Bagian 4

1.9K 20 1
                                    

Suasana dalam ruangan kamar telah lama menjadi gelap, tapi Tiap-wu membiarkan kamarnya tetap gelap gulita, sebab dia memang tak senang memasang lampu.
Apakah dia kuatir dirinya menjadi kunang-kunang yang akan menubruk ke api?
Di tengah tungku pemanas tampak percikan cahaya api, Tiap-wu berdiri di tepi tungku pemanas itu dan pelan-pelan melepaskan pakaian yang dikenakannya.
Tubuhnya yang bugil tampak berwarna putih bersih, putih dan halus bagaikan batu pualam.
Tiba-tiba pintu didorong orang.
Tiap-wu tahu ada orang memasuki kamarnya, tapi ia tidak berpaling, sebab selain Cho Tang-lay, tiada orang yang berani memasuki kamar ini.
Ia membungkukkan badan, lalu mulai membelai kaki sendiri yang indah.
Bukan orang lain saja, bahkan dia sendiripun dapat merasakan daya rangsang yang begitu kuat terpancar keluar dari atas kakinya itu.
Tiada orang yang bisa melawan daya rangsang yang amat hebat itu, selamanya tak pernah ada.
Itulah sebabnya dia keheranan, dia heran Cho Tang-lay hanya berdiri saja sambil memandangnya, berdiri semenjak tadi tanpa menunjukkan sesuatu reaksipun.
Pakaiannya yang tipis kini sudah terlepas semua dari tubuhnya, kini dia berada dalam keadaan bugil, tanpa sehelai benangpun yang menempel di tubuhnya.
Di bawah sinar rembulan yang memancar ke dalam ruangan, tubuhnya nampak lebih indah dan merangsang nafsu berahi.
Tapi Cho Tang-lay masih tetap berdiri tegak di belakangnya, tanpa melakukan sesuatu reaksi.
Akhirnya Tiap-wu tidak tahan lagi, dengan cepat dia berpaling, namun sekuntum bunga yang baru dipegangnya segera terjatuh ke atas tanah karena kaget.
Ternyata yang masuk ke dalam kamarnya bukan Cho Tang-lay seperti apa yang ia duga semula.
Sewaktu berpaling, dia segera menyaksikan seorang pemuda berwajah pucat telah berdiri di hadapannya sambil memandang tak berkedip ke arahnya.
Dengan cepat Tiap-wu dapat menguasai keadaan, dia bisa memulihkan kembali ketenangannya.
Benar-benar tak pernah disangka olehnya selain Cho Tang-lay masih ada orang lain yang berani memasuki ruangan ini, tapi dia memang sudah terbiasa dilihat orang.
Satu-satunya yang membuat dia merasa tidak terbiasa adalah sorot mata pemuda itu, dia merasa sorot matanya jauh berbeda dengan kebanyakan orang.
Di kala orang lain menyaksikan tubuhnya yang bugil dan kakinya yang indah, sorot matanya seolah-olah memancarkan cahaya api yang berkobar-kobar.
Tapi sorot mata pemuda ini justru dingin, sedingin salju dan setajam sembilu.
Cara Cho Kim memandang Tiap-wu bagaikan dia memandang segumpal es atau sebilah mata golok.
Tiap-wu balas memandang ke arahnya, memandang sampai lama, lama sekali, namun ia masih belum menemukan setitik perubahan pun pada wajah si anak muda tersebut.
"Siapakah kau?" tak tahan Tiap-wu bertanya, "dapatkah kau memberitahukan kepadaku, siapakah kau?"
"Cho Kim, aku bernama Cho Kim."
"Manusiakah kau? Benarkah kau manusia yang terdiri dari darah dan daging?"
"Ya, benar! Aku adalah manusia yang punya darah dan daging....."
"Kau bukan orang buta?"
"Bukan!"
"Kau dapat melihatku?"
"Tentu saja, setiap bagian tubuhmu yang paling rahasiapun sudah kulihat dengan amat jelas."
Suaranya dingin dan kaku, namun cukup sopan, bahkan tidak terpengaruh emosi, tiada kedengaran nada suara yang terpengaruh oleh nafsu birahi atau nada lain.
Apa yang dia ucapkan, seakan-akan hanya menuturkan suatu kenyataan belaka.
Tiap-wu segera tertawa, dibalik suara tertawanya terkandung helaan napas, tanyanya kemudian keheranan: "Apakah kau tak pernah berbohong?"
"Ada kalanya aku bisa berbohong, ada kalanya tidak. Bilamana tidak diharuskan untuk berbohong, aku selalu berbicara sejujurnya."
"Sekarang, apakah kau merasa perlu untuk berbohong?"
"Sama sekali tidak."

Sekali lagi Tiap-wu menghela napas panjang.

"Tadi kau bilang setiap bagian tubuhku yang paling rahasiapun sudah kau saksikan dengan jelas, apakah kau tidak kuatir lo-cho akan mengorek keluar sepasang biji matamu?"

Cho Kim memandang ke arahnya dengan tenang, lewat lama kemudian sepatah demi sepatah dia baru berkata: "Sekarang, dia sudah tak akan berbuat demikian lagi."
Tiap-wu seperti tidak memberikan reaksi apapun, padahal dia sudah memahami arti dari perkataannya itu.
"Sekarang dia tidak akan berbuat demikian lagi, apakah hal ini dikarenakan dia telah menyerahkan diriku untukmu?" tanyanya kepada Cho Kim.
Cho Kim segera menggeleng.
"Bukan kau? Tapi orang lain?" desak Tiap-wu lebih jauh.
Cho Kim segera terbungkam.
"Dia memang benar-benar sosial," suara Tiap-wu kedengarannya penuh ajakan yang sinis, "setiap lelaki yang pernah tidur denganku, tak seorangpun bisa melepaskan aku pergi dengan begitu saja."
Lalu setelah menghela napas, terusnya: "Kejadian ini benar-benar pantas disayangkan."
"Disayangkan?"
"Aku merasa sayang bagimu," ucap Tiap-wu sambil menatap pemuda tersebut lekat-lekat, "kau masih muda, kaupun seorang lelaki yang tampan, aku selalu menyukai lelaki tampan seperti kau, kalian seperti tak pernah akan menjadi lelah."
Biji matanya yang jeli makin meredup dan sayu, bibirnya makin lama semakin basah dan dia pelan-pelan berjalan mendekat, lalu menempelkan tubuhnya yang bugil dan hangat itu di atas badan Cho Kim.
Menyusul kemudian pinggangnya meliuk-liuk seperti seekor ular, rintihan lirih yang merangsang bergema dari bibirnya.
Menghadapi rangsangan seperti ini, ternyata Cho Kim tidak memberikan reaksi apapun.
Tiap-wu mulai terengah-engah, tangannya mulai meraba kian ke bawah seperti lagi mencari sesuatu, tapi sebelum 'benda' tersebut teraba, sebuah tangan yang kuat telah mencengkeram tangannya, lalu tubuhnyapun terasa dilemparkan ke udara.
Bagaikan melempar sebuah bola saja, Cho Kim melemparkan tubuh Tiap-wu ke atas pembaringan, lalu dengan suara dingin dia berkata: "Kau boleh saja mempergunakan berbagai cara untuk menyiksa diri, memperolok diri sendiri, terserah cara apapun yang hendak kau pergunakan, tapi tak akan kulakukan untuk diriku sendiri."
"Kau tak bisa melakukannya?" Tiap-wu tertawa lagi, tertawa keras seperti orang kalap, "kau bukan lelaki rupanya?"
"Percuma saja bila kau ingin memanasi hatiku dengan cara begitu, tak nanti aku akan menyentuhmu."
"Mengapa?"
"Sebab akupun seorang lelaki, aku tak ingin setiap malam terbayang kembali gerakan erotikmu ketika tertindih di bawah untuk menyiksa diri sendiri."
"Asalkan kau bersedia, setiap malam kau boleh memelukku dan mengajakku tidur bersama."
Cho Kim segera tersenyum, senyumannya bagaikan terukir dari batu karang yang paling keras.
'Akupun pernah berpikir demikian, sayang sekali akupun tahu bagaimanakah akibat dari lelaki-lelaki yang setiap hari memelukmu dan mengajakmu tidur bersama."
Tiap-wu tak bisa tertawa lagi setelah mendengar perkataan tersebut, tiba-tiba saja sorot matanya menampilkan perasaan sedih yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
"Ucapanmu memang benar," dia berkata sedih, "orang-orang yang setiap malam ingin memelukku dan mengajakku tidur bersama itu kalau belum terhitung mati, mereka pasti akan merasakan siksaan hidup yang paling berat."
Makin berbicara suaranya kedengaran makin menderita dan parau: "Untung saja orang-orang itu kalau bukan telur busuk tentu orang tolol, terlepas mereka mau menderita secara bagaimanapun bukan urusanku."
"Bagaimana dengan Cu Bong?" tiba-tiba Cho Kim bertanya, "Cu Bong termasuk telur busuk ataukah tolol?"
Tiap-wu segera bangkit berdiri memandang kerdipan api di tengah tungku pemanas, dia termangu, lama, lama kemudian tiba-tiba saja dia tertawa dingin.
"Kau anggap Cu Bong masih teringat diriku? Kau anggap Cu Bong akan bersedih hati karena aku?"
"Apakah dia tak akan berbuat demikian?"
"Pada hakekatnya dia bukan manusia," suara Tiap-wu penuh dengan perasaan dendam, "dia tak jauh berbeda dengan Cho Tang-lay."
"Apakah dia sama sekali tak acuh kepadamu?"
"Apa yang dia acuhkan?" teriak Tiap-wu, "dia hanya mengacuhkan nama besarnya, kedudukannya, kekuasaannya. Biarpun aku mampus di hadapan mukanya, tak nanti dia akan melelehkan air mata."
"Sungguh?"
"Di dalam anggapannya aku bukan manusia, aku tak lebih hanya sebuah alat pemuas nafsunya. Seperti boneka milik si upik, bila sedang senang diapun mempermainkan aku, bila sudah jemu, akupun dicampakkan ke samping, ada kalanya sampai berhari-hari lamanya dia tidak mengajakku berbicara, walau hanya sepatah katapun."
"Justru dia bersikap demikian kepadamu, maka kau baru memanfaatkan kesempatan di saat kami menyerbu Hiong-say-tong untuk melarikan diri?"
"Akupun manusia, adakah manusia yang rela dianggap sebagai alat pemuas nafsu oleh orang lain?" tanya Tiap-wu, "pasti tidak ada!"
"Tapi pernahkah kau bayangkan, mungkin kau telah salah menilai dirinya?" ucap Cho Kim hambar.
"Dalam hal mana aku salah menilai?"
"Bagi seorang lelaki seperti dia, biarpun dalam hati kecilnya amat menyukai seseorang, belum tentu perasaan tersebut diutarakan keluar, aku tahu ada banyak orang yang enggan mengutarakan perasaan sendiri, terutama terhadap perempuan yang disukainya."
"Mengapa?"
"Mungkin hal ini disebabkan mereka beranggapan, jikalau menunjukkan sikap romantis seperti ini di hadapan kaum wanita, perbuatan itu akan mengurangi kejantanannya sebagai seorang lelaki sejati, mungkin juga hal ini dikarenakan mereka pada hakekatnya tidak mengerti untuk apa berbuat demikian."
"Cu Bong bukan manusia macam begini," Tiap-wu berkata dengan suara tandas, "siapapun tak ada yang menangkan dia, di dalam hal begini dia lebih mengerti daripada orang lain, lebih pandai melakukannya daripada orang lain."
"Oya?"
"Bila dia suka terhadap seseorang, perbuatan yang dia lakukan akan jauh lebih bagus ketimbang siapapun, kadangkala aku sendiripun sampai dibikin jemu oleh cara kerjanya bagi orang lain."
"Tapi kau bukan orang lain, kau berbeda sekali dengan orang-orang lain."
"Mengapa berbeda?"
"Sebab kau adalah perempuannya, mungkin dia beranggapan kau seharusnya mengerti bahwa sikapnya terhadap dirimu jauh berbeda dengan orang lain."
"Aku tidak mengerti, bila seorang lelaki benar-benar menyukai seorang wanita, semestinya ia tunjukkan perasaan tersebut kepadanya."
"Mungkin hal ini dikarenakan kau belum dapat memahami dirinya."
"Aku belum memahaminya?", sekali lagi Tiap-wu tertawa dingin, "aku sudah dipeluk dan ditiduri selama tiga empat tahun olehnya, masa aku belum memahaminya?"
Sekali lagi sekulum senyuman kaku menghiasi wajah Cho Kim.
"Tentu saja kau sangat memahaminya, lagi pula pasti jauh lebih memahami daripada kami semua."
Malam telah menjelang tiba, suasana dalam kamar diliputi keheningan.
Lama kemudian Tiap-wu baru menghela napas panjang.
"Apa yang kuucapkan hari ini, apakah sudah terlalu banyak?"
"Benar!" sahut Cho Kim, "maka sekarang kita harus berangkat, aku memang bermaksud membawamu pergi."
"Kau hendak membawaku kemana?"
"Apakah kau lupa?" sepatah demi sepatah Cho Kim berkata, "kau toh sudah menyanggupi permintaan Cho sianseng untuk menari baginya malam ini."

Pedang Tetesan Air Mata (Khu Lung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang