Bagian 6 (Tamat)

1.1K 25 2
                                    

Pedang mestika tiada berbelas kasihan, pahlawan tiada berair mata.
Suma Cau-kun berdiri di sana bagaikan sebuah tombak, dia tidak melelehkan air mata.
Sampai ajalnya tiba, ia tetap berdiri tegak sampai ajalnya datang, dan dia tidak melelehkan air mata.
Air mata seorang pahlawan telah berubah menjadi darah.
Di atas pedang masih belum juga dijumpai noda darah, yang ada hanya noda tetesan air mata, tapi sekarang, noda tetesan air mata yang misterius itu seakan-akan telah berubah menjadi merah karena darah pahlawan.
—–

Pedang itu masih berada di tangan Cho Tang-lay. Cho Tang-lay sendiri sedang mengawasi noda tetesan air mata di atas pedang tersebut.

Ia sama sekali tidak menengok ke arah Suma Cau-kun, juga tidak menengok ke arah Go Wan.
Dalam kelompok matanya lebih-lebih tak mungkin ada air mata.
Tapi ia justru sedang mengawasi noda tetesan air mata di atas pedang itu dengan termangu-mangu, seakan-akan menemukan secara mendadak bahwa dibalik noda tetesan air mata tersebut terdapat semacam kekuatan sesat yang jahat dan misterius, pencipta dari segala ketidak beruntungan.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba ia berkata: "Hari ini telah datang tiga orang, yang sesungguhnya menakutkan bukanlah Kongsun bersaudara, melainkan orang ketiga."
Suara pembicaraan Cho Tang-lay berubah semakin dingin.
"Sebenarnya orang ini tidak seharusnya mati karena dia kelewat pintar kelewat lihay, senjata rahasia maupun ilmu menyaru mukanya, jarang sekali bisa ditandingi orang lain, andaikata barusan dia pergi secara diam-diam, mungkin akupun akan berlagak seakan-akan tidak tahu, karena di kemudian hari aku pasti masih membutuhkan kemampuannya."
"Apakah dia belum pergi?" tanya Siau-ko.
"Dia belum pergi karena dia sendiripun juga tahu kalau dia telah melakukan kesalahan, aku tak akan membiarkan dia pergi lagi."
Mendadak dia membalikkan badan menghadap ke arah pemusik buta yang rambutnya telah beruban itu, lalu sepatah demi sepatah kata, ia berkata: "Ki sianseng, apakah kau mengira aku benar-benar tidak bisa mengenali dirimu?"
Selama ini si pemusik berambut putih itu berdiri dalam suasana remang-remang, antara cahaya lentera dan kegelapan.
Si nona cilik berkuncir yang membawa pie-pa juga berdiri di sampingnya, mukanya yang pucat tidak memancarkan kepedihan, juga tidak menunjukkan rasa ngeri, entah hal ini disebabkan dia memang tak bisa melihat sesuatu apapun, ataukah dia memang sudah menjadi kaku sama sekali.

Pemusik berambut putih itu dengan tangan sebelah memegang seruling, tangan yang lain memegang bahunya, mimik wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan perubahan apapun.

"Ki sianseng," kembali Cho Tang-lay berkata kepadanya, "tiga bintang perenggut nyawa, dua langkah menggeser badan, akal licik membelah dunia. Ilmu menyaru muka Ki sianseng memang amat hebat, kepandaianmu juga sangat luar biasa."
"Terima kasih atas pujianmu, terima kasih banyak, terima kasih banyak," pemusik berambut putih itu mulai berbicara.
"Ki sianseng, kau minta Go Wan datang untuk membawakan tarian dari Tiap-wu, dalam sekejap mata kau telah berhasil menghancurkan semangat tempur dari Cu Tongcu dari Hiong-say-tong serta Suma Cau-kun, tindakanmu ini benar-benar sangat hebat."
"Terima kasih, terima kasih."
"Bila ada seorang pemusik tua dengan mengajak cucu perempuannya yang mengenaskan mencari sesuap nasi dengan menjual suara, siapa saja pasti tak akan perhatikan kakek berambut putih yang buta itu dengan seksama. Oleh sebab itu kau menyamar sebagai dia dengan mengajak cucu perempuannya kemari, menggunakan status pemusik buta meminta Go Wan membawakan tarian, lalu mempergunakan tariannya untuk menarik perhatian orang lain......"
Kemudian Cho Tang-lay melanjutkan.
"Sekalipun wajah pemusik tua itu tak akan menarik perhatian orang namun permainan serulingnya jauh dari kemampuan permainan serulingmu. Dalam hal ini siapa saja tentu dapat membedakannya secara nyata, hanya saja berada dalam keadaan pada waktu itu, tak akan ada manusia yang memperhatikan keadaan tersebut."
"Ucapanmu memang benar," ternyata Ki sianseng mengakui, "jalan pemikiranku memang begitu."
"Ki sianseng, kau memang seorang manusia berbakat, manusia berbakat yang luar biasa, selama ini aku selalu mengagumimu."
Nada suara Cho Tang-lay yang lembut dan sungkan tiba-tiba saja berubah, dengan menggunakan nadanya yang khas dia berkata: "Tapi kau tidak seharusnya menyerahkan jarum Coat-juang-ciam mu kepada Go Wan, perbuatanmu kali ini keliru besar sekali."
Ki sianseng menghela napas, dengan nada suara penuh kesedihan dan menyesal, dia berkata setelah menghela napas: "Aku mengaku, aku memang salah. Walaupun aku belum pernah menduga kalau Go Wan bakal mempergunakannya untuk menghadapi Suma Cau-kun, tapi nyatanya Suma Cau-kun tewas karena benda itu. Aku memang seharusnya dapat menduga bahwa Cho sianseng tentu akan mencatat hutang itu atas namaku."
"Mungkin kau hanya memikirkan nyawa orang lain waktu itu, sehingga melupakan senjata pelindung badan sendiri."
Ki sianseng tidak menjawab, tapi dia mengakui bahwa perkataan tersebut memang benar.
"Perduli bagaimanapun juga, aku memang tidak seharusnya menyerahkan tabung jarum itu kepada orang lain," setelah menghela napas, dengan suara setengah berbisik dia memberitahukan kepada Cho Tang-lay, "untung saja aku masih memiliki beberapa buah tabung jarum........"
Suaranya sangat lirih, seakan-akan sedang memberitahukan sebuah rahasia pribadi kepada seorang sahabat karibnya.
Cho tang-lay harus memperhatikan dengan seksama untuk bisa mendengar perkataan itu.
Di saat dia masih memasang telinga itulah, jarum Coat-juang-ciam dari Ki sianseng telah dilancarkan, meluncur keluar dari ujung bajunya serta lubang-lubang serulingnya.
Ketiga tabung jarum itu sudah cukup untuk menutup mati semua jalan mundur dari Cho Tang-lay.
Satu tabung dengan tiga jarum saja sudah cukup merenggut nyawa orang, apalagi tiga tabung sekaligus.
Di tambah lagi alat rahasia dari tabung-tabung jarum itu dirancang secara khusus, kecepatan daya serangannya boleh dibilang jauh melebihi kecepatan senjata rahasia pada umumnya.
Sayang sekali Cho Tang-lay jauh lebih cepat. Pada hakekatnya ia tidak menghindar, tapi pedang yang berada di tangannya telah membentuk gerakan bulat yang amat menyilaukan mata.
Hawa pedang berputar kencang bagaikan air bah yang kuat, segera menciptakan sebuah pusaran air yang sangat kuat.
Dalam waktu singkat ke sembilan titik bintang itu sudah tergulung di dalam lingkaran kekuatan tersebut.

Pedang Tetesan Air Mata (Khu Lung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang