasku dalam saat sudah berada tepat didepan pintu. Aku membutuhkan pekerjaan ini. Aku membutuhkan uang. Jadi, biarlah kutahan segala gejolak menyakitkan didalam sana.

Ceklek.

Pintu terbuka, aku berdiri diambang pintu.

Adrian...

Dia menurunkan map merah yang awalnya menutupi wajah rupawannya. Rupawan yang dibaliknya ada sejuta kekejian mengerikan.

"Kemarilah," ujarnya.

Aku mengangguk dan berjalan kearah depannya. Tanganku menarik kursi yang ada dihadapannya dan duduk disana.

"Ada apa Anda memanggil saya?" tanyaku padanya. Aku berusaha mengatur nada suaraku agar terdengar santai dan biasa saja.

"Ini masalah pernikahan," jawabnya dengan wajah datarnya. Aku mengangkat alisku, akhirnya kami akan membahas hal ini juga.

"Oh baiklah. Jadi kapan sidang perceraiannya?" tanyaku seolah-olah menggampangkan semuanya.

Air muka Adrian berubah, ada kemarahan dibalik matanya dan napasnya mulai memburu.

"Tidak, tidak ada perceraian diantara kita. Tidak akan pernah ada," tandasnya dengan suara beratnya.

Aku terperangah. Apa maksudnya? Tidak ada perceraian? Dia gila?

"Apa lagi yang Anda inginkan?" tanyaku. Aku berusaha menahan diri untuk tidak berteriak dihadapannya. Aku benar-benar kesal dengan perkataanya barusan.

"Memang Joshua sudah menggantikan semua uang yang telah kau pakai itu," ujarnya. Dia menatapku lurus dan kembali membuka mulutnya. "apa yang kau lakukan hingga ia mau melakukannya? Apa kau memberikan tubuhmu padanya?" lanjutnya lagi yang berhasil membuatku tersentak.

Aku menarik napasku dalam-dalam. Aku mencoba menahan emosiku yang benar-benar memuncak karenanya. "Iya, benar," sahutku tak peduli. apapun yang ada diotak Adrian, aku tidak mau lagi mempermasalahkannya. Biarlah dimatanya aku menjadi seorang wanita gampangan, stres, atau apalah itu. Kalau bisa sekalian saja ia jijik padaku dan langsung menceraikanku.

Adrian berdiri dari kursinya dan berjalan mengitari mejanya mendekat kearahku.

"Kau serius dengan jawabanmu?" tanyanya dengan aura intimidasinya yang begitu tajam.

"Tentu saja," sahutku. Aku berusaha sekuat mungkin untuk terlihat berani dihadapannya.

Adrian menarik tangan kananku dan memaksaku berdiri.

Aku meringis merasakan sakit yang teramat sangat pada pergelangan tanganku.

"Katakan padaku bahwa itu bohong," titahnya, berteriak dihadapanku seperti orang yang kehilangan kewarasannya.

"Memangnya apa pedulimu?" sahutku santai. "Toh apapun yang terjadi padaku tidak ada sangkut pautnya denganmu," ujarku lagi dengan senyum kecil yang kupaksakan.

"Kau istriku." Adrian menekankan perkataannya didepan wajahku.

Aku menggeleng. "Sebentar lagi tidak." Aku menatap matanya tajam. "Aku tidak akan jatuh dilobang yang sama Adrian," ujarku tenang.

Adrian mengacak rambutnya frustasi. Lalu, mengatup bibirnya rapat-rapat.

"Kau memang api yang sudah berhasil membakarku dan menghancurkanku. Tetapi aku cermin, serpihan-serpihanku mungkin akan melukaimu,"

Aku melangkahkan kakiku melewati Adrian dan ingin segera membuka pintu. Namun, baru saja tanganku memegang ganggang pintu, tiba-tiba saja Adrian menarikku.

Adrian memojokanku didinding putih dingin ruangannya. Dia mengunciku dengan kedua tanganya yang berada disisi kanan-kiri tubuhku. Matanya memerah menahan emosinya yang mungkin saat ini sudah sangat memuncak.

"Lepaskan aku," kataku. Dan mahal dibalas oleh senyuman miring darinya.

"Aku suka cermin karena cermin akan menunjukkan seberapa berkuasanya aku dan juga aku selalu menggunakan sepatu. Lagipula, bukankah kau sudah hancur berkeping-keping? serpihan-serpihan kecilmu itu tidak akan bisa melukaiku," tandasnya.

Adrian benar. "Lepaskan aku," ujarku lemah. Entahlah, keberanian yang tadinya berkobar-kobar sudah hilang. Mungkin karena sekarang logikaku sadar bahwa sekuat apapun usahaku sampai kapanpun Adrian akan selalu berhasil menjatuhkanku.

Adrian melangkah maju, semakin mendekatkan dirinya padaku. Jarak kami sudah terlalu dekat. Aku bahkan bisa merasakan hembusan napas hangatnya di puncak kepalaku.

Aku mengadah, menatap kepada kedua bola mata hitam kelamnya yang mampu menyihirku.

"Apa maumu?" tanyaku.

"Kau," jawabnya.

||..||..||..||

Thanks to read this! Dont forger to vote and comment.

(Done)

Billionare's Wife (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang