(Prolog) Hitam Pekat Kematian

182 31 30
                                    

"Kini aku akan mengarungi kerasnya hidup sendirian. Tak ada lagi ayah dan nenek yang rela menolongku, menasehatiku, menemaniku dalam hari-hari kelam di planet bernama bumi ini. Kini ku berpijak sendirian karena dua orang yang kupercayai, kusayangi dan kucintai telah pergi ke alam lain. Maka untuk bisa bertahan di semesta ini aku harus membuat sekatku sendiri.

5 Desember 2015
Rianti Ariska

***

Rianti sudah mengenal suasana haru ini. Masih mengingat rasa sesak duka ini. Hanya ada dua warna yang dia lihat hari ini, sama seperti warna yang dia lihat tiga bulan yang lalu saat ayahnya pergi meninggalkannya untuk selamanya. Warna putih dari kain mori simbah putrinya sang empunya badan yang utuh, tapi rohnya sudah pergi terbuang jauh. Dan yang kedua warna hitam pekat, dari semua rombongan pelayat, membawa warna duka, menyiratkan salam terakhir salam selamat jalan, semoga tenang di alam beda dunia.

Rianti, gadis yang sedang berduka itupun ikut menutupkan matanya sama seperti jenazah yang telah terkafani itu. Dia menutupkan matanya seolah ingin bercakap dengan neneknya untuk yang terakhir kali. Seperti tadi malam, ketika tiba-tiba neneknya ke kamarnya, mengetuk pintu dan dibukakan oleh Rianti. Lalu nenek Rianti meminta untuk terakhir kali dia ingin tidur bersama cucu satu-satunya itu.

Tok, Tok, Tok.

"Rianti, buka pintunya ini eyang uti."

Malam itu Rianti sedang duduk di meja belajar membaca buku fiksi terjemahan Hunger Games. Fokusnya terhadap buku yang sedang dibacanya langsung buyar ketika mendengar suara ketukan pintu dan suara halus neneknya. Lalu ia melirik jam kecil yang ada di pojok meja belajar. Loh, ini kan sudah jam 11 malam kenapa eyangnya belum tidur? Kalau dia memang punya kebiasaan selalu membaca buku waktu malam hari sebelum tidur, karena ia membutuhkan suasana sunyi. Melangkahlah dia ke pintu kamarnya untuk membukakan pintu.

"Eyang kok belum tidur sih? Ini udah malem hlo"

"Aku ndak bisa tidur ini. Kamu juga kenapa jam segini belum tidur?"

"Hehe, biasa yang aku baru baca buku. Sini tidur sama Rianti, ntar eyang aku kelonin." canda Rianti.

Lalu bersempit-sempitanlah mereka, sepasang cucu dan nenek di kasur yang tidak besar itu, berbagi selimut, berbagi kehangatan. Hal seperti itu yang Rianti selalu inginkan, kehangatan yang sudah tiga bulan terakhir ia lupakan. Karena sudah tiga bulan berlalu, ia menggigil sendirian, merenung dan mengingat kematian ayahnya.

"Gimana Ri sekolahmu?" Neneknya bertanya kepada Rianti karena neneknya tidak bisa tidur.

"Sekolahku ya biasa aja eyang."

"Masak cuma biasa aja?" Neneknya memancing Rianti untuk menjawab lebih detail lagi.

"Ya emang biasa eyang. Disekolah ya aku belajar, becanda sama temen-temenku, diskusi kelompokan bareng-bareng, ngadepi guru yang aneh-aneh. Ya gitu-gitu aja eyang"

"Iya Rianti, eyang ngerti. Tapi gimanapun kamu jangan nganggep hal-hal yang terjadi sama kamu itu biasa. Siapa tau kamu nggak bisa lagi ngerasain sekolah kamu yang kayaknya asyik banget itu. Becanda sama temen-temenmu, diskusi bareng, ngadepi guru aneh. Hidup itu kan kaya roda yang berputar. Jadi sebisa mungkin kamu harus punya rasa syukur, terima kasih sama Tuhan"

Duh ini kenapa eyangnya ngomong aneh begini.

"Iya eyang Rianti bersyukur untuk hari ini dan hari kemarin."

"Kamu jangan anggep hal-hal itu biasa. Udah ada waktunya kamu seneng, atau susah, namanya juga hidup. Jangan karena ayahmu udah nggak ada kamu jadi ambil kesimpulan kalau hidup itu biasa. Ndak ada istimewanya. Jangan ya nduk."

Deg. Rianti serasa dijebloskan kebawah tanah. Tempat tidurnya ambles kebawah. Dia jatuh. Omongan eyangnya benar sekali. Rianti memang sudah menganggap dunia ini terlalu biasa semenjak kematian ayahnya dan ia bertekad untuk membuat sekatnya sendiri dari dunia ini.

Bagaimana mungkin secepat ini terjadi? Rasanya seperti kemarin ayah memberikanku sepeda untuk kesekolah, kata ayah ini sepeda yang cantik untuk putrinya yang cantik. Sekarang ayah malah pergi meninggalkanku.

Bagaimana mungkin secepat ini terjadi?Kemarin bahkan neneknya sempat bercanda dengan dia. Lalu bercerita, membayangkan masa depan yang pasti akan semakin rumit saja, mengobrolkan lahan tanah yang semakin sempit, persawahan terganti dengan perumahan. Semua rakus ingin memiliki segalanya.

Gadis itu berjalan mengikuti rombongan pelayat ke pemakaman.

"Tuhan, tidakkah cukup Kau ambil ayahku? Kenapa pula kau tega mengambil eyangku? Setelah ini apalagi yang akan Kau lakukan padaku?"

Duka yang ada pada Rianti tak akan mudah hilang. Setelah pemakaman neneknya usai, walaupun air mata Rianti sudah kering tak bersisa, tapi air mata dihati Rianti tak pernah surut. Riang Rianti terganti oleh sorot mata kelabu.

***

14 September 2016
Aprl's

Salam kenal, Aprl's 👽

Ranting PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang