Bagian 2

2.5K 28 3
                                    

"Siapakah kalian? Dimanakah tempat ini?"
Pertanyaan tersebut telah diajukan berulang kali, namun gadis-gadis tersebut cuma tertawa, tertawa melulu tanpa berbicara.
Siau-ko ingin bangkit berdiri, namun bahunya segera ditekan oleh tangan lembut seorang gadis cantik yang berdiri di sisinya.

Siau-ko segera duduk kembali, ia tak berani meronta, apalagi menyentuh gadis tersebut. Walaupun dia tahu bahwa dirinya termasuk seorang lelaki yang tidak gampang terangsang atau terpikat oleh bujuk rayu gadis-gadis cantik.

Tapi yang membuatnya paling tak tahan adalah gadis berambut pirang bermata hijau tersebut, terutama belaian tangannya yang begitu lembut di atas wajahnya, menghembuskan napas lembut di sisi telinganya.
Siau-ko mengerti, salah satu 'bagian' dari rongga tubuhnya mulai menunjukkan perubahan yang sangat cepat, suatu perubahan yang kurang sedap dibicarakan.
Tiba-tiba saja tubuhnya melengkung ke depan, melengkung ke suatu arah yang tak mungkin di duga oleh siapapun dan menuju ke arah yang tak mungkin disangka oleh siapapun.
Dua orang gadis yang menekan bahunya dan membelai pipinya itu hanya merasakan tangannya menjadi licin, tahu-tahu orang yang mereka tekan, mereka belai itu sudah hilang lenyap tak berbekas.
Ketika mereka berpaling lagi, barulah dijumpai pemuda itu sudah menyembunyikan diri di balik patung Buddha emas yang jauh letaknya di situ.
"Harap kalian jangan kemari," Siau-ko berteriak keras, "aku bukanlah orang baik, bila kalian berani kemari lagi, aku akan benar-benar tak sungkan terhadap kalian."
Berbicara sesungguhnya dia memang sedikit takut dengan gadis-gadis tersebut, tapi bila mereka benar-benar menghampirinya, diapun tidak akan merasa terlalu sedih, juga tak akan mati ketakutan.
Sayangnya mereka tidak menghampirinya, seorangpun tidak, karena pada saat itulah si tuan rumah telah munculkan diri.
Dia adalah seorang lelaki yang kurus, tinggi dan tampan, pakaiannya hanya sebuah jubah panjang berwarna hitam yang berkilauan, rambutnya dibiarkan terurai di belakang bahu.
Sekalipun pakaiannya sangat sederhana, akan tetapi orang ini kelihatan seperti seorang Kaisar.
Terutama sekali raut wajahnya.
Garis-garis mukanya tertera jelas, setiap lekukan dan tonjolan terbentuk secara sempurna.
Paras mukanya pucat pias, sama sekali tiada setitikpun warna darah, seakan-akan terukir dari batu Tay-li yang putih bersih, suatu profil yang anggun tapi mengandung watak dingin dan kaku yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Menyaksikan kemunculan orang ini, serentak kawanan gadis tersebut menjatuhkan diri menyembah.
"Aku tahu, kau pastilah tuan rumah tempat ini," Siau-ko segera berseru keras.
"Memang itulah diriku!"
"Aku tidak kenal denganmu, kaupun tidak kenal denganku, mau apa kau membawaku kemari?"
"Aku sendiripun tak tahu."
"Kau sendiripun tak tahu?" Siau-ko berteriak semakin keras, "bagaimana mungkin kau tak tahu?"
"Sebab aku memang tidak menyuruh kau kemari, adalah kau sendiri yang turut aku kemari."
Jawaban tersebut kontan membuat Siau-ko tertegun, sedemikian tertegunnya sampai setengah harian lamanya tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
"Aku sendiri yang turut kau kemari? Jadi kau...... kau adalah si manusia pembawa peti itu?"
"Betul!"
Siau-ko segera memegangi kepala sendiri kencang-kencang seakan-akan segera akan roboh tak sadarkan diri.
Seorang manusia berpakaian kasar, berdandan sederhana, tiba-tiba saja berubah menjadi seorang kaisar.
Kejadian semacam ini biasanya hanya akan terjadi di dalam cerita dongeng, tapi Siau-ko justru telah menjumpainya secara tak disangka-sangka.
"Sesungguhnya manusia macam apakah kau?" Siau-ko berjalan keluar dari balik patung Buddha, "seorang pembunuh gelap yang berkelana dalam dunia persilatan sambil membawa peti? Ataukah seorang pertapa kaya raya yang hidup mengasingkan diri dari keramaian dunia?"
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia menambahkan: "Kedua macam manusia ini sama sekali berbeda, sesungguhnya manusia macam apakah yang merupakan raut wajah aslimu?"
"Dan kau sendiri? Sebetulnya kau termasuk manusia macam apa?" ia balik bertanya kepada Siau-ko, "seorang pemuda berdarah panas yang merasa ingin tahu terhadap setiap masalah yang ada di dunia ini? Ataukah seorang jago pedang tak berperasaan yang membunuh orang bagaikan membabat rumput?"
"Aku adalah seorang manusia yang belajar pedang, bila seseorang ingin belajar pedang, dia harus mempersembahkan tubuhnya untuk pedang, biar matipun tak menyesal."
Kemudian Siau-ko bertanya pula kepadanya: "Bagaimana dengan kau? Mengapa kau membunuh orang? Karena harta? Ataukah karena kau merasa amat gembira sewaktu membunuh orang?"
Lalu setelah mengamatinya lekat-lekat, ia menambahkan: "Tatkala seseorang mengetahui bahwa dirinya mampu memutuskan mati hidup seseorang, apakah diapun akan merasa gembira sekali?"
Tiba-tiba manusia berjubah hitam itu membalikkan badannya, berjalan ke depan meja, menuang arak dari botol kristal, kemudian pelan-pelan meneguknya.
Setelah itu dia baru berkata dengan suara hambar: "Bagiku, hal tersebut sudah bukan terhitung suatu hal yang menggembirakan hati, sayang sekali akupun termasuk manusia seperti kebanyakan orang, akupun dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya tak ingin kulakukan."
"Kali ini apa sebabnya kau membunuh Nyo Kian?"
"Demi Cu Bong, sebab aku telah berhutang selembar nyawa kepadanya."
"Nyawa siapa?"
"Nyawaku sendiri."
"Cu Bong pernah menolongmu?"
"Setiap orang pasti akan mengalami suatu saat yang sial di mana keselamatan jiwanya terancam, tidak terkecuali pula dengan diriku," manusia berbaju hitam itu berkata hambar, "di lain waktu kau pun bisa mengalami saat-saat seperti ini, tapi kau tak akan pernah bisa menduga siapakah yang bakal menolongmu waktu itu, seperti juga sekarang kau pun tak tahu siapa-siapa saja di kemudian hari yang akan mati di tanganmu."
"Bukan mati di tanganku, tapi di ujung pedangku, "Siau-ko menerangkan, "orang yang mati di ujung pedangku semuanya telah persembahkan tubuh mereka untuk pedang seperti juga diriku, bila aku sampai tewas di ujung pedang mereka, akupun tak akan menyesal."
Mendadak manusia berbaju hitam itu mengambil sebilah pedang antik dari atas dinding, lalu ujarnya sambil memandang dingin diri Siau-ko: "Seandainya sekarang juga kubunuh kau dengan mempergunakan pedang ini?"
"Maka aku akan merasa menyesal sekali sebab sampai sekarang aku belum tahu siapakah dirimu."
"Yang kau ketahui sudah amat banyak, sudah sedemikian banyaknya, hingga pantas bila kubunuh dirimu."
"Oya?"
"Kau telah mengetahui kalau akan membunuh Nyo Kian, telah mencuri lihat petiku itu."
"Tapi aku tak berhasil melihat apapun, aku masih belum habis mengerti, mengapa peti tersebut disebut senjata paling menakutkan di dunia ini."
"Kau ingin tahu?"
"Ya, sangat ingin!"
Mendadak manusia berbaju hitam itu meloloskan pedangnya, hawa pedang yang menggidikkan hati segera memancar keluar dari balik senjata tersebut, cahaya pedang yang berkilauan berwarna hijau muda.
"Pedangku ini bernama Lik-liu, benda warisan Ku Tojin dari bukit Pa-san," manusia berbaju hitam itu membelai ujung pedangnya dengan lembut, "dulu, Ku Tojin pernah malang melintang di kolong langit dengan mengandalkan empat puluh sembilan jurus Hui-hong-wu-lin-kiam nya, tidak sedikit jumlah jago-jago pedang kenamaan yang tewas di ujung pedangnya."
Dia melepaskan pedangnya, lalu mengambil sebilah kampak besar dari atas rak.
"Kampak ini adalah kampak yang pernah dipergunakan pendekar sakti dari Hong-san, Bu Leng-ciau. Berat bersih tujuh puluh tiga kati," ia menerangkan, "walaupun jurus serangannya hanya terdiri dari sebelas jurus, namun setiap jurus memiliki daya membunuh yang mengerikan. Konon belum pernah ada jago persilatan yang mampu bertahan tujuh jurus di tangannya."
Di sisi kampak Swan-hoa-hu tersebut merupakan sebilah senjata yang mirip tombak tapi bukan tombak, sebab ujung tombak tersebut bukan berbentuk runcing, melainkan sebilah golok, golok yang digantungkan dengan seutas rantai.
"Thi-lian-hui-lian (Golok terbang rantai besi) membunuh orang bagaikan membabat rumput kering, konon senjata ini berasal dari Tang-ing (Jepang), jurus serangannya sangat hebat dan belum pernah dijumpai di daratan Tiong-goan."
Menyusul kemudian dia menunjuk ke arah sepasang Poan-koan-pit, sepasang garpu Go-bi-ci, sebilah Oh-hau-lan, sebilah pedang berkait, sebilah tombak berkait, sebuah tabung jarum Jit-seng-ciam, sebilah golok lengkung Persia dan sebuah tongkat besar berwarna putih kumala, kemudian menerangkan: "Senjata-senjata tersebut semuanya milik jago-jago lihay masa lampau, setiap senjata memiliki jurus serangan yang khas dan setiap senjata tersebut pernah meraih entah berapa banyak nyawa jago-jago persilatan."
"Yang kutanyakan adalah petimu itu, bukan senjata-senjata lainnya ini," tak tahan Siau-ko berseru.
"Tapi petiku itu justru merupakan intisari daripada senjata-senjata tersebut," kata manusia berbaju hitam itu hambar.
"Aku tidak mengerti," seru Siau-ko, "mengapa di dalam sebuah peti bisa terdapat tiga belas intisari dari senjata-senjata tersebut? Aku lihat isi petimu itu paling-paling hanya pipa besi dan lempengan besi rongsokan belaka."
"Tentu saja rahasia dari peti itu tak akan kau pahami, tapi kaupun harus mengerti, semua persenjataan yang ada di dunia ini sesungguhnya memang terdiri dari rongsokan besi-besi belaka, namun jika semua lempengan besi itu digabungkan menjadi satu, akan terciptalah sebuah senjata hebat."
Ia menjelaskan lebih lanjut: "Sekalipun sebilah golok, harus ada tubuh golok, gagang golok, gelang golok, sarung golok dan lain sebagainya yang tergabung menjadi satu sebelum tercipta menjadi sebilah golok."
Siau-ko seperti agak memahami keterangan tersebut.
"Jadi maksudmu, kau bisa menggabungkan semua lempengan besi yang berada di dalam petimu itu untuk menciptakan sejenis senjata?"
"Bukan sejenis saja, melainkan tiga belas macam senjata, tiga belas macam senjata yang berbeda-beda."
Siau-ko menjadi tertegun.
"Menggunakan tiga belas macam cara yang berbeda untuk menciptakan tiga belas jenis senjata yang berlainan pula, tapi setiap jenis yang terbentuk tidak sama dengan senjata biasa yang sering dilihat, karena setiap macam bentuk senjata paling tidak memiliki kegunaan dari dua-tiga macam senjata," manusia berbaju hitam itu menerangkan lebih jauh, "senjata-senjata tersebut berikut intisari perubahan jurus serangan dari segenap senjata tersebut terdapat di dalam petiku ini."
Ia berpaling dan mengawasi Siau-ko, kemudian menambahkan: "Sekarang, apakah kau sudah mengerti?"
Siau-ko sudah dibuat sama sekali tertegun.
Sekarang ia sudah mengerti, tak heran kalau Nyo Kian dan Im-boan-thian sekalian bertujuh nampaknya seperti tewas di ujung tiga-empat macam senjata yang berbeda, padahal yang turun tangan hanya seorang.
Meskipun dalam hal ini Siau-ko pernah membayangkan, namun ia tak mau mempercayainya seratus persen.
Bila tidak melihat dengan mata kepala sendiri, siapapun tidak akan percaya kalau di dunia ini benar-benar terdapat semacam senjata yang terbentuk dari aneka ragam senjata yang rumit.
Tapi sekarang, mau tak mau Siau-ko harus percaya.
Maka tak tahan lagi dia menghela napas panjang: "Manusia yang sanggup menciptakan senjata semacam ini sudah pasti seorang yang memiliki bakat alam yang luar biasa."
"Benar."
Mendadak di atas wajah manusia berbaju hitam yang dingin dan kaku itu terlintas suatu perubahan mimik wajah yang sangat aneh, seperti seorang penganut sekte agama yang fanatik tiba-tiba membicarakan dewa yang dipujanya.
"Tiada orang yang mampu menandinginya," manusia berbaju hitam itu menerangkan lebih jauh, "ilmu pedangnya, kecerdasan otaknya, jalan pikirannya, kebajikan hatinya serta caranya membuat pedang, boleh dibilang tiada taranya di dunia ini."
"Siapakah dia?"
"Dialah orang yang menciptakan pedang tetesan air mata milikmu itu......"
Sekali lagi Siau-ko menjadi tertegun.
Tiba-tiba saja ia mempunyai suatu perasaan yang sangat aneh , dia merasa di antara dia dan manusia berbaju hitam yang misterius ini seakan-akan memiliki suatu hubungan yang luar biasa.
Perasaan ini segera membuat hatinya terkejut, heran, gembira juga ngeri.
Dia masih ingin tahu lebih banyak lagi tentang peti itu, pedang itu serta manusia dan hal ikhwal dari manusia yang luar biasa itu, dia ingin mengetahui kesemuanya itu lebih banyak lagi.
Tapi manusia berbaju hitam itu seperti tak ingin memberitahukan lebih banyak lagi tentang hal tersebut kepadanya, ia telah mengalihkan pokok pembicaraannya ke masalah lain.
"Peti tersebut memang merupakan hasil karya senjata yang belum pernah ada duanya di dunia ini namun bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk mempergunakannya, bila seseorang tidak memiliki daya kemampuan yang luar biasa untuk mempergunakannya, benda tersebut pun tak akan memperlihatkan daya pengaruhnya."
Sikapnya sewaktu berbicara sama sekali bukan seperti lagi membanggakan diri, tiada pula maksud untuk menonjolkan kemampuannya, dia seperti sedang menuturkan suatu kenyataan belaka.
"Bukan saja orang ini harus menguasai penuh semua perubahan jurus dari ketiga belas macam senjata tersebut, diapun harus memahami bentuk dan cara kerja setiap macam senjata itu, lagi pula dia harus memiliki sepasang mata yang cekatan, dengan begitu dia baru dapat menyusun semua lempengan besi yang berada di dalam peti tersebut dalam waktu singkat.
Setelah berhenti sebentar, manusia berbaju hitam itu berkata lebih jauh: "Selain daripada itu, dia juga harus mempunyai pengalaman yang luas, reaksi yang cekatan dan keputusan yang tepat."
"Mengapa?"
"Sebab musuh yang berbeda akan menyebabkan senjata dan jurus serangan yang digunakanpun berbeda, maka di dalam waktu yang paling singkat, kau harus dapat memutuskan bentuk senjata apakah yang bisa menandingi dan menguasai lawanmu itu," kata manusia berbaju hitam tersebut, "dan sebelum lawan mulai turun tangan, kaupun harus memperhitungkan secara tepat, dengan berapa jenis benda-kah kau mesti membentuk senjata yang kau harapkan itu? Bahkan senjata itu harus sudah selesai dirakit sebelum pihak lawan mulai menyerang, asal kau terlambat untuk bertindak di sana, maka nyawamu akan hilang di ujung tangan lawan."
Siau-ko tertawa getir.
"Kelihatannya kejadian semacam ini sudah bukan termasuk pekerjaan yang mudah lagi, untuk mencari manusia semacam ini di kolong langit, mungkin tak akan dijumpai beberapa orang."
Dengan pandangan yang amat tenang, manusia berbaju hitam itu mengawasi lawannya, lewat lama kemudian ia baru berkata dingin: "Untuk membuka petiku itupun sudah bukan suatu pekerjaan mudah, tapi kau berhasil membukanya dengan cepat, tanganmu sudah cukup trampil."
"Ya, agaknya memang begitu."
"Ilmu silatmu sudah mempunyai dasar yang cukup kuat, bahkan ilmu yang kau latih seperti pelajaran rahasia dari negeri Thian-tok (India), seperti ilmu Yoga dari puncak Himalaya."
"Agaknya memang begitu."
"Si kakek yang mewariskan pedang tetesan air mata kepadamu, sesungguhnya memang mempunyai sedikit hubungan dengan petiku ini," manusia berbaju hitam itu berkata hambar, "oleh sebab itu hingga kini kau belum mati."
"Apakah sebetulnya kau hendak membunuhku?" tanya Siau-ko, "mengapa kau tidak turun tangan?"
"Sebab aku hendak menahanmu di sini, aku ingin kau mewarisi ilmu silatku, mewarisi petiku ini dan mewarisi segenap yang ada di tempat ini."
Apa yang diucapkan barusan sesungguhnya merupakan suatu keberuntungan yang mimpipun tak pernah di sangka oleh orang lain.
Harta karun yang tiada taranya.
Ilmu silat yang maha dahsyat.
Senjata yang paling menakutkan di kolong langit.
Seorang pemuda yang tidak memiliki segala-galanya, tiba-tiba saja akan memperoleh segala sesuatunya, kehidupannya bakal berubah di dalam waktu sekejap mata.
Bagaimana perasaan si anak muda ini?
Siau-ko sama sekali tidak memberikan sedikit reaksipun, seakan-akan sedang mendengarkan suatu kisah cerita yang sama sekali tiada hubungan dengan dirinya.
Kembali manusia berbaju hitam itu berkata: "Satu-satunya pra-syarat yang kuinginkan adalah sebelum kau berhasil mempelajari seluruh ilmu silat yang kumiliki, dilarang untuk meninggalkan tempat ini barang selangkahpun."
Syarat semacam ini tak terhitung muluk, lagi pula memang amat beralasan.
"Sayang sekali kau lupa menanyakan satu hal kepadaku," ujar Siau-ko mendadak, "kau lupa bertanya kepadaku, apakah aku bersedia tinggal di sini atau tidak?"
Padahal persoalan seperti ini tak perlu ditanyakan, hanya orang tolol atau orang gila saja yang akan menampik syarat seperti ini.
Siau-ko bukan orang gila, diapun bukan orang tolol.
Oleh sebab itu si manusia berbaju hitam itu bertanya sekali lagi: "Kau bersedia tidak?"
"Aku tidak bersedia!" jawab Siau-ko tanpa berpikir panjang, "akupun tak tertarik."
Mendadak kelopak mata manusia berbaju hitam itu mengerut kencang. Drai kelopak mata seorang manusia biasa berubah menjadi tajam bagaikan ujung jarum, seperti mata sebilah pedang, antup seekor lebah yang langsung menembusi sepasang mata Siau-ko.
Sepasang mata Siau-ko sama sekali tidak berkedip.
Lewat beberapa saat kemudian manusia berbaju hitam itu baru bertanya: "Mengapa kau tidak bersedia?"
"Sesungguhnya bukan disebabkan apa-apa," kata Siau-ko, "mungkin disebabkan tempat ini kelewat sesak, sedangkan aku sudah terbiasa melewati kehidupan di alam bebas."
Ditatapnya manusia yang misterius dan menakutkan itu lekat-lekat, kemudian terusnya lagi dengan suara hambar: "Mungkin hal ini disebabkan aku tak ingin menjadi seorang manusia seperti kau."
"Kau tahu, manusia macam apakah diriku ini?"
"Aku tidak tahu, tapi aku tetap merasa bahwa kau seperti selalu hidup di balik bayangan hitam, entah kau muncul dengan bentuk wajah macam apapun, kau selalu seolah-olah muncul dari balik bayangan hitam."
Setelah menghela napas, terusnya: "Walau kau memiliki harta kekayaan yang melebihi satu negeri, ilmu silat yang tiada taranya di dunia ini, tapi ada kalanya aku merasa bahwa kehidupanmu seperti tidak segembira diriku, bahkan ada kalanya aku merasa simpatik dan kasihan kepadamu."
Manusia berbaju hitam itu memandang ke arahnya, cahaya tajam yang mencorong keluar dari balik matanya tiba-tiba saja membuyar, membuyar hingga tinggal segumpal bayangan cahaya belaka, membuyar jadi kosong dan tak ada apa-apa.
"Setiap orang berhak untuk memilih serta menentukan gaya hidupnya sendiri, begitu pula dengan aku, memiliki hak untuk menetapkan gaya hidupku," kata Siau-ko lantang, "aku ingin hidup bebas di bawah timpaan cahaya matahari, sekalipun aku ingin membunuh orang, akupun akan menantangnya secara terang-terangan, mengajaknya melangsungkan suatu pertarungan yang seadil-adilnya."
Mendadak manusia berbaju hitam itu tertawa dingin.
"Kau anggap Suma Cau-kun benar-benar akan melangsungkan duel satu lawan satu yang adil denganmu?"
"Ku tantang dia secara terang-terangan dan terbuka, kita bertarung satu lawan satu, siapa bilang hal ini tidak adil?"
"Sekarang, tentu saja kau tak akan mengerti," sekali lagi manusia berbaju hitam itu menghela napas panjang, "bila kau sudah memahaminya nanti, mungkin keadaan sudah terlambat."
"Entah bagaimanapun juga, aku tetap akan menghadirinya," kata Siau-ko tegas-tegas, "sekarang perutku laparnya setengah mati, aku hanya berharap kau suka mengundangku makan sampai kenyang, kemudian mengijinkan aku pergi."
Dengan wajah gembira, dia berkata lebih jauh: "Aku dapat melihat bahwa kau bukan seorang yang kecil hati, permintaanku ini tentunya belum terhitung keterlaluan bukan?"
"Memang tidak terhitung keterlaluan," ujar manusia berbaju hitam itu dingin, "cuma sayang kaupun lupa menyakan satu hal kepadaku"
"Soal apa?"
"Orang yang sudah sampai di sini, selamanya tak ada yang bisa keluar lagi dalam keadaan hidup."
"Aku percaya dengan perkataanmu itu," kata Siau-ko sambil tertawa, "untung saja dalam setiap masalah, tentu ada pengecualiannya, bukan?"
Kemudian sambil tertawa lebih riang dia meneruskan: "Aku percaya kau pasti akan memberikan pengecualian bagiku untuk kali ini saja."
"Mengapa aku harus memberi pengecualian kepadamu?"
"Karena kita bersahabat, bukan bermusuhan, akupun belum pernah menyalahi dirimu."
"Kau keliru, kau bukan sahabatku, kau masih belum pantas untuk menjadi sahabatku."
Tiba-tiba dari balik sinar matanya memancar keluar bayangan cahaya yang sangat aneh.
"Seandainya aku bersedia memberi pengecualian kepadamu, hal ini hanya disebabkan satu alasan saja."
"Apa alasanmu?"
"Karena aku simpatik dan kasihan kepadamu."
Bayangan cahaya yang memancar ke luar dari balik matanya seolah-olah berubah kembali menjadi suatu ejekan yang sinis, dingin dan tak sedap dipandang.
"Di dalam dunia ini hanya ada orang membenciku, takut kepadaku, belum pernah ada orang menaruh rasa kasihan kepadaku, justru karena hal ini, tak ada salahnya kalau kau kuberi satu kesempatan bagimu."
"Kesempatan yang bagaimana?"
Manusia berbaju hitam itu bangkit berdiri dan mengambil dua botol kristal dari meja, kemudian menyuruh Siau-ko untuk memilih sebotol di antaranya.
"Mengapa aku harus memilih?" tanya Siau-ko, "kedua botol arak ini seperti sama bentuknya, bahkan bentuk dan coraknyapun tidak berbeda."
"Hanya ada satu hal yang berbeda."
"Soal apa?"
"Dari kedua botol arak ini ada sebuah diantaranya merupakan arak beracun, arak beracun yang bisa menembusi usus dan merenggut nyawa."
Sesungguhnya dari antara kedua botol arak tersebut masih ada satu hal yang berbeda, salah satu botol itu berisi jauh lebih sedikit daripada botol arak yang lain.
Karena isi arak di dalam botol itu sudah dituang sedikit oleh manusia berbaju hitam itu, bahkan sudah diteguknya.
Buktinya hingga sekarang dia masih hidup.
Dalam hal ini Siau-ko seharusnya dapat mengetahui dengan jelas, tapi dalam kenyataan, dia justru memilih botol yang lain.
Dengan pandangan dingin, manusia berbaju hitam itu memandang ke arahnya, kemudian menegur dingin: "Pilihanmu sudah benar?"
"Sudah! Bahkan pilihan tak bakal berubah lagi."
"Sudahkah kau lihat arak dari botol manakah yang telah kuteguk tadi?"
"Aku dapat melihat dengan jelas."
"Tahukah kau arak dari botol yang manakah telah kueguk?"
"Aku tahu."
"Mengapa kau tidak memilih botol arak yang telah kuminum tadi?"
"Karena aku masih belum ingin mampus."
Siau-ko tertawa, tertawa dengan lebih riang, lanjutnya: "Kau tahu, aku toh bukan orang buta, juga tidak terhitung kelewat bodoh, tentu saja aku dapat melihat botol arak yang manakah telah kau teguk tadi, namun dalam kenyataannya, kau tetap menyuruh aku memilih, sebab sebagian besar orang, apalagi di dalam keadaan seperti ini, tentu akan memilih botol arak yang telah kau teguk isinya tadi."
Apa yang dikatakan memang merupakan suatu kenyataan.
"Untung saja aku tidak termasuk kebanyakan orang itu, kaupun tak bakal menganggap aku seperti manusia-manusia tersebut," ujar Siau-ko lebih jauh, "bila arak yang kau teguk tadi benar-benar tak ada racunnya, mustahil kau akan mempergunakan cara ini untuk mencoba diriku."
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan: "Bila kau ingin menghadapiku, gunakanlah cara yang lebih sukar dan pelik."
"Padahal memilih dalam keadaan seperti ini bukanlah suatu pekerjaan yang sangat mudah."
Ada sementara orang, meski cerdik dan bisa berpikir kalau arak beracun yang dimaksudkan bisa jadi adalah arak yang berasal dari botol arak yang telah diteguk manusia berbaju hitam tadi, belum tentu dia memiliki keberanian untuk memilih botol arak yang lain.
"Arak beracun itu milikmu, tentu saja kau memiliki obat penawarnya, sekalipun kau habiskan delapan sampai sepuluh botolpun tak akan menjadi masalah, tapi bagiku....... setetespun sudah berabe, apalagi sebotol?"
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia meneruskan: "Itulah sebabnya aku terpaksa memilih botol yang ini saja."
Dengan mempergunakan sorot mata yang aneh, manusia berbaju hitam itu mengawasi wajah Siau-ko, kemudian dengan suara yang aneh pula, dia bertanya: "Bila kau salah memilih?"
"Maka biarkan saja aku mampus."
Seusai mengucapkan perkataan tersebut, Siau-ko segera meneguk habis isi arak dalam botol yang dipilihnya itu.
Kemudian diapun roboh ke atas tanah.

Pedang Tetesan Air Mata (Khu Lung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang