Ara mondar-mandir di depan kamar apartemennya. Di tangannya memegang kotak yang dibungkus dengan kain dengan gambar bunga. Ketika terdengar pintu terbuka dari kamar sebelah, dia segera berbalik dan menghampiri orang yang keluar.
"Tunggu," cegah Ara dengan suara lirih saat pemuda tetangga sebelah hanya melewatinya saja. Pemuda tetangga sebelah tak tahu kalau Ara sedang menunggunya.
"Ada apa?" tanya pemuda tetangga sebelah setelah membalik tubuhnya.
"Tentang yang kemarin, aku mau mengucapkan terimakasih dan maaf."
"Maaf?" kata pemuda tetangga sebelah dengan heran.
"Iya. Terimakasih karena telah menemaniku semalaman. Dan maaf karena telah mengganggu waktumu."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Ara tak mendengar apapun. Pemuda itu tak mengatakan apa-apa. Ara yang tadi berbicara tanpa menatap pemuda itu, akhirnya mengangkat wajahnya. Tak ada ekspresi di wajah pemuda itu. Jantung Ara semakin berdegup kencang. Bukan karena dia takut dengan tatapannya-dia sudah terbiasa melihat tatapan seperti itu darinya-melainkan karena dia terpesona melihat wajahnya. Semakin tampan saja menurutnya. Malam itu Ara tidak terlalu memerhatikam lekukan wajah pemuda itu. Dia memiliki rahang yang kuat. Tatapannya dingin, namun bagi Ara terasa hangat, dan hidungnya mancung, tidak seperti hidung Ara yang pesek namun terlihat menggemaskan.
"Oh iya, ini." Ara memberikan kotak yang telah ia bungkus rapi dengan kain setelah menenangkan degupan jantungnya. "Ini kue yang aku buat sendiri sebagai ucapan terimakasihku dan ucapan maafku."
Pemuda itu mengambilnya dengan tak lupa mengucapkan terimakasih seraya tersenyum tipis. Kemudian dia pergi.
Ara tersenyum melihat pemuda itu. Dia tak peduli dengan sikap dingin pemuda itu. Tiba-tiba sebuah nada dering menghentakkannya.
"Iya, Wen?"
"Riri nggak jadi pergi ke festival karena kak Rafael sakit," kata Wenda yang ada di seberang telepon, melapor kepada Ara. "Kalau kamu jadi, kan?"
"Aku juga nggak jadi deh, Wen."
"Kenapa?"
"Entar aku ganggu kamu sama kak Bisma, lagi."
"Enggak lah, Ra. Pergi ya?" Wenda berusaha mengajak Ara. Dia tidak mau hanya berdua dengan Bisma, karena itu akan membuatnya canggung.
"Nggak, Wen. Aku juga ada urusan lain sekarang."
"Tapi, Ra..." Wenda masih ingin membujuk Ara agar pergi, tapi lagi-lagi Ara menolak dan langsung mematikan ponselnya.
Ara mengerti bagaimana perasaan Wenda terhadap Bisma. Dan dia melakukan ini agar Wenda bisa membuka perasaannya untuk Bisma.
Ara yang masih di depan kamar apartemennya hendak masuk ke dalam. Tapi, mendadak ada rencana lain. Mumpung dia tidak bekerja. Dia ingin mengukuti pemuda itu untuk mencaritahu di mana dia bekerja. Selama ini, dia tak punya kesempatan untuk melakukan itu karena dia harus bekerja setiap hari. Di hari cutinya ini, dia mengikuti pemuda itu.
Segera dia berlari agar tak tertinggal jauh dari pemuda itu. Dia berhasil. Pemuda itu belum jauh meninggalkan apartemen. Ara terus mengikuti pemuda itu secara diam-diam. Sepertinya pemuda itu merasakan ada orang yang mengikutinya, karena sesekali dia berbalik. Saat pemuda itu berbalik, dengan cepat Ara bersembunyi. Entah itu di balik tembok, pohon, atau tempat sampah besar. Namun, sekarang Ara kehilangan dia. Ara melihat sekeliling, tapi tak ada siapapun. Kemana perginya pemuda itu? Padahal Ara hanya sebentar tak melihatnya.
Slep...
Tiba-tiba Ara melihat sekelebat bayangan hitam lewat di sampingnya. Seketika, bulu kuduknya langsung berdiri. Dia mendekap tubuhnya karena angin malam yang bertiup. Kelebatan-kelebatan bayangan itu terus bergerak. Namun Ara tak dapat melihat sosok apa itu. Ara pun memutuskan untuk kembali ke apartemennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marmetu Manis
Random[END] Cerita ini terinspirasi dari bunga tidur si penulis. Awalnya tidak ingin bahkan tidak ada niatan untuk menulis seperti ini, tapi karena sebuah mimpi yang belum ada akhirnya karena dipertengahan mimpi tiba-tiba terbangun, aku berniat menuliskan...