Perhatikan lebih dalam lagi, siapa yang tersakiti. Orang yang sedang berdiri dihadapanmu atau dirimu.
||..||..||..||
Adrian berjalan kearahku dengan begitu santainya. Kedua tangannya ia masukkan pada saku celana jeans birunya dan kaos putihnya yang ketat membuat otot-ototnya tercetak dengan jelas.
Rambut acak-acakannya itu melambai-lambai menebar pesona.
Seperti jambul ayam jantan saja.
"Kau sudah lama menunggu?" tanyanya padaku. Aku menggeleng menjawabnya.
"Lalu sekarang, apa yang ingin kau bicarakan denganku?"
Ya, setelah insiden kemaren, saat Adrian menungguiku didepan toilet wanita dan malah menyatakan cinta padaku. Aku langsung menginjak kakinya dengan runcingan sepatu high heels merahku. Kejam? Tidak itu menyenangkan.
"Val, cepatlah, temani aku ke lokasi syutting," teriak Randon dari dalam mobil yang jaraknya cukup jauh dari kami berdua.
Aku memutar kedua bola mataku malas. Randon yang manja. Ya, selain diam dirumah ataupun melakukan kegiatan yang kusukai, terkadang juga aku menghabiskan waktuku dengan menemani Randon syutting. Itupun, jika aku sedang benar-benar bosan atau jika Randon terus merengek seperti bayi.
"Katakan saja, aku harus menemaninya," ucapku santai. Aku menyedekapkan tanganku didepan dada menunggunya mengatakan apapun yang ingin dia katakan. Dan setelah itu, aku bisa pergi jauh-jauh darinya.
Adrian memejamkan matanya sebentar, lalu menggertak giginya.
"Biarkan dia pergi, aku ingin berbicara berdua dengamu!" titah Adrian.
Ternyata, selama dua tahun ini sifatnya tak berubah. Masih suka memerintahku seakan aku adalah bawahannya.
Aku menggeleng.
"Aku ingin membiacarakan tentang pernikahan kita," lanjutnya lagi kini dengan nada rendah.
Aku menghembus napasku kasar dan menoleh kebelakang, kearah Randon yang masih setia menungguku didalam mobil BMW hitamnya.
"Pergilah, sepertinya aku akan lama," teriakku keras padanya agar dia bisa mendengarku.
Dan Randon menampilkan wajah merengutnya. Dia layaknya anak kecil berumur 5 tahun yang tidak mau ditinggal oleh ibunya yang ingin pergi kepasar.
Aku menggerakkan daguku kedepan tanda bahwa aku serius menyuruhnya pergi dan Randon akhirnya pergi.
Aku tahu setelah ini dia akan merengek padaku dan mengacuhkanku sebagai tindak protesnya.
Tidak masalah, karena aku selalu berhasil membujuknya selama ini. Tentu dengan bantuan buku rayuan gombal milik Adine dan tindakan manjaku.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?"
Aku kembali menatap Adrian, menjadikan dia sebagai objek fokusku.
Adrian diam, mata hitamnya hanya terus menatap dalam kearahku.
"Adrian," pekikku berusaha menyadarkannya bahwa aku didepannya dan sedang berbicara dengannya.
"Aku ingin membicarakan tentang pernikahan kita," ujarnya dan aku langsung menautkan kedua alisku tak suka.
"Mungkin maksudmu membicarakan perceraian kita," sahutku tenang.
Adrian mengedik bahunya. "Tidak akan ada perceraian," balasnya dan matanya menerawang jauh kearah luar taman. Aku berdecak, mau sampai kapan dia seperti ini?
Tidak bercerai? Membuatku geli saja.
Adrian menarik kedua tanganku dan mengelus punggung tangaku pelan. Sedang berusaha menjadi pria romantis, eh? Randon bahkan lebih manis darinya.
Aku menghembus napasku kasar lagi, lalu menarik tanganku dari genggamannya.
"Jadi kapan kita akan bercerai?" tanyaku padanya sambil menyisir rambutku dengan kelima jari kanankukearah belakang.
Adrian menghela napasnya berat. "Tidak akan ada perceraian diantar kita, Valencia," ujarnya.
Aku berdecak sebal. "Kontrak adalah kontrak," kataku sambil menekan setiap kata yang keluar dari mulutku.
"Ya, tapi bukankah kontrak bisa dibatalkan?"
Aku menatapnya dengan kedua alisku yang menyatu. Maksudnya apa? Membatalkan kontrak? Oh tentu tidak bisa, aku tidak akan mau melakukannya.
Maaf, sebagian part sudah dihapus. Temukan Billionare's Wife di toko-toko buku kotamu! Terima kasih :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Billionare's Wife (COMPLETED)
Romance{1 forced love} Aku Valencia Revano. Menikah dengan bosku sendiri karena kepentingan masing-masing. Terjebak dalam pesonanya, membuatku tak bisa menahan diri. Dan setelah aku jatuh pada dekapnya. Semuanya malah dirampas begitu saja. Hidup memang ker...