Mataku membola saat melihat nama yang tertera di layar ponselku.
Jodi.
Aku belum cerita ya? Jodi adalah ketua kelasku. Sekaligus salah satu alasanku masih mau berangkat sekolah.
Diantara sekian banyak cowok yang memandangku sebelah mata, dia satu-satunya yang tidak membeda-bedakanku dari yang lainnya. Dia tidak terpengaruh oleh omongan-omongan Kathy yang buruk tentangku. Dia tetap memperlakukanku dengan sangat baik.
Dan siapa sih yang tidak terpesona dengan lesung pipit di pipi kirinya itu?
Aku yang tadinya sedang duduk-duduk di sofa ruang tengah langsung berlari masuk kamar dan mengangkat teleponnya.
"H-halo.."
"Halo? Rubi?" Ada sedikit lonjakan dalam dadaku saat dia mengucapkan namaku.
"I-iya Jodi, kenapa?" Aku berbicara sambil menempelkan telapak tanganku yang dingin ke pipiku yang panas.
"Biologi lo kelompok 5 kan?"
"Iya"
Dia terdengar membalik-balik halaman kertas, "mm.. Kelompok 5 kebagian materi Animalia ya."
"Oke"
"Tolong bagi-bagi tugas sama anggota kelompok lo, terus siapin PowerPointnya, senin minggu depan udah siap di presentasiin ya."
"Iya." Aku tidak tahu apa Jodi bisa merasakannya karena aku sedari tadi berbicara sambil tersenyum lebar-lebar.
"Oiya, tips dari gue, kalo bisa hiasan di powerpointnya yang bagus ya, soalnya Bu Kiki suka yang estetik-estetik gitu. Nilai lo bisa ditambahin." Jelasnya. Aku mau tak mau jadi penasaran apa dia juga memberikan tips ini ke yang lain.
"Hahaha, oke oke." Tentu saja aku tidak bisa menanyakannya.
"Sip, sori ya ganggu malem-malem." Aku siap diganggu setiap saat.
Aku duluan mematikan sambungan. Karena semakin lama aku di telepon akan semakin tinggi juga harapanku.
Tadi itu kira-kira hanya 20 detik. Tapi untuk menghilangkan efek yang ditimbulkan setelahnya bisa berjam-jam.
Ini memang bukan pertama kalinya Jodi menelponku. Dia sering menelponku.
Bukan untuk urusan lain selain tugas tentunya.
Tapi perasaan meledak-ledak saat mendengar suara beratnya di telepon tidak pernah hilang.
Aku buru-buru membuka laptop dan mengerjakan beberapa slide untuk tugas biologi itu.
Walaupun masih ada waktu seminggu lagi sebelum deadline.
****
Tiba di sekolah aku langsung dihadapkan dengan mimpi burukku.
"Rubi, sori banget ya kemaren! Gak tau tangan gue refleks dorong kepala lo soalnya di belakang kepala lo itu ada kayak serangga gitu.. Bla..bla..blaa"
aku tidak lagi mendengar permintaan maaf palsunya. Seakan ada tangan yang menutup telingaku.
Itu hanya perumpamaan, aku benar-benar tidak peduli sampai semua ocehannya hanya seperti angin lewat.
".... Ya gitu.. Sori lagi ya! Kapan-kapan gue traktir-"
"Iya gue maafin, dan nggak, makasih. " Sanggahku lalu pergi meninggalkannya yang langsung bungkam.
Aku seakan berjalan meninggalkan ledakan dengan menggunakan kacamata hitam dan angin bertiup mengibarkan rambutku.
Oke yang tadi itu maksudnya aku merasa menang. Walaupun sedikit melewati batas keberanianku aku merasa harus memberikan penghargaan untuk diriku sendiri.
Yah, paling-paling sebentar lagi Kathy kesal dan mempermalukanku di depan umum lagi.
Sekarang aku sudah benar-benar tidak peduli lagi. Aku hanya ingin cepat-cepat lulus dan pergi jauh-jauh dari neraka ini. Dan mungkin pindah ke neraka selanjutnya yaitu kuliah, tapi setidaknya di neraka itu tidak ada iblis seperti disini. Semoga.
Aku harus bertahan 2 tahun lagi.
Bagas menyelamatkan hidupku. Ketika Kathy baru saja akan mendatangiku, entah mungkin mau menindasku karena memotong pembicaraannya dengan sarkas, pacarnya datang.
Tidak ada yang dapat mengalihkan Kathy sebaik Bagas.
"Pulang sekolah nonton yuk." Suara ngebass Bagas terdengar ke seluruh kelas, membuat cewek-cewek langsung menoleh iri. Aku buru-buru menyumpal telinga dengan earphone, malas mendengar kemesraan mereka yang selalu diumbar-umbar.
"Ayoo! Aku mau nonton film baru itu loh, apasih judulnya-"
"Yee, orang nonton aku basket maksudnya" Bagas tergelak lalu mencubit hidung Kathy gemas.
Aku hampir dapat mendengar jeritan tertahan dari teman-teman cewekku.
Aku juga ingin menjerit.
Setelah itu aku tidak lagi mendengar percakapan mereka karena aku sudah menyalakan lagu dengan volume besar.
Sekarang saatnya membangun ruangan yang hanya berisi aku dan musikku.
Yang aku tahu selanjutnya sebuah tangan menepuk bahuku.
Jodi.
Aku buru-buru melepas sebelah earphoneku.
"Lo jadi ngewakilin kelas kita ke Bogor kan?" Tanyanya.
"I-iya.." Aku seperti biasa gelagapan kalau diajak bicara oleh cowok. Terutama dia.
"Lonya beneran mau?" Tanyanya lagi tak yakin. Mungkin seperti kebanyakan anak dia sudah tahu yang mengajukan diriku bukan aku sendiri.
Aku hanya membuang napas pasrah, "yah mau gimana lagi.."
Dia memberikanku tatapan yang semua orang lakukan tiap melihat penindasan yang dilakukan Kathy,
Prihatin."Jalanin aja, seminarnya nggak seburuk kedengerannya kok. Positifnya lo jadi bisa cabut pelajaran matematika." Lanjutnya.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan setuju dan tertawa.
Padahal aku suka matematika.
"Yaudah, pokoknya tenang aja. Lagian lo nggak sendirian kok.." Dia sedikit memajukan wajahnya, "...ketua kelas juga wajib ikut." Dia memberikan senyum singkat lalu pergi meninggalkanku yang speechless.
Aku buru-buru menyembunyikan senyumanku yang tanpa sengaja langsung mengembang. JODI IKUT KE BOGOR. Sekarang rasanya aku mau menyalami Kathy dan berterima kasih sebesar-besarnya. Yah. Tidak juga sih.
Tanpa sengaja mataku bertemu dengan Bagas yang sedang berpaling dari Kathy. Sialnya senyumku belum juga pudar. Mungkin karena dia pikir aku tersenyum padanya, dia membalas senyumku. Menampilkan deretan gigi rapinya.
Aku langsung membuang muka.
Apa maksudnya yang tadi itu?

STAI LEGGENDO
The Outcast
RomanceKalian adalah peran utama Aku, sedari dulu, hanyalah penonton yang duduk di barisan paling belakang. Seperti penonton lain, aku hanya menikmati penampilan kalian. Kalian bahkan tak sadar aku ada. Tapi di luar dugaanku sang pangeran turun dari panggu...