BAB 5

55.3K 3.7K 226
                                    

Langit siang begitu cerah, dan Cinta selalu suka suasana seperti itu. Saat warna biru terbentang luas, lengkap dengan arakan awan putih bagai kapas yang diterbangkan oleh angin. Indah.

"Suka sama langit, ya?" Suara seorang laki-laki yang Cinta hafal terdengar, tanpa permisi langsung duduk di sebelahnya, di sebuah kursi taman yang ada di kampus. Langit, sekarang dia seperti jin yang mendadak muncul tanpa peringatan, membuat jantung Cinta berdetak lebih cepat. Apalagi, pertanyaan dari bibirnya, membuat gadis itu menunduk dalam, menyembunyikan rona merah di pipi.

“Yaelah! Nunduk lagi!” seru Langit diiringi decakan pelan. “Emang muka gue segitu nakutin ya sampe buat kamu takut gitu?”

“Eng-enggak.”

Kedua alis Langit hampir bertaut. “Terus?”

Cinta hanya menjawab dengan gelengan. Ia tak mau berkata apa-apa di samping Langit. Aura lelaki itu terlalu kuat baginya.

Jeda beberapa detik, sampai Cinta mendengar lelaki itu mengeja, “Sabtu Bersama Bapak.”

Mau tak mau Cinta mendongak. Lelaki itu sudah merebut buku yang ada di tangannya sedari tadi.

“Ini salah satu novel favorit gue juga.” Mata Langit berbinar cerah.

“Oh iya?” Antusiasmenya menular pada Cinta.

“Iya, dong. Recommended banget buat cowok-cowok. Dari sini gue belajar apa itu tanggung jawab jadi seorang ayah, suami, juga jomblowan yang baik kayak gimana.”

Tawa Cinta terdengar pelan. “Apaan jomblowan? Tiap hari gonta-ganti cewek juga.” Cinta menutup mulutnya sendiri saat menyadari apa yang baru keluar dari sana. Ia biasanya tak seterus terang itu kepada orang yang baru dikenal.

“Yeee … orang mereka cuma temen. Jangan percaya gosip di luaran deh, Cin. Gue orang yang setia, kok.” Sebelah mata Langit berkedip satu kali, membuat desiran aneh di hati Cinta semakin kencang.

“Nunduk lagi!” interupsi Langit saat melihat Cinta menenggelamkan wajahnya. “Eh, Cin.” Lelaki itu kembali membuka bahan obrolan. “Elo selain suka baca, suka nulis juga, nggak?”

“Eng-gak,” jawab Cinta setengah ragu.

“Lho? Kenapa?”

Cinta menggeleng. “Pengen, sih. Tapi aku nggak pede. Kayaknya aku nggak punya bakat.”

“Orang berbakat akan kalah dengan orang yang mau usaha, Cin. Kenapa nggak nyoba aja? Orang itu harus punya tujuan, target hidup, mimpi yang harus dicapai.”

Omongan yang persis sama dengan Nadia. Apa sebegitu menyedihkannya hidup tanpa tujuan?

“Enggak semenyedihkan itu sih hidup tanpa tujuan.” Langit seolah bisa membaca pikiran Cinta. “Tapi setidaknya, hidup lo jadi lebih bersemangat. Mau nyoba?”

“Eeumm … anu. Aku harus mulai dari mana?”

Langit bertepuk tangan satu kali membuat Cinta tersentak kaget.

“Gue bakalan bantu!”

Dahi Cinta berlipat, Langit tersenyum miring.

***

Atmosfer suasana kampus FBS atau Fakultas Bahasa dan Seni sangat berbeda dengan fakultas Cinta—Fakultas Ilmu Pendidikan. FBS mempunyai ukuran yang jauh lebih besar, di beberapa tempat ada gazebo yang biasa dibuat latihan atau kumpul-kumpul anak jurusan dan organisasi. Mata Cinta juga bisa menangkap beberapa anak tari berlenggak-lenggok dengan tariannya di salah satu sudut. Ada juga yang bergenjrang-genjreng ria dengan gitarnya, tergelak bersama-sama di sebuah kursi taman yang tak jauh dari tempat yang dilakukan oleh Cinta.

Birunya CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang