Bagian 5

1.6K 22 2
                                    

Dari kejauhan sana, terdengar suara kentongan dibunyikan, kentongan ketiga.
Suma Cau-ku masih ingat, baru saja ia mendengar suara kentongan baru dibunyikan, baru kentongan kedua.

Biarpun waktu itu dia sudah minum arak, paling banter baru tujuh delapan kati yang diteguknya, rasa mabuk betul sudah menguasainya, namun dia bersumpah tak bakal salah mendengar.

Diapun masih teringat, waktu itu dia sedang minum arak di sebuah kedai arak, selain dia, di meja lain masih terdapat serombongan tamu, semuanya terdiri dari pemuda berumur delapan sembilan belas tahunan. Sambil merangkul lima enam orang perempuan yang usianya satu kali lipat lebih tua dari usia mereka, orang-orang itu sedang mengibul dengan kerasnya.
Yang mereka kibulkan adalah Suma Cau-kun. Setiap orang menyanjung Suma Cau-kun sebagai seorang jagoan yang tiada taranya di dunia ini, bahkan semuanya mengaku pernah berhubungan dengannya.

Yang sedang mengibul senang, yang mendengarpun turut senang. Tapi hanya seorang yang merasa tak senang ataupun gembira, orang itu tak lain adalah Suma Cau-kun sendiri.
Oleh sebab itu diapun minum arak dengan sekuat tenaga.
Diapun masih teringat dengan jelas, di saat orang lain sedang mengibul dengan penuh kegembiraan, mendadak dia bangkit berdiri sambil menggebrak meja, kemudian mencaci maki kalang-kabut.
"Suma Cau-kun itu manusia macam apa? Pada hakekatnya dia bukan manusia, sesenpun tak lalu, dengan kentut pun lebih bau!"
Makin mengumpat, dia makin gembira, tapi yang mendengarkan justru semakin tak senang. Kemudian ada orang yang membalikkan meja, belasan pemuda itupun menyerbu bersama.
Dia seperti teringat seorang di antara mereka kena dijotos olehnya sampai hancur tulang hidungnya.

Semua kejadian ini dapat diingat oleh Suma Cau-kun dengan jelas, lebih jelas daripada seorang bocah yang menghapalkan pelajaran.
Bahkan diapun masih ingat ada seorang perempuan bergincu yang bertampang mirip sekali dengan binatang yang bisa memanjat pohon, segera melepaskan sepatu kayunya dan diketukkan ke atas kepalanya.

Tapi kejadian selanjutnya sudah tidak teringat lagi olehnya.
Waktu itu dia jelas mendengar baru kentongan ke dua, tapi sekarang sudah kentongan ke tiga.
Kalau waktu itu dia masih duduk minum arak di kedai arak, maka sekarang dia berbaring di tepi pohon Yang-liu dengan beratapkan langit.
Kepalanya terasa pusing tujuh keliling, kerongkongannya seperti cerobong asap dan sekujur badannya semua linu, sakitnya bukan kepalang, seperti baru saja dipermak habis-habisan.
Apakah sepatu kayu si perempuan gemuk itu sudah dihantamkan ke atas kepalanya?
Bagaimana ceritanya sehingga ia sampai di sini?
Selama ia tak sadarkan diri, apa gerangan yang telah terjadi? Suma Cau-kun sama sekali tak dapat mengingatnya kembali.
Dalam saat-saat tersebut, benaknya seolah-olah berubah menjadi kosong melompong, bagikan buku yang dirobek-robek orang.
Tatkala Suma Cau-kun berusaha untuk meronta bangun, dia baru sadar bahwa disampingnya masih berdiri seseorang yang lain. Orang itu sedang memandang aneh ke arahnya, seolah-olah sedang bertanya kepadanya.
"Benarkah kau adalah Suma Cau-kun yang tiada tandingannya di kolong langit? Mengapa tampangmu berubah menjadi begini rupa?"
Suma Cau-kun segera bertekad untuk tidak menggubrisnya, bertekad untuk berlagak seolah-olah tidak melihat orang ini.
Sayangnya orang itu justru bertekad hendak memperlihatkan diri kepadanya, bukan hanya segera menghampirinya, bahkan merangkul pula lengannya.
Kalau tadinya ia sudah berusaha dengan sepenuh tenagapun belum dapat berdiri, maka sekarang ia dapat berdiri dengan segera, lagi pula berdiri tegak.
Orang itu tidak melepaskannya dengan begitu saja, dengan sorot mata kasihan dan iba kembali katanya: "Lo-cong, kau mabuk, biar aku membimbingmu."
Kemudian ia memperkenalkan diri.
"Aku adalah A-keng. Lo-cong, masa kau sudah tidak mengenal A-keng lagi?"
"A-keng?"
Sebuah nama yang amat dikenalnya. Hanya orang yang mendampinginya semasa dia baru terjun ke dunia persilatan baru memanggilnya sebagai 'Lo-cong'.

Mendadak Suma Cau-kun menepuk bahu orang itu keras-keras dan menggenggam lengannya kencang-kencang sambil tertawa tergelak.
"Bagus sekali! Hei anak muda, kemana kau bersembunyi selama ini? Sudah mendapat bini? Tidak kau gadaikan binimu, bukan?"
A-keng turut tertawa, dari balik matanya seolah-olah tampak air matanya jatuh bercucuran.
"Sungguh tak disangka Lo-cong masih teringat dengan aku si setan judi. Masih teringat dengan manusia yang tak becus macam diriku ini."
"Kau adalah setan judi, aku adalah setan arak, keduanya sama-sama tak berguna," ia menarik A-keng lalu meneruskan, "ayo jalan, kita mencari tempat untuk minum arak."
"Lo-cong kau tak boleh minum lagi," cegah A-keng, "seandainya kau tidak menghabiskan setengah guci arak yang terakhir tadi, kawanan cecunguk itu tak akan bisa mengusik seujung rambutmu."

Pedang Tetesan Air Mata (Khu Lung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang