BAB 7

47.4K 3.6K 192
                                    

Baru selesai tulis, tolong dibantu cek typo, ya. 😆😆

***

“Tadi gue lihat lo dikritik pedas sama Mas Biru,” ucap Langit saat menjajari langkah Cinta menuju parkiran. Tadi, mereka bertemu saat akan mengambil motor.

Cinta membuang napas keras. Gara-gara Biru mood-nya hari ini hancur seketika. Bahkan bertemu dengan Langit tak menyembuhkan rasa sebalnya.

Langit yang mengetahui raut wajah Cinta  yang berbeda, langsung peka. “Lo marah, ya?” tanya Langit

“Buat apa marah?” tanya gadis itu yang berbanding dengan intonasi dan raut kesal yang terlihat begitu jelas.

“Jujur aja deh sama gue. Nggak baik lho nahan amarah. Nanti bisa kena stroke. Serius!” Kepala Langit terantuk-antuk meyakinkan.

Sekali lagi, Cinta mengatur ritme pernapasan.  “Aku nggak marah sama kritik pedas dia, yang aku nggak suka kenapa dia selalu nasehatin orang di depan umum? Memberi saran sama orang itu kan juga adabnya. Aku tahu tulisanku hancur. Tapi nggak bisa ya dia ngehargai usaha orang lain.”

Senyum Langit terkembang memperhatikan Cinta yang sedang mengomel sendiri. Cinta yang melihat itu mengernyit.

“Kok kamu malah senyum-senyum, sih?”

Badan Langit memutar menghadap Cinta, tangannya terlipat di depan dada, dengan satu kaki yang ia menepuk bumi.

“Suka lihat lo ngedumel kayak gitu. Ngegemesin banget.”

Entah untuk berapa kalinya Langit membuat Cinta tersipu, gadis itu menunduk, membuang muka di hadapan Langit. “Apalagi kalau malu-malu kayak gitu. Tambah lucu.”

Cinta kembali mendongak. “Jangan ngegombal deh.”

Tawa Langit terdengar. “Eh serius! Lihat tuh pipi bakpaonya kalau udah merah-merah gitu tuh jadi kek minta dicubit.”

Bibir gadis itu mencebik, lama-lama dia tidak suka digombali, dan wajahnya menunjukkan hal itu.

Masih dengan sisa tawa yang menggantung, Langit berujar, “Oke, oke. Sorry.” Jeda sejenak untuknya meredakan tawa. “Mas Biru emang gitu, dia agak anti cewek. Ayah Mas Biru temenan deket sama Papa, jadi sedikit banyak gue tahu sifat dia,” jelas Langit, dan Cinta tidak peduli dengan apa pun yang berhubungan dengan lelaki itu. “Dulunya dia nggak gitu, lho. Mungkin karena kejadian masa lalu yang … eh!” Langit menepuk mulutnya sendiri, membuat alis Cinta hampir bertaut. “Lupain aja. Nggak boleh ngomongin aib orang.”

Dahi Cinta berlipat, Aib?

“Cinta!” Mendadak suara di balik punggung Cinta terdengar, mengalihkan perhatiannya. “Eh, kok kamu ke sini, to? Sejak kapan suka mampir di Fakultasku?” Nadia datang dengan pakaian santainya, celana jeans dengan kaos yang dilapisi sweater rajut tosca.

“Eh, aku belum cerita kalau sekarang aku gabung di komunitas ya, Di?”

Dahi Nadia berlipat. “Komunitas apa?”

“Lingkar Aksara. Grup kepenulisan.”

Nadia menepuk-nepuk dagunya dengan ujung jari. “Jadi, sudah nentuin mimpi sekarang?”

Birunya CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang