Tertinggal

16 2 0
                                    

Aku mencubit-cubit pelan lenganku. Ternyata sakit.

Aku menghela napas lega, benar-benar bukan mimpi.

Sekarang aku sedang duduk di sebelah Jodi. Di dalam mobilnya. Berdua saja.

Aku mau menangis terharu. Meskipun begitu kenyataannya aku duduk kaku sepanjang perjalanan.

Oke jadi begini ceritanya. Selama hampir satu semester ini aku tidak pernah telat, tapi sekalinya telat itu hari ini, dan hari ini hari seminar ke Bogor. Nice.

Sejak kemarin bu Erin memang sudah mewanti-wanti para wakil kelas agar tidak datang melebihi pukul 6.30. Hebatnya aku baru bangun pukul segitu.

Sampai di sekolah gerbang sudah di tutup, aku menjelaskan situasiku, pak satpam lalu dengan santainya mengatakan bahwa bus berisi rombongan ke Bogor sudah berangkat beberapa menit yang lalu. Aku langsung lemas.

Lalu sebuah keajaiban terjadi, tiba-tiba Jodi datang dengan tergesa-gesa. Rupanya dia juga telat.

Jodi langsung menelpon bu Erin, dia bilang kita akan menyusul dengan mobilnya. Dan berakhirlah aku disini. Di dalam jazz kecilnya.

"Untung telatnya bareng ya, Bi." Jodi memecah keheningan setelah beberapa menit.

Kita jodoh Jodi, jodoh. Aku hanya membalas dengan anggukan dan sedikit tawa.

"Gue telat soalnya semalem ada liverpool lawan chelsea. Padahal niatnya mau tidur jam 10, eh kebablasan sampe jam setengah 1." Ujarnya lagi. Aku suka bagaimana ia bercerita tanpa aku tanya.

"Gue malah udah tidur jam setengah 9. Tetep aja telat." Aku tanpa sadar mengatakannya.

Dia tertawa, "ye, itumah emang dasarnya lo kebo, haha."

"I'll take that as a compliment."

"Hahaha, bener kok. Kebo kan jinak, pinter ngebajak sawah.."

"Gue sih jinak, tapi ngebajak sawah.. Gatau deh, nanti gue coba."

Dia terbahak.

Aku juga tidak paham kenapa topik kita bisa berpindah ke kebo. Yang pasti suasana selama perjalanan menjadi cair dan kita tidak berhenti mengobrol. Jodi selalu saja punya topik untuk dibicarakan.

Saking asyiknya mengobrol aku bahkan tidak menyadari mobil telah berhenti.

"Loh emang beneran disini Jo, tempatnya?" Aku melihat gedung di hadapanku, yang ternyata tidak sebesar ekspektasiku.

Dia menatapku sambil tersenyum bosan, "gue ketua kelas dan OSIS, Bi. Udah sering ke tempat ini."

Aku ber oh sambil mengangguk-angguk. Aku lupa. Kehidupan sosial Jodi jauh diatasku.

Kita masuk ke dalam gedung dan aku baru tahu, ternyata gedung ini adalah semacam hotel, tapi terlalu kecil untuk di bilang hotel, entahlah mungkin sejenis tempat penginapan. Kita akan seminar di semacam aula yang mereka miliki. Aku juga tidak mengerti kenapa kita harus jauh-jauh ke Bogor padahal aula sekolah justru 2 kali lipat aula disini.

Ketika kami masuk ke aula tersebut, semua bangku sudah terisi. Kecuali beberapa di paling belakang. Aku langsung bersyukur, aku bisa tidur tanpa ketahuan selama seminar tidak penting ini.

Benar saja, seminar itu hanya membahas hal-hal tidak penting, seperti bagaimana menjadi pemimpin hang baik--yang tidak akan aku terapkan juga karena aku tidak pernah jadi pemimpin--aku langsung tertidur beberapa menit setelah sang pemateri berbicara.

Yang membuatku terbangun adalah perutku yang melilit mendadak. Aku harus ke toilet.

Aku buru-buru bangkit yang membuat Jodi kaget. Sepertinya dia juga sudah diambang mau ketiduran.

"Kenapa Bi? Mimpi serem?" Katanya dengan nada mengejek. Dia pasti lihat saat aku tidur tadi.

"Toilet dimana ya Jod?" Aku menggoyang-goyangkan kakiku panik.

Jodi menghilangkan tatapan mengejeknya dan langsung menyuruhku bertanya pada bu Erin yang duduk di bangku deretan depan.

Aku langsung berjalan cepat ke bagian depan, menyempil melewati murid-murid lain. Semuanya melihat ke arahku bingung.

"Ibu, saya mau ke toilet, ada dimana ya?" Aku berbisik ketika sampai di bangku bu Erin. Dia sedikit terlihat terganggu.

"Kamu ke kamar 304 di lantai 3, di dalamnya ada kamar mandi. Nih, untung ibu bawa kunci cadangannya." Dia menyodorkan sebuah kunci.

Aku berterimakasih seadanya dan langsung berlalu.

Ternyata kamar 304 adalah kamar yang disewa sekolahku untuk menaruh barang-barang bawaan peserta seminar. Ruangannya minimalis dan tas-tas tersebar dimana-mana. Aku tidak sempat memperhatikan keadaan sekitar karena aku langsung menuju kamar mandi. Untungnya, meskipun kecil kamar mandinya bersih.

Setelah sekitar 20 menit--aku termasuk lama dalam hal ini--berurusan dengan perutku, aku keluar kamar mandi sambil membuang napas lega.

Sayangnya napas lega itu harus kutarik lagi karena tiba-tiba ruangan yang tadinya penuh oleh tas itu, sekarang kosong.

Apa mungkin tadi aku berkhayal ketika masuk kesini? Apa memang sebenarnya tidak ada tas?

Seakan itu belum cukup ternyata pintunya juga terkunci. Aku baru saja ingin menangis ketika teringat aku membawa kunci cadangannya.

Seingatku aku tidak menguncinya ketika masuk. Oke kesalahanku aku harusnya menguncinya, tapi ini aneh.

Aku buru-buru menuju ruang aula dan perasaan burukku terbukti, ruangan itu juga kosong, tinggal bangku-bangku yang sedang dibereskan oleh para caraka.

"Pak, SMA Karya yang tadi jadi peserta seminar kemana ya?" Tanyaku panik pada salah satu office boy.

"Loh, ya sudah selesai atuh neng. Peserta sudah pulang semua."

Sebuah batu besar seakan menimpaku.

The OutcastDove le storie prendono vita. Scoprilo ora