Graves

1K 151 16
                                    




Salah satu lagu 5 Seconds of Summer kesukaanku adalah Long Way Home. Aku pernah membayangkan Luke menyetir mobil dan aku disampingnya, pergi tanpa tujuan, menikmati perjalanan dan bersenda gurau tanpa bosan. Tapi itu nampaknya hanya jadi khayalanku saja, mengingat aku dan Luke..

"Naya, kita sudah sampai!," Dina memberhentikan skutermatik nya tepat di satu-satunya komplek pemakaman di Fremantle. Jangan heran, Fremantle hanya berpenduduk 27ribu, sehingga pemerintah pun merasa tidak perlu menyiapkan lahan terlalu banyak untuk pemakaman.

"Sungguh? Astaga sudah berapa lama aku tidak kesini?," ya, aku terdengar seperti anak durhaka sekarang. Aku lupa kapan terakhir mengunjungi makam ayah dan ibuku. "Bisa bantu aku membawakan bunganya?," Dina mengangguk cepat dan meraih keranjang berisi mawar berwarna ungu dan lilac yang ia simpan tadi di gantungan bagian depan motornya.

Aku dan Dina memasuki area pemakaman perlahan, sampai kami berdua tiba di makam ayah dan ibu yang berdampingan.

"Aku akan menunggu di luar jika kau ingin privasi, Naya."

"Boleh?"

"Tentu."

Maka Dina pun meninggalkanku sendiri duduk disana. Aku meletakkan bunga yang sudah kupesan khusus, masing-masing satu buket, tepat di pusara ayah dan ibu.

"Ayah, Ibu.. Ini aku," tetiba angin bertiup ke arahku seakan merupakan tanda bahwa mereka mendengarkanku dari sana. "Maaf aku sudah lama tak kemari, aku.. Ya, aku tidak tinggal di Australia lagi sejak lulus kuliah. Hey tapi, aku lulus dengan nilai tertinggi. Nyonya Liz Hemmings sangat bangga padaku, kalian juga kan?," aku berhenti sejenak mengingat ekspresi Nyonya Liz yang seperti memenangkan lotre saat aku maju ke podium karena dinobatkan sebagai lulusan terbaik. "Dan aku kerja sebagai road manager 5 Seconds of Summer sekarang. Mungkin bukan harapan ayah atau ibu, tapi aku senang menjalaninya," aku tersenyum sejenak. "Ayah, Ibu.. Sebenarnya aku ingin bercerita banyak tentang kehidupanku. Tapi aku yakin kalian melihatku dari sana. Maaf aku masih jadi perempuan yang cengeng dan mudah pasrah, apalagi masalah.. Pria." air mata pun turun ke pipiku. "Tapi aku akan berusaha belajar dari setiap pengalaman. Aku akan menemukan pria yang tepat untuk menemaniku dan menjadi saling mencintai seperti kalian, hanya maut yang memisahkan. Aku janji."

Setelah curhat sejenak di depan makam ayah dan ibu, aku terdiam mengingat kenangan dulu bersama mereka. Bagaimana mereka memanjakanku, selalu meluangkan waktu untukku, mengajarkanku banyak hal, mencontohkanku hal-hal baik. Aku beruntung menjadi titipan mereka, walaupun aku belum sempat membalas segala hal yang mereka beri padaku, aku berjanji, aku akan menjadikan diriku berguna.

Ya, berguna.

Meratapi kesedihan karena putus cinta bukan salah satunya.

"Ayah, Ibu, aku harus pergi sekarang. Aku merindukan kalian, aku menyayangi kalian," aku mengusap pusara mereka lalu pergi menghampiri Dina yang menunggu di luar area pemakaman.

Aku melihat Dina yang duduk di rerumputan di samping skutermatik nya sambil memegang ponsel. Dia lantas tahu saat aku berdiri di depannya.

"Sudah selesai?," tanya Dina menengadahkan kepalanya. Aku mengangguk sambil tersenyum. "Kau beruntung. Kau masih bisa mengunjungi makam orang tuamu, Naya, sementara aku.."

Aku pun duduk di samping Dina dan merangkul pundaknya. "Jangan begitu. Itu bukan berarti kau tidak bisa mendoakan mereka, Dina," sekedar info, orang tua Dina meninggal di kecelakaan pesawat di tengah lautan. Sudah pasti, jasadnya tidak ditemukan. "Kau anak yang baik, mereka pasti bangga padamu."

"Terimakasih, Naya."

Sepanjang perjalanan pulang menuju panti asuhan, aku dan Dina saling berbagi cerita. Aku bertanya banyak tentang sekolahnya, karena dia akan lulus tahun ini, dan sesuai peraturan di Panti Asuhan Amor, selesai sekolah menengah atas, maka para anak akan dilepas dari sana.

ROOM FOR CALUM ✖️ CALUM HOODTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang