4.

109 20 6
                                    

Aku terus mengunyah roti selai kacangku dari kursi penonton sambil memperhatikan Mr. Paul yang sedang memberi arahan kepada pemain figuran di panggung teater sekolahku.

Ruangan ini cukup luas dengan penataan lampu kualitas terbaik membuat siapapun setuju ruangan ini dapat digunakan untuk acara drama musikal sekolah dari tahun ke tahun, dan mampu menampung ratusan penonton.

Ya, sekolah ini merupakan sekolah ternama di kotaku. Mama selalu bangga jika ditanya dimana sekolah anak tunggalnya.

Pengarahan untuk pemain figuran pun usai, jemari tua Mr. Paul melambung pertanda aku-harus-mendatanginya.

Aku belum melihat Millen hari ini, batinku.

Benar saja, saat aku menapaki kedua kakiku diatas panggung dan bersiap menerima arahan Mr. Paul, laki-laki itu berteriak dan berlari menyusuri tangga dengan kecepatan penuh.

"Mr. Paul tunggu aku!"

Keringat bercucuran di dahinya.

Nafas Millen terpenggal-penggal begitu sampai di panggung, tangan kanannya sekarang menggaruk-garuk rambut yang kuyakini belum ia bersihkan sejak kemarin.

Penampilannya berbanding terbalik dari Millendra yang kemarin menjemputku dirumah. Sekarang, nampak seperti orang yang tidak mandi tiga hari.

Sial! Bajunya sobek.
Aku melihatnya jelas saat ia mengangkat tangannya waktu menggaruk.

Aku berani bertaruh, Mr. Paul pun melihatnya.

"Millendra!" suara Mr. Paul memecah konsentrasi beberapa pemain yang sibuk menghafal dialog di kursi penonton.

Aku memasang telinga lebar-lebar, siap menertawai Millen jika ia dimarahi oleh si botak ini, maksudku Mr. Paul.

***

Suara nyaring tawaku memenuhi atmosfer koridor sekolah, mengingat kejadian tadi pagi.

"Sudahlah, Sha. Lelaki tua itu hanya ingin mencari kejelekanku saja. Terlambat sedikitpun masa harus dihukum." celoteh Millen yang sekarang berjalan bersamaku menggapai gerbang sekolah.

"Apakah papamu menjemput?"

Aku yang sudah puas tertawa hanya menaikan bahu.

"Naiklah.. kuantar kau pulang."

"Apa yang terjadi denganmu hari ini?" sekitar sepuluh menit diatas motor sportnya aku mulai membuka percakapan, tepatnya pertanyaan yang ingin aku lontarkan sejak tadi pagi.

Tidak ada jawaban.

mungkin ia tidak dengar pikirku.

Aku mencoba mencoleknya.

"Ihhh, Millen. Ini apa?" kudapati bercak merah yang kontras dengan warna seragam dilengannya.

"Darah!!" sambungku.

"Aku tak apa.." suara beratnya menghantar sampai kedepan rumahku.

Entah kesialan apa yang diterima Millen hari ini, begitu aku menutup pintu rumah hujan deras datang mengguyur tanpa permisi.

Pasti dia basah kuyup!

Peluk Aku Hingga FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang