Istana Masa...

781 26 1
                                    

Aku terlahir dari keluarga sederhana kata para pejabat, mlarat kata para tetangga. Ayahku hanyalah seorang petani kecil, petani gurem (tololnya sewaktu kecil aku percaya bahwa kutu ayam itu juga ditanam di sawah) yang hanya memiliki sepetak tanah. Sawah hasil warisan dari ayahnya ayah. Sawah yang bahkan hasilnya tidak cukup untuk memberi kenyang  selama 2 bulan. Oleh karena itu, ayah dan ibuku selalu berjuang keras untuk merncukupi hidup yang selalu lapar dan menuntut. Memutar keras otak dan otot mereka untuk mencukupi kebutuhanku, anak semata wayang tersayang.

Kerja keras apa pun mereka lakukan demi mengumpulkan serpihan-serpihan asap dapur, untuk menyumpal protes yang selalu keluar dari mulut perutku. Meski begitu nasib masih juga membutakan hati dan matanya, tidak juga tersentuh oleh keras usaha mereka. Bahkan tidak peduli tetes-tetes keringat yang menderas dan wajah-wajah letihnya. Rupanya nasib juga enggan memihak orang papa.

Kami lebih sering berpuasa daripada makan. Kami lebih akrab dengan tangan-tangan lembut lapar. Namun tak pernah kulihat orang tuaku marah atau mencaci nasib. Ibu selalu berkata padaku bahwa puasa itu baik, dan mampu mencegah penyakit dan lebih utama adalah merubah jejak tulisan sang nasib.

Aku selalu mengangguk seolah mengerti, paham dan setuju. Hanya demi menghentikan sebuah genangan-- yang selalu kuingat itu-- agar tidak jatuh ke permukaan bumi. Ayah juga bertutur hal yang sama. Mungkin ayah seperti halnya ibu, tidak tahu bahwa aku mampu membaca keletihan dan gurat-gurat kegetiran hidup yang menumpuk di kedalaman mata mereka.

*****

Rumahku istanaku. Berdinding gedheg (bilah-bilah bambu yang ditipiskan kemudian diayam) berbedak putihnya kapur. Dinding yang menaburkan serpihan putih yang sepedih nasib bila mengenai mata. Lantainya hitam tanah, yang menyeruapkan lembab udara bumi. Genting yang menaunginya tua, keriput oleh usia dan lumut. Genting yang selalu setia meneruskan bias pucat sang bagaskara kala langit gembira. Atau ramah sapa tetes hujan yang seringkali membuat kami kelabakan kala langit terisak. Ranjang kami juga terbuat dari bilah-bilah bambu yang disatukan. Senantiasa meninggalkan derit kala kami hampiri dan tinggalkan. Derit yang seolah mengeluh tentang beban yang mendera dan rentanya usia.

Agak dibelakang sana, ada kandang ayam. Menyembul diantara angkuh pohon-pohon pisang. Tempat bagi ayam tidur dan berbiak. Sumur dan tempat mandi adai di sebelah kiri belakang rumah. Kuali besar sebagai pusat menampung air yang menyisakan sedikit ruang berbebat gedheg tipis setinggi dada orang dewasa. Beratapkan biru langit dan hijau dedaunan randu.

Ada bangunan agak terpisah dari rumah. Orang tuaku sering ada disana, siang ataupun malam. Aku pernah diajak kesana. Sayang tidak ada siapa-siapa didalamnya. Bila aku banyak bertanya dan terus bertanya, ibu biasanya marah. Berat tangan dan pedih bilur merah yang hinggap di ingatan. Ibu selalu mengakhiri dengan nasehat agar aku tidak bertanya dan berpikir macam-macam karena dari sanalah datangnya setan.

Seringkali bila aku terjaga di tengah malam, kudapati ranjang ayah-ibuku kosong. Dan aku tahu mereka ada di dalam bangunan itu. Merayu agar nasib mengubah arah jejak-jejaknya. Rayuan yang bersaing dengan nyanyian burung hantu di sebatang dahan di pohon randu yang mengharap pagi tak kunjung datang, hingga malam tak lekas berlalu.

*****

Ada kesedihan membentang kala aku harus berpisah dengan kedua orang tuaku saat usia sekolah. Aku coba berontak tapi sia-sia. Ibu meyakinkan bahwa di tempat baru aku bakal bahagia. Lebih bahagia. Sebenarnya ada sebongkah pertanyaan yang ingin kuberikan pada ibu, apakah ada  kebahagiaan lain yang melebihi kebahagiaan seorang anak yang berkumpul dengan kedua oirang tuanya? Sayang tiba-tiba kenangan tentang tangan berat, rasa panas dan bilur merah yang pedih menyeruak. Hingga pertanyaan itu hanya jadi simpanan dalam relung goa hatiku. Ayah juga menyakinkan hal yang sama seperti biasanya. Aku tidak mengerti semua kata-kata mereka. Kepergianku hanya menyisakan tanya, tanpa air mata.

bersambung...

Mata ( Dari Mata Dosa Bermula)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang