Hutan yang lebat kini berubah menjadi pepohonan yang gundul karena tertimbun salju, batu-batu karang yang hitam berkilat justru mencuat di sana-sini.
Seonggokan api unggun berkobar di depan batu karang, dan seseorang berdiri di atas batu karang itu.Orang itu bertubuh kurus kering hingga tinggal kulit pembungkus tulang, seperti seekor burung pemakan bangkai yang sudah lama tidak menikmati daging bangkai.
Kobaran api unggun berkilauan memancarkan cahayanya dan menyinari raut wajahnya yang kurus.
Itulah selembar wajah lebar yang putus asa dan penuh diliputi kesedihan, alis matanya yang tebal berkerut kencang, sepasang matanya yang lebar dan lesu tak bercahaya tersembunyi di balik kelopak matanya yang cekung.
Tanpa bergerak dia mengamati cahaya api dihadapannya, seolah-olah sedang menantikan munculnya suatu keajaiban dari balik kobaran api itu.
Orang itu tentunya bukan Cu Bong.
Cu Bong si Singa Jantan tak mungkin akan berubah menjadi begini rupa.
Selama ini si Singa Jantan Cu Bong adalah seorang lelaki sejati, seorang lelaki sejati yang tak akan bisa dirobohkan oleh siapa saja.
Tapi si Sepatu Paku justru menyembah di hadapan orang itu sambil berseru: "Lapor Tongcu, orang yang ingin Tongcu jumpai telah datang."
Siau-ko tidak mengucurkan air mata.
Biarpun air matanya sudah berkumpul dalam kelopak matanya dalam jumlah yang banyak serta setiap saat hendak mengalir keluar, namun ia tidak membiarkan air mata tersebut jatuh bercucuran.
Ia sudah banyak tahun tak pernah mengucurkan air mata.
Kini, Cu Bong telah mendongakkan kepalanya dan memandang wajahnya dengan pandangan kosong, seolah-olah dia sudah tidak mengenal lagi orang yang kini berdiri dihadapannya.
Pelan-pelan Siau-ko menundukkan kepala.
Baru sekarang dia mengerti, apa sebabnya dari balik sorot mata si Sepatu Paku bisa terpancar sinar putus asa dan kepedihan yang luar biasa, tapi diapun tidak habis mengerti, lelaki sejati yang pernah membunuh orang tanpa berkedip sewaktu di luar kota Ang-hoa-ki tempo hari, mengapa bisa dirobohkan orang dengan begitu mudah?
"Siau-ko, Ko Cian-hui?"
Tiba-tiba Cu Bong berteriak keras dan melompat turun dari atas batu karang, berlarian untuk memeluk tubuh Siau-ko.
Dalam sekejap mata itulah, dia seakan-akan sudah memperoleh kembali semangat untuk hidup.
"Aku sudah tahu kau pasti akan kemari, ternyata kau benar-benar telah datang kemari."
Ia memeluk Siau-ko sekencang-kencangnya, menempelkan wajah sendiri ke wajah Siau-ko.
Kemudian dia tertawa sekeras-kerasnya persis seperti gelak tertawanya setelah berhasil memenggal batok kepala manusia di luar kota Ang-hoa-ki tempo hari.
Tapi Siau-ko segera merasakan wajah sendiri menjadi basah, basah oleh air mata.
Entah air mata siapakah itu? Mungkin dia, mungkin ia sendiri?
Si Sepatu Paku sedang memanasi arak di atas api unggun dengan mempergunakan sebatang tombak besi, angin dingin berhembus amat kencang membuat pohon cemara bergoyang kian kemari, arak tersebut belum juga mendidih.
Tapi darah yang mengalir di dalam tubuh Siau-ko kini sudah mulai mendidih.
"Cho Tang-lay, si bajingan keparat anak jadah ini memang seorang tokoh yang hebat," Cu Bong mulai berbicara, "biarpun dia telah mengobrak-abrik sarangku, mau tak mau aku harus merasa kagum kepadanya."
Setelah arak masuk perut, semangat dan kejantanannya makin lama semakin tumbuh kembali, terusnya: "Tapi kagum tinggal kagum, cepat atau lambat suatu hari Locu pasti akan memenggal batok kepalanya untuk kujadikan poci arak."
Siau-ko menatap ke arahnya, memandang wajahnya hingga lama sekali, tiba-tiba dia bertanya: "Mengapa kau belum pergi juga?"
Tiba-tiba Cu Bong bangkit berdiri, tapi pelan-pelan duduk kembali, perasaan sedih, kecewa dan putus asa sekali lagi muncul di atas wajahnya.
"Sekarang aku belum boleh pergi," kata Cu Bong lirih, "bila aku pergi saat ini, dia sudah pasti akan mati."
"Siapakah dia? Apakah seorang wanita?"
Cu Bong menggelengkan kepalanya dengan mulut tetap membungkam, arakpun cawan demi cawan diteguk ke dalam perutnya.
"Kau belum juga pergi membunuh Coa Tiong, apakah juga dikarenakan dia?" kembali Siau-ko bertanya.
Sekali lagi Cu Bong menggeleng, lewat lama kemudian dengan menggunakan semacam suara yang parau seperti mangkuk pecah, dia balik bertanya kepada Siau-ko: "Tahukah kau si anak jadah peliharaan lonte busuk itu, telah membawa pergi berapa banyak orangku?"
"Berapa banyak yang telah dia bawa pergi?"
"Semuanya!"
"Semuanya?" Siau-ko amat terkejut, "apakah segenap anggota Hiong-say-tong telah pergi mengikutinya?"
"Selain si Sepatu Paku seorang, hampir semuanya telah berpihak kepadanya," ucap Cu Bong, "selama beberapa tahun ini, Coa Tiong selalu membantuku dalam kepengurusan keuangan, segenap harta dan pemasukan maupun pengeluaran dari Hiong-say-tong dipegang olehnya. Belum pernah aku turut campur dalam soal keuangan tersebut."
"Maka kau lantas berpendapat tak ada gunanya pergi mencarinya, sebab orangnya jauh lebih banyak daripada orangmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pedang Tetesan Air Mata (Khu Lung)
General FictionSewaktu pedang ini keluar dari tempaan, telah terlihat hawa pembunuh yang ganas. Berkas cahaya buas berfirasat buruk. Tanpa terasa air matanya jatuh membasahi pedang, membentuk sebuah bekas tetesan air mata pada tubuh pedang itu. Pedang terkutuk yan...