(Not So) Finale

18 1 0
                                    

Part 6

Ruang baca terletak di loteng yang hanya ada satu ruangan, ruang baca itu lah. Ruangannya cukup luas, sekitar dua puluh kali dua puluh lima meter. Di tiga sisi dindingnya ada rak buku panjang dan tinggi seperti perpustakaan. Lantainya dilapisi ambal beludru. Di dinding keempat, ada jendela kaca besar yang bisa digeser, seperti rumah-rumah di Jepang, yang menuju ke balkon. Ada seperangkat sofa di sana. Sofa itu tidak terlihat dari pintu masuk karena ada rak buku cukup tinggi yang menghalangi. Mungkin itu rak buku untuk dinding ke empat yang di geser kedepan sedikit. Nina dan Alex duduk berdua di sofa panjang karena tak ada yang mau mengalah, sofa panjang itu sendiri menghadap ke balkon yang pemandangannya indah.

Nina menekuni komik serial Detektif Conan volume 29, sementara Alex tenggelam dalam karya Dan Brown, Angel and Demon. Sepuluh menit kemudian, Nina merasa ada yang aneh. Ada aura tak bersemangat, seperti tengah melamun dan mengingat masa lalu, yang menguar dari Alex. Nina tak nyaman dibuatnya.

"Kenapa Lex? Teringat pacar masa kecil kamu?"ucap Nina to the point. Alex melempar bukunya ke sofa kecil di depannya dengan wajah frustasi.

"Ck, rese." Sahutnya dengan nada malas.

"Kenapa kamu nggak nyari dia aja, Lex?" Nina tertular ke-frustasian Alex, ikut-ikutan melempar komik kesayangannya.

"Nyari gimana? Petunjuk aja nggak ada." Alex memandang Nina dengan mata 'yang-benar-saja'.

"Ada dong. Petunjuknya ingatan kamu. Kamu tahu di mana dia muncul. Rambutnya gimana, bajunya warna apa. Itu petunjuk Lex." Sahut Nina.

"Iya, tapi orang bisa aja berubah, belum tentu warna baju yang dia pakai itu warna kesukaan dia. Lagian kenapa kamu tanya-tanya?"

"Kamu itu terlalu pesimis Lex. Dan aku nanya karena aku mau bantu kamu. Gratis kok, mumpung aku lagi baik nih." Nina nyengir.

"Gimanapun, pasti susah nyari dia. Terus, gimana kalau misalnya udah ketemu, eh dia udah punya pacar, atau parahnya udah punya anak." Cecar Alex.

"Sekali lagi kamu terlalu pesimis. Denger ya, kedatangan kamu kali ini pasti untuk nyari gadis itu juga, dan setelah kita balik ke Jakarta, aku yakin kamu nggak bakal konsen sama pertandingan-pertandingan kita, aku nggak mau itu terjadi." Sahut Nina tajam.

"Intinya itu toh." Kata Alex dengan mata irisan semangka ala Conan.

"Kamu cuma butuh terapi psikologis, Lex." Kata Nina.

Lalu dengan gerakan cepat Nina menarik leher Alex hingga kepala pemuda itu rebah dipangkuannya.

"Nin..." Alex bingung.

"Diam. Kaki kamu rileks." Perintah Nina dengan mata serius. Alex menurut, menaikkan kaki ke pegangan sofa. "Pejamin mata kamu." Sekali lagi Alex menurut. "Sekarang kamu bayangin kamu ada di tepi sungai kemarin. Kamu di posisi tempat kamu liat gadis itu."

"Okay." Jawab Alex.

"Sekarang, ingatlah saat-saat kamu melihat gadis itu, putar ulang diingatan kamu. Ada bayangannya?" Suara Nina bak hipnotis.

"Ada." Sahut Alex.

"Biarkan ingatan itu, lalu cari ingatan lain, samakan dengan posisi, warna baju, model baju, rambut, atau wajah gadis itu. Ketemu?"

"Ya. Ada beberapa."

"Perkuat ingatan kamu. Lalu coba gambarkan, ucapkan apa yang kamu lihat."perintah Nina.

Rumpun Melati di Tepi SungaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang